BAB 17

96 18 10
                                    

Enam bulan yang lalu, tepat di bulan Agustus. Sore itu, suasana ruang tamu terasa mencekam bagi Afzal, apalagi saat kedua orang tuanya menatap pria itu dengan sorot mata tajam. Di sana, Afzal hanya bisa menunduk dalam, menghindari tatapan mereka. Afzal sudah siap ditanyai apa pun dan mengutarakan keputusannya yang sudah benar-benar ia pikirkan belakangan ini.

Hening cukup lama. Afzal masih menunggu abi dan uminya untuk berbicara lebih dulu. Namun, sampai saat ini belum ada satu pun dari mereka yang membuka suara. Kedua orang yang sangat Afzal hormati itu masih setia diam dengan sesekali mengembuskan napas pelan.

"Abi, Umi." Akhirnya, Afzal mendongak dan membuka suara lebih dulu.

Terdengar Abi Arsyad lagi-lagi mengembuskan napas pelan, sedangkan Umi Yamila memilih tetap diam sambil menatap putra satu-satunya itu.

"Bagaimana? Kamu masih mau menunggu Ayla atau menerima tawaran Umi?" tanya Abi Arsyad dengan tatapan serius.

Afzal tak langsung menjawab, justru memilih kembali menunduk sambil meremas-remas jarinya. Hari ini, seharusnya menjadi hari di mana Afzal mengkhitbah Ayla sesuai rencana yang telah ia buat dengan perempuan itu. Namun, ternyata semua harus gagal ketika Ayla tiba-tiba ditugaskan di luar kota untuk menjadi perawat di salah satu rumah sakit di sana.

Afzal sempat ingin menunggu perempuan itu dan kembali melanjutkan rencana mereka saat Ayla pulang nanti. Namun, ucapan-ucapan orang tua Ayla benar-benar membuat Afzal merasa tidak dihargai dan tidak diinginkan sama sekali oleh mereka.

"Lebih baik batalkan saja rencana kamu menikahi Ayla. Anak saya masih harus fokus sama karirnya sebagai perawat, enggak harus buru-buru nikah kayak begini. Lagi pula, saya sebenarnya udah punya calon yang lebih baik dari kamu untuk Ayla."

Ucapan ibunya Ayla saat mereka tak sengaja bertemu di sebuah restoran kembali terngiang di pikiran pria itu. Afzal benar-benar tak menyangka jika ibunya Ayla akan mengatakan hal seperti itu padanya.

"Keluarganya lebih jelas dan mapan. Jadi saya enggak khawatir dengan hidup Ayla kedepannya jika Ayla menikah dengan dia. Sebenarnya saya memang kurang setuju sama kamu. Kamu hanya guru dan orang tua kamu juga hanya orang biasa. Saya kurang yakin jika Ayla akan bahagia sama kamu nanti."

Hanya mengingat itu saja, dada Afzal sangat terasa sakit. Afzal masih bisa untuk tidak peduli jika hanya ia yang direndahkan, tetapi jika sudah membawa abi dan uminya, pria itu benar-benar tak bisa terima. Afzal memang mencintai Ayla, tetapi jika keluarga Ayla tidak bisa menerimanya, percuma saja, kan?

"Bagaimana, Zal?" Kali ini Umi Yamila ikut membuka suara. "Kamu mau terima tawaran umi untuk mengkhitbah Haifa saja atau tetap menunggu Ayla?"

Afzal kini memandang Umi Yamila dalam diam. Setelah Afzal mengatakan jika rencana mengkhitbah Ayla dibatalkan, Umi Yamila justru tiba-tiba membicarakan soal Haifa. Saat itu, Umi Yamila mulai jujur soal perasaannya yang ternyata kurang suka pada Ayla dan justru lebih menginginkan Afzal bersama Haifa.

"Bukannya kamu dari dulu suka sama Haifa?" tanya Umi Yamila.

Pria itu mengangguk singkat. Afzal memang sejak dulu menyukai Haifa, bahkan Afzal pernah berencana untuk menikahi perempuan itu meskipun keduanya sudah lama tak saling bertukar kabar. Namun, entah kenapa ia malah berpindah pada Ayla yang justru berakhir seperti ini.

Afzal mengenal Ayla memang belum lama, baru sekitar 4 bulan. Mereka bertemu saat mengikuti salah satu seminar di alun-alun kota saat itu. Meskipun hanya pertemuan singkat, perempuan itu berhasil membuat Afzal tertarik dan memutuskan untuk serius dengannya setelah mereka beberapa kali bertemu dan saling mengenal. Namun, ternyata semua tak semudah yang Afzal bayangkan dan sekarang malah terjadi hal seperti ini.

Pilihan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang