BAB 20

100 20 4
                                    

Acara kumpul-kumpul kali ini cukup berjalan normal meskipun Haifa tetap tidak bisa menahan rasa canggungnya, apalagi ketika kembali mengingat kejadian siang tadi. Afzal sendiri justru terlihat santai-santai saja, seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara pria itu dan tante-tantenya. Berbeda dengan Haifa yang masih merasa bersalah dan tak enak hati.

Tante Nasya pun selama acara kumpul-kumpul terlihat tidak terlalu banyak bicara, hanya menyahut seadanya. Mungkin ia juga masih merasa canggung karena kejadian tadi siang. Sebenarnya, Haifa ingin menyapa wanita itu dan meminta maaf, tetapi enggan karena takut.

Setelah makan malam dan berbincang sebentar, semuanya memutuskan untuk istirahat, begitu pula dengan saudara-saudara Umi Yamila yang memang akan menginap di sini. Sejak tadi Haifa sudah terlelap di kamar Afzal meskipun waktu masih menunjukan pukul sembilan, sementara Afzal sendiri kini malah duduk di sofa lantai atas sambil melamun.

"Afzal? Kenapa sendirian? Haifa mana?"

Pria itu langsung menoleh pada Umi Yamila yang baru saja datang. "Haifa udah tidur, Mi," jawabnya.

Umi Yamila pun mengangguk singkat, kemudian duduk di samping putra semata wayangnya itu. "Umi perhatikan, mata kamu tadi merah, agak sembab juga. Abis nangis?"

"Enggak papa, Umi," jawab Afzal sambil menunduk. Namun, percuma saja karena Umi Yamila pasti tidak akan percaya dengan ucapannya.

"Lagi ada masalah sama Haifa?" tanya Umi Yamila yang memang selalu mengerti tentang kegelisahan Afzal.

Pria itu menggeleng pelan, lalu menatap wanita di sampingnya. "Umi tau enggak kalau Ayla udah pulang? Dia nyusulin Afzal ke Sumedang, Mi."

"Astagfirullah." Umi sontak memekik. "Afzal, kamu enggak ada niatan kembali sama Ayla, kan? Awas aja kamu nyakitin menantu Umi."

Ternyata Umi Yamila hampir sama dengan Haifa yang memiliki pikiran seperti itu padanya, padahal untuk bertemu dengan Ayla lagi saja Afzal tak pernah berniat sama sekali, apalagi untuk kembali pada perempuan itu, tak ada niat sedikit pun. Sekarang, ia sudah punya Haifa dan itu sangat lebih dari apa pun. Cukup Haifa saja, tidak akan ada yang lain.

"Umi apaan, sih!" Afzal mendengkus pelan. "Haifa udah tahu soal Ayla dan kami emang sempat berantem sedikit, tapi sekarang udah baik-baik aja," jelas Afzal singkat.

Umi Yamila mengangguk paham. "Alhamdulillah kalau gitu," balasnya, "beberapa hari lalu, dia emang ada datang ke sini nyariin kamu. Umi sengaja enggak ngabarin kamu karena khawatir aja malah mengganggu hubungan kamu sama Haifa. Eh, ternyata dia malah nyusulin kamu? Padahal umi udah bilang kalau kamu itu udah nikah."

"Ayla emang sempat minta Afzal buat kembali lagi sama dia," ujar Afzal yang langsung membuat Umi Yamila mendekatkan duduknya.

"Terus respon kamu gimana?"

"Ya, Afzal enggak maulah. Umi itu masih meragukan Afzal, ya?"

"Ya, kali aja kamu luluh, tapi Alhamdulillah banget kalau enggak."

Afzal pun hanya balas menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Pria itu selalu suka jika mengobrol dengan Umi Yamila seperti ini. Ia merasa lebih tenang setelah berbicara banyak hal dengan wanita itu.

"Terus kenapa itu mata sembab? Siapa yang bikin nangis?"

Pria itu sontak terdiam. Jika soal ini, Afzal tak tahu harus menceritakannya bagaimana. "Enggak papa. Umi kepo banget."

"Kamu, kan, jarang nangis, tapi sekalinya nangis pasti karena sesuatu hal yang benar-benar bikin kamu takut atau sakit hati."

Afzal tersenyum, lalu kembali menatap wanita di sampingnya. Umi Yamila memang wanita yang paling mengerti soal Afzal. "Enggak papa, Umi. Afzal cuma takut Haifa pergi," ungkapnya.

Pilihan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang