BAB 22

97 19 19
                                    

Sekitar pukul empat sore, Haifa menunggu kedatangan Afzal dengan perasaan gelisah. Sejak tadi Haifa tak berhenti mondar-mandir di kamar sambil memikirkan kalimat yang tepat untuk memberitahu Afzal tentang keadaannya setelah diperiksa ke dokter tadi. Ia bingung harus mengatakan apa. Perempuan itu tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Afzal nanti.

Beberapa saat setelah itu, terdengar suara salam dari luar, lalu pintu kamar terbuka pelan dan menampakkan sosok Afzal dengan senyumnya. Haifa sontak menoleh, lalu menghampiri Afzal sambil balas tersenyum, kemudian bergegas menyalami punggung tangan pria itu.

"Tadi kata Ibu kamu abis periksa? Gimana kata dokter? Kamu enggak papa, kan? " tanya Afzal sambil melepaskan jaket hitam yang dipakainya.

Sebelum menjawab, Haifa lebih dulu membawa Afzal untuk duduk di tepi ranjang. Perempuan itu tersenyum kikuk sambil menatap Afzal. Ia masih bingung harus mulai menjelaskan dari mana karena Haifa sendiri sebenarnya masih belum menyangka dengan apa yang dikatakan dokter tadi.

"Jadi gini, Mas. Haifa itu ...." Haifa sengaja menggantungkan kalimatnya, membuat Afzal kini menautkan satu alis, bingung.

"Kenapa? Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Afzal yang malah jadi khawatir. "Ayo, bilang. Kamu kenapa?"

Haifa mengembuskan napas pelan, lalu tersenyum simpul. "Alhamdulillah, Haifa hamil, Mas."

"Hah? Hamil?" Afzal tak langsung memahami ucapan Haifa barusan. Sekarang pria itu malah diam seperti orang linglung. "Kamu hamil, Fa?" pekik Afzal setelah sadar dengan apa yang diucapan Haifa itu. Ia melotot kaget sambil menutup mulut dengan kedua tangannya.

Sementara itu, Haifa hanya balas dengan anggukan dan senyum yang masih terbit di bibir. Ia tak menyangka jika reaksi Afzal justru malah menggemaskan seperti ini.

"Alhamdulillah, Fa." Afzal kembali memekik, lalu memeluk Haifa dengan sangat erat sampai membuat perempuan itu agak sulit bernafas.

"Mas, Haifa kecekik."

Tentu saja Afzal buru-buru melepas pelukannya, lantas menatap Haifa dengan sorot mata bersalah. "Maaf, Fa. Kamu enggak papa, kan? Saya terlalu erat, ya, meluknya?" tanyanya dengan perasaan khawatir.

"Enggak papa," jawab Haifa sambil berusaha menahan tawanya karena merasa lucu dengan tingkah Afzal sekarang.

Pria itu kembali memeluk Haifa dengan lembut, tidak begitu erat seperti sebelumnya. "Makasih, ya, Fa. Makasih banyak," ujar Afzal dengan suara lirih. Haifa bisa merasakan jika Afzal mulai terisak.

"Mas, kok, nangis?" tanya Haifa sambil mengelus lembut punggung Afzal yang terasa sedikit bergetar. "Udah, ya, jangan nangis."

"Saya seneng banget, Haifa," lirihnya.

Haifa hanya tersenyum sambil terus mengelus lembut punggung pria itu. Seperti Afzal, Haifa sendiri merasakan bahagia yang luar biasa. Perempuan itu benar-benar bersyukur kepada Allah atas anugerah yang dititipkan padanya kali ini.

"Udah berapa minggu, Fa?" tanya Afzal setelah ia melepaskan pelukannya.

"Baru masuk minggu ketiga, Mas."

"Alhamdulilah. Sehat-sehat, ya, Sayang. Mulai sekarang, kamu jangan terlalu capek dan harus lebih nurut sama saya," ujar Afzal dan langsung dibalas anggukan oleh Haifa.

🌹🌹🌹

"Cie, yang udah jadi calon ibu," goda Aydan ketika mereka tengah berkumpul di dapur untuk makan malam.

Haifa dan Afzal memutuskan menginap untuk malam ini karena Haifa yang katanya belum mau pulang. Afzal hanya mengiyakan saja, tidak banyak protes. Untung saja di sini masih tersimpan beberapa baju ganti untuk mereka hingga Afzal tak perlu repot mengambil dulu baju ganti ke rumah.

Pilihan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang