Malam itu hujan tiba-tiba turun dengan deras, padahal tadinya langit terlihat cerah dengan beberapa bintang yang nampak bercahaya. Bukan hanya suara rintik hujan yang kali ini terdengar memenuhi lorong sepi rumah sakit, tetapi juga suara menggelegar dari petir yang saling bersahutan.
Kali ini, Haifa berusaha kuat agar tubuhnya tetap mampu untuk dibawa berlari menemui Afzal yang entah bagaimana keadaanya sekarang. Perempuan itu meremas dadanya yang begitu terasa sakit. Di sepanjang lorong yang sepi, ia terus berdoa agar Afzal tetap baik-baik saja.
Di sampingnya, Umi Yamila berusaha untuk menenangkan Haifa meskipun sebenarnya ia sendiri merasakan kekhawatiran yang sama. Sementara di depan mereka, Abi Arsyad berjalan tak kalah cepat. Pria itu itu terus beristigfar sambil memanjatkan doa yang sama, semoga Afzal baik-baik saja.
Tepat di depan ruang UGD, nampak Pak Eshan, Bu Asifah, Aydan, serta dua orang pria yang tak Haifa kenal tengah berbincang dengan dokter yang baru saja keluar dari ruangan. Haifa langsung berlari memeluk Bu Asifah yang sudah terlihat menangis, sementara Abi Arsyad dan Umi Yamila memilih menghampiri dokter tadi.
"Bu, Mas Afzal enggak papa, kan? Mas Afzal sekarang di mana?" tanya Haifa dengan suara bergetar. Haifa tidak menangis, tetapi jauh di dalam hatinya, Haifa merasa sakit. Saat ini, hanya satu hal yang Haifa ingin, memeluk Afzal dan membisikkan ke telinga pria itu jika ia benar-benar merindukannya.
Beberapa detik berlalu, Haifa tak kunjung mendapat jawaban apa-apa, hanya isak tangis yang justru semakin terdengar di mana-mana, bahkan Umi Yamila pun kini sudah nampak menangis dalam rangkulan Abi Arsyad.
"Bu ..." Air mata Haifa akhirnya luruh juga. Sesak di dada terasa semakin menjadi. Keterdiaman mereka benar-benar membuat Haifa tersiksa dengan dugaannya sendiri. Tak bisakah mereka langsung mengatakan dengan jelas tentang keadaan Afzal sekarang?
Dengan tubuh bergetar, serta tangis yang belum reda, Bu Asifah memegang erat kedua pundak Haifa, menatap anak sulungnya itu dengan tatapan yang begitu menyiratkan kepedihan. "Kamu harus ikhlas, Nak. Ibu yakin kamu pasti kuat. Ada calon bayi dalam kandungan kamu. Kamu harus bertahan."
"Maksudnya apa, Bu?" Haifa semakin frustasi. "Mas Afzal mana? Haifa mau ketemu Mas Afzal," pekik Haifa yang begitu terdengar menyakitkan.
Sebelum Haifa benar-benar beranjak dari sana, Bu Asifah sudah lebih dulu mengeratkan cengkraman pada kedua pundak perempuan itu. "Lihat ibu, Haifa!" pinta Bu Asifah dengan suara yang lebih tegas. "Afzal udah pulang. Afzal udah enggak ada, Haifa. Allah udah ambil lagi Afzal dari kita semua."
Dunia Haifa seolah-olah hancur saat itu juga. Ia menggeleng cepat, tidak ingin mempercayai apa yang dikatakan Bu Asifah barusan. Ini semua pasti bohong. Afzal tidak mungkin meninggalkan Haifa dan calon anak mereka begitu saja seperti ini.
"Ini pasti bohong, kan? Afzal enggak bakal ninggalin Haifa, Bu. Mana Mas Afzal? Haifa mau ketemu Mas Afzal." Perempuan itu menangis keras hingga mengundang tatapan yang sama pedihnya dari orang-orang yang ada di sana.
Tanpa peduli dengan siapa pun, Haifa berlari dengan susah payah memasuki ruangan yang pasti ada Afzal di sana. Tubuh Haifa seketika membeku saat matanya menangkap sosok pria yang sangat ia rindukan kini terbaring kaku di atas brankar. Wajah Afzal begitu terlihat pucat dan nyaris dipenuhi luka. Haifa memang menginginkan Afzal pulang, tetapi bukan kepulangan yang seperti ini.
Dengan langkah lunglai, Haifa berjalan menghampiri Afzal dengan isakan yang belum juga reda. Haifa langsung merengkuh pria itu, menyalurkan semua rindu yang seminggu ini ia tahan. Namun, yang Haifa dapat justru hanya perasaan hampa saat Afzal sama sekali tak membalas pelukannya. Tak ada kecupan dan usapan lembut di puncak kepala seperti biasa. Hanya keterdiaman Afzal yang kini menjadi balasan dari semua rindu yang Haifa rasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan
RomanceMenikah dengan sahabat sendiri? Siapa sangka? Setelah hampir dua tahun tidak bertemu dan bertukar kabar, Haifa tiba-tiba kembali melihat wajah Afzal tepat ketika pria itu datang ke rumah bersama kedua orang tuanya untuk mengutarakan niat mengkhitbah...