Chapter 21. Pengakuan

1.5K 110 7
                                    

Aza menghembuskan napasnya, merasa jika seleranya sudah berubah mungkin. Ayahnya bilang, ia menyukai rasa stroberi, nyatanya ia merasa biasa saja. Malah ia cenderung tertarik pada varian rasa kopi. Ingin mencobanya, tapi es krimnya belum habis.

"Kenapa?" Tanya Anton, saat Aza hanya mengaduk-aduk es krimnya

"Kak emang aku dulu suka rasa stroberi ya?" Tanya Aza, meski tetap datar anton panas dingin mendengar nya.

"Eeee..m, sepertinya iya. Buktinya sekarang kamu makan stroberi, enak kan?" Tanya Anton.

"It's delicious, tapi kaya nya aku lebih tertarik rasa kopi." Ucap Aza lebih seperti gumaman.

"Kau ingin rasa kopi juga?" Tanya Anton, kerlingan cahaya muncul dari mata bening itu.

"Terus es krim ini gimana?" Tanya Aza.

"Biar kakak yang habisin." Balas Anton, kemudian beranjak dari duduknya untuk memesan es krim yang Aza mau.

Aza yang menunggu pun hanya mengamati suasana kedai, tidak cukup ramai. Hanya ada beberapa pemuda-pemudi di sudut ruangan. Anehnya tatapan Aza bertemu dengan seorang gadis yang juga menatap nya. Gadis berkacamata itu beranjak menghampiri nya, Aza bingung.

"Emm... Anu... Aza, kamu udah sembuh? Aku minta maaf ya, aku bener-bener gak sengaja atas kecelakaan waktu ospek dulu." Ucap gadis itu kikuk.

"Kamu kenal sama aku?" Tanya Aza, gadis itu mengangguk.

"Iya, kita satu kampus, satu kelas bahkan. Tapi belum sempat belajar, kamu udah pindah kuliah." Aza mengernyit mendengar nya.

"Pindah?" Tanya Aza memastikan.

"Iya. Beruntung banget aku bisa ketemu kamu disini, aku bener-bener minta maaf dan terimakasih ya." Riska mengamati punggung pria yang sedang menunggu di stand es krim.

"Kalo gitu aku balik ke tempat ku ya, maaf udah ganggu." Aza tidak menjawab, meski begitu Riska sudah pergi.

Terdiam, merenungi keganjilan yang ia rasakan dalam perasaan dan pikiran nya. Hingga tidak sadar sang kakak sudah berada dihadapannya, Anton sendiri terheran pada Aza yang terdiam seperti itu.

"Kenapa sayang?" Tanya Anton khawatir.

"Aza?" Tanya nya lagi saat Aza tidak menggubris nya.

"Emmhh... Kakak udah disini?" Tanya Aza bingung.

"Jangan kebiasaan melamun gitu ah, gak baik." Ucap Anton seraya mencubit pelan pipi tirus Aza, Aza tersipu ditegur oleh kakaknya.

"Kak," panggil Aza pelan.

"Iya?" Balas Anton.

"Apa dulu kita jarang ketemu?" Tanya Aza, Anton hanya terdiam terkejut.
"Aku merasa asing sekaligus rindu pada kalian, rasanya sangat aneh kan? Mungkin rasa asing itu karena ingatan ku yang hilang, tapi rindu itu?" Aza terdiam... Siapa lagi? Sebuah pertanyaan yang ia sendiri dibuat bingung.

"Janggal rasanya, sesibuk apapun kalian, pasti kita sering ketemu kan? Kecuali..." Aza berhenti, ingin melihat reaksi Anton. Benar saja, Anton menunggu kelanjutan kalimat nya.

"Hubungan kita tidak baik," lanjutnya pelan.

Deg

Jantung Anton serasa terjun bebas dari ketinggian, bagaimana intuisi Aza bisa setepat ini meski kehilangan ingatannya? Ia juga tidak bisa menjawab sembarangan, kalau ia bohong... Ada masa depan yang bisa menunjukkan fakta, kalau ia jujur... Tidak siap menerima reaksi Aza.

Anton memegang kedua tangan Aza, berusaha meyakinkan gadis itu.

"Sedari awal aku curiga, barusan ada gadis yang menemui ku dan mengaku sebagai teman ku di kampus yang aku sendiri tidak tahu kalau aku pernah menjadi mahasiswa di sana. Kasih sayang kalian yang menurut ku berlebihan, seolah kita memang tidak pernah bertemu. Baju-baju di lemari ku pun semuanya masih baru, yang artinya... Apa selama ini aku tidak tinggal dengan kalian? Tadi setelah terapi, aku sengaja mendengar sebagian pembicaraan ayah dengan dokter Raden. Apa benar... kalian... adalah... trauma dalam hidup ku?" Tanya Aza, Anton sendiri sudah memucat. Asam lambung nya mendadak naik, membuat nya hampir tumbang karena pertanyaan bertubi-tubi dari Aza. Bagaimana semuanya terjadi begitu cepat?

"Ka...kak..?" Gadis bermata coklat itu beranjak dari tempatnya menghampiri sang kakak.

"Ma-Maaf, kakak belum bisa jawab." Anton berusaha tenang melawan perih, meraih ponselnya untuk memanggil supir pribadi.

"Makan es krim nya lain kali ya?" Ucap Anton setelah menghubungi supir, Aza hanya diam.

***

Beberapa hari setelah kejadian itu, Aza merasa keluarganya mengabaikan nya. Atau malah ayah dan kakak-kakak nya yang enggan menemui nya. Dan saat ini adalah akhir pekan, dimana keluarga Kusuma selalu berada di rumah untuk menikmati akhir pekan.

Sudah menunggu sedari pagi tidak satupun orang yang menemui nya, karena kesal Aza pergi menuju kamar Gavin.

"Kak Gavin!! Buka!!" Teriak Aza. Setelah berteriak-teriak beberapa kali, Gavin membuka pintunya dengan wajah kikuk. Aza masuk tanpa menunggu Gavin meminta nya atau tidak.

"Aku minta kakak jujur, apa yang kalian sembunyikan?" Tanyanya tanpa basa-basi, Gavin gugup takut salah bicara.

"Kakak takut Aza salah paham, kakak panggil Ayah dan kakak lainnya ya." Ucap Gavin.

"Telepon saja." Ucap Aza, kini gadis itu duduk di sofa kamar kakaknya itu.

"Iya, udah kakak telepon. Kakak mandi dulu ya." Gavin masuk ke kamar mandi sambil membawa telepon.

"Aza di kamar aku!!!" Gavin mengirim pesan pada ayah dan ketiga kakaknya. Kemudian setelah itu ia melakukan alasan nya ke kamar mandi, untuk mandi.

Tiga puluh menit berlalu, Hendri dan ke-empat kakaknya sudah berkumpul di kamar Gavin.

"Aza minta kalian jujur sekarang, atau Aza semakin berspekulasi buruk tentang kalian." Ucap Aza, mendengar itu Hendri berlutut di hadapan putrinya.

"Sebelum itu, Ayah mohon... Apapun faktanya Aza jangan pergi lagi." Pinta Hendri.

"Lagi?" Malah jadi pertanyaan baru untuk Aza.

"Setelah mendengar kenyataan, Aza boleh memukul, marah, berteriak, memaki, ayah..." Ucap Hendri.

"Memang benar, kami ini sumber trauma mu, setiap sudut rumah ini adalah kenangan buruk yang kamu punya. Kamu pasti melupakannya, karena kamu memang ingin melupakannya. Dua bulan yang lalu, kamu di diagnosis mengalami amnesia Disosiatif. Amnesia yang disebabkan stress yang diambang batas. Selama lima tahun kamu memilih untuk tinggal di luar Kusuma, menolak perawatan mental agar kamu bisa hidup lebih baik.... Ayah sendiri bingung harus bagaimana mana menjelaskan nya pada mu. Cerita kita sangat panjang, di kondisi mu sekarang tidak mungkin mendengarkan lebih banyak. Karena kamu akan memaksa ingatan mu nantinya." Aza menatap tidak puas penjelasan Hendri yang hanya sekilas itu.

"Ayah tidak bisa memaksa mu, kami akan berusaha membantu mu mendapatkan lagi ingatan mu. Tapi, ayah mohon nikmati lah waktu ini... Bersama kami. Karena ayah ragu Aza masih bisa sedekat ini pada kami saat ingatan mu sudah kembali, setelah itu ayah akan membebaskan Aza untuk mengejar apa yang Aza mau." Tambah Hendri, Aza semakin bingung dan kesal.

"Ja...di pada intinya, kalian semua pernah berbuat jahat pada ku hingga menimbulkan trauma? Dan aku sepertinya sangat membenci kalian sampai nekat tinggal sendiri selama lima tahun, artinya aku masih 13 tahun saat itu?" Tanya Aza memastikan, dadanya tiba-tiba merasa sesak saat ingin bicara.

"Untuk hari ini cukup sampai sini dulu nak, untuk kesehatan dirimu sendiri. Ayah pasrah, kalau kedepannya saat Aza mulai mengingat masa lalu Aza melalui terapis dan mulai membenci kami." Aza menggeleng.

"Masa lalu seharusnya sudah berlalu kan? Kalaupun sakitnya masih terasa, itu hanya keegoisan semata. Aku yang saat ini lebih ingin melihat hal yang pasti, ada ayah dan kakak-kakak yang menyayangi ku. Untuk apa aku harus sakit lagi? Apa ada cara agar aku tidak mengingat masa lalu?" Tanya Aza, Hendri dan lainnya tertegun.
















Sorry, part ini rasanya feel nya gak dapet. Maaf.

Warna ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang