Hari Sabtu yang cukup cerah. Di atas sana, matahari sudah menampakkan eksistensinya dengan kilauan cahaya yang belum begitu terik, masih cukup terasa hangat ketika menyentuh kulit. Suasana yang cocok untuk menghabiskan hari libur di luar rumah.
Waktu masih menunjukan pukul 9 pagi, tetapi kali ini Afzal sudah nampak rapi dengan celana hitam panjang dipadukan dengan kaus hitam polos dan jaket dengan warna serupa. Pria itu sejak tadi sudah duduk di atas motor sambil menunggu Haifa yang tidak kunjung terlihat. Hari ini Afzal berencana mengajak Haifa untuk mengunjungi kafe miliknya.
Perhatian Afzal seketika teralihkan saat melihat Haifa berjalan menghampiri dengan pakaian yang selalu nampak sederhana seperti biasa. Perempuan itu kini hanya memakai jilbab abu dan kemeja putih, serta rok polos dengan warna senada. Di pundaknya tersampir sebuah tas selempang berwarna putih. Hanya seperti itu saja Haifa nampak begitu cantik di mata Afzal. Namun, ada satu hal yang mengganggu dari penampilan Haifa sekarang.
"Fa!"
Haifa yang baru saja selesai mengunci pintu langsung menoleh ketika mendengar suara Afzal. "Iya, kenapa?"
"Sini deketan," pinta Afzal dan langsung dituruti oleh Haifa.
Perempuan itu kini sudah berdiri di samping Afzal dengan wajah bingung, sedangkan Afzal malah tersenyum tipis, lalu meraih pergelangan tangan Haifa dengan lembut.
"Kamu tau ini masih termasuk aurat?" tanya Afzal sambil menunjuk lengan putih Haifa yang kini nampak begitu jelas karena Haifa melipat lengan kemejanya terlalu tinggi sampai hampir mendekati siku.
Haifa mengangguk pelan, lalu menunduk. "Tau, Mas."
"Jadi tau, kan, harus apa?"
"Harus ditutup, Mas."
Afzal pun tersenyum, lalu mengusap pelan puncak kepala Haifa. "Nah, pinter. Jadi sekarang turunin lengan kemejanya, ya?"
Haifa lagi-lagi hanya menurut, lalu buru-buru membenarkan lengan kemejanya. Namun, setelah selesai, Haifa langsung menampakkan wajah cemberut pada Afzal. "Tapi, Mas, kalau kayak gini Haifa kayak orang-orangan sawah," keluh Haifa sambil menunjukan lengan kameja tersebut yang begitu kepanjangan di tangan Haifa.
Melihat itu, Afzal sontak tertawa pelan. "Sini, sini." Afzal kembali menyuruh Haifa untuk mendekat. "Maksud saya itu lipatnya sedikit aja, Haifa, supaya enggak kepanjangan aja, jangan sampe mendekati siku kayak tadi. Lengan kamu, kan, jadi keliatan," jelas Afzal sambil melipat lengan kameja Haifa hanya dengan tiga lipatan saja.
"Maaf, Mas."
"Enggak papa, Haifa." Afzal menatap Haifa dengan senyum tipis. "Nah, sekarang, kan, udah makin cantik kalau gini," ucap Afzal sambil memperhatikan penampilan Haifa sekarang.
"Makasih, Mas. Maaf Haifa udah salah," ucap Haifa.
"Enggak papa, tapi jangan diulang lagi, ya?"
Haifa langsung balas mengangguk. Begitulah cara Afzal menegur Haifa ketika perempuan itu keliru. Meskipun nampak seperti tengah mengajari anak kecil, Afzal sama sekali tidak peduli karena baginya Haifa memang memiliki hati yang begitu lembut seperti anak-anak. Ia akan menangis hanya dengan sekali bentakan dan Afzal sama sekali tak ingin melihat Haifa seperti itu. Afzal akan selalu berusaha bersikap lembut dan hati-hati pada Haifa.
"Berangkat sekarang?"
"Ayo, Mas."
"Masa sambil cemberut gitu? Senyum dulu, dong, supaya cantiknya nambah."
"Mas, apaan, sih."
"Eh, biasa aja, deh, jangan terlalu cantik. Nanti malah banyak orang yang suka. Cantiknya di depan saya aja."

KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan
RomanceMenikah dengan sahabat sendiri? Siapa sangka? Setelah hampir dua tahun tidak bertemu dan bertukar kabar, Haifa tiba-tiba kembali melihat wajah Afzal tepat ketika pria itu datang ke rumah bersama kedua orang tuanya untuk mengutarakan niat mengkhitbah...