42. Pilihanku

224 8 2
                                    

Happy Reading

***

Di kampus

Sial! Aku tidak tahu harus berbuat apa? Di tengah suasana yang ricuh seperti ini membuatku tidak bisa berpikir dengan jernih.

Aku gelisah. Ku gigit jempolku sambil berdiri untuk melihat keadaan sekitar. Bantu enggak ya? Eh tapi kan aku sudah memutuskan untuk gak peduli! Apakah itu adalah kewajiban ku untuk menolongnya? Sudahlah biarlah. Nanti juga ada orang lain yang membantunya.

Astagfirullah Rey! Kamu itu gak ada sisi manusiawi nya apa? Walau bagaimanapun juga dia itu temen kamu!

Rey terus berperang dalam batinnya. Hingga akhirnya secara refleks, tubuhnya bergerak sendiri untuk berlari ke arah depan dan membawa gadis itu pergi ke rumah sakit.

Di mobil, Vera terus mendesak Rey agar berjalan lebih cepat menuju RS. Melihat kondisi Aruna yang sangat pucat membuat keduanya semakin panik. Rey tancap gas hingga akhirnya dalam beberapa menit mereka pun sampai di RS terdekat.

Sesampainya di RS, Rey langsung membawa tubuh lemah Aruna ke ruangan IGD agar mendapatkan pertolongan segera. Terlihat dokter yang berada di ruangan itu tampak sigap kesana dan kemari untuk melayani satu per satu pasien hingga akhirnya salah satu dokter datang memeriksa dengan stetoskop yang menempel di telinganya.

Tak lama kemudian, setelah melalui berbagai pemeriksaan, dokter yang memakai hijab itu pun tersenyum. Sambil tersenyum dia menerangkan kepada Vera bahwasanya saat ini Aruna tengah hamil dan harus menjaga kondisinya agar tidak menjalani aktivitas yang terlalu berat.

Deg! Rasanya jantungku seperti berhenti berdetak saat itu juga. Aruna hamil?

"Bapak suaminya kan? Saya ingin menjelaskan beberapa hal tentang kehamilannya" Dokter itu pun keluar dari gorden pembatas IGD.

"Sa-saya bukan suaminya" balas Rey dengan suara yang rendah. Namun dokter itu tampaknya tidak mendengar lantaran sudah pergi ke luar gorden.

Bisik-bisik terdengar suara Vera yang mengatakan "Udahlah pergi aja, dengerin apa kata dokter"

"Tapi ..."

Vera menyuruhnya pergi dengan isyarat tangannya agar Rey segera beranjak dari tempat itu.

"Jadi Aruna saat ini mengalami kehamilan di trimester pertama. Usia kandungannya baru 14 hari, jadi dimohon untuk dijaga ekstra agar dia tidak kelelahan. Sebisa mungkin, kurangi aktivitas yang berat. Setelah sadar dari pingsan, Aruna sudah boleh pulang" Terang dokter dengan senyum ramahnya.

Rey terdiam mendengarkan hal itu. Netranya menatap ke arah ubin berwarna putih yang berada di bawah kakinya dengan tatapan kosong.

"Untuk resep obatnya silakan ditebus di bagian apotik" Sebuah kertas kecil disodorkan kepada Rey.

Melihat Rey yang tidak merespon, dokter itu pun memanggilnya "Pak?" Suara lembut dokter itu menyadarkan lamunan Rey.

"I-iya?"

"Ini resep obatnya pak, silakan ditebus di bagian apotik"

"Baiklah, terima kasih dok" jawab Rey dengan senyum yang lesu. Rey pun keluar dari ruangan.

Setelah selesai mengambil obat, Rey kembali ke IGD kemudian menyerahkan obat tersebut serta beberapa makanan.

"Usia kehamilan Aruna baru 14 hari dan jangan melakukan aktivitas yang berat. Kalau sudah sadar, dia boleh pulang" terang Rey.

"Makasih banyak ya Rey udah bantu Aruna" Lelaki itu hanya diam saja dan memilih untuk duduk di kursi yang tak jauh dari sana. Suara ponsel berdering membuat keduanya terlonjak kaget.

Rey mendapati panggilan dari anggota BEM-nya untuk rapat siang hari ini. Karena sibuk, Rey kembali ke kampus setelah berpamitan dengan Vera.

Sepeninggalnya Rey, Vera setia menemani dan berharap Aruna segera membuka matanya. Sambil menggenggam tangan lemahnya, Vera menangis melihat nasib sahabatnya yang harus menjalani masa kehamilan tanpa suami. Kak Azrial kapan pulang? Kasihan Aruna kesepian disini, batin Vera.

Tak lama kemudian, Aruna membuka matanya. Sambil menyipit, dia melihat ke arah sekitar. Tampak di hadapan matanya sebuah gorden berwarna kehijauan khas gorden di rumah sakit. Aroma obat-obatan yang khas menusuk hidungnya. Kenapa aku disini? Terakhir kali tadi aku presentasi dan setelah itu? Aruna berusaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Kepalanya terasa sakit jika memaksa diri untuk berpikir di kondisi tubuhnya yang lesu seperti saat ini.

Aku melihat ke arah kiri, entah sudah berapa lama aku berada disini hingga Vera tertidur sambil menggenggam erat tanganku. Wajahnya tampak tenang saat tertidur, bibir yang biasanya cerewet itu kini mengatup. Satu hal yang menarik perhatianku. Mengapa pipi dan sudut di bawah hidungnya basah? Apakah dia menangis?

Karena pergerakan tanganku, Vera pun terbangun kemudian menatapku dengan tatapan lega.

"Aruna..." Vera memeluk tubuh gadis itu yang tengah terduduk lesu.

"Untungnya kamu sadar juga. Aku khawatir banget sama kamu"

"Makan dulu ya? Biar aku ambilkan" lanjutnya.

"Aku gak laper" jawabku lesu. Vera tidak mendengarkan dan terus menyodorkan minuman serta roti yang dibawakan Rey beberapa saat yang lalu.

"Makan aja sedikit buat ganjal perut, ini sudah siang. Nanti di rumah aku bikinin bubur"

Aruna menurut kemudian memakan roti yang ditaruh di atas ranjang itu. Vera mengambil ponselnya kemudian memesan tumpangan mobil dari sebuah aplikasi di ponselnya.

"Kata dokter, kamu boleh pulang jika sudah sadar dari pingsan."

Aruna mengangguk-angguk mengerti "Tadi kita kesininya gimana? Kamu kan ada motor, kenapa harus pesan gocar?

"Ceritanya panjang. Nanti aja aku ceritain di rumah. Sekarang kita harus kabari orang tua mu dulu"

Assalamu'alaikum, aku udah update cerita, silakan dibaca ya🤗

👋🙏

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

One Day, Kekasih HalalkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang