Aza hanya bisa menghembuskan nafasnya berat, menahan tangis yang sudah siap meledak. Bibirnya sampai berdarah karena ia gigit untuk menahan emosi nya.
Tatapan nya nanar menatap tubuh ringkih sang ayah, yang terlihat semakin menua lebih capat sejak terakhir kali mereka bertemu.
"Maaf..." Hendri meraih lengan Aza, mencoba memeluknya.
"..." Aza tidak bergeming, tatapan nya kosong.
"Hiks...." Aza tidak sanggup lagi menahan nya, tangis nya pecah setelah itu.
"Kenapa.....?" Lirihnya di tengah isak tangis.
Ruang rawat mewah itu hanya di penuhi isak tangis ayah dan anak itu, sedang putra kembar hanya bisa terdiam dalam rasa kalut di atas sofa.
"Kalian selalu bertindak tanpa memikirkan perasaan ku?" Aza takut setengah mati saat melihat keadaan ayahnya saat ini. Teringat mereka hanya menghabiskan sedikit waktu untuk bersama dalam damai, Aza takut tidak punya kesempatan lagi.
Tidak ada kata lain yang bisa Hendri ucapkan selain maaf. Seharusnya ia memberi tahu Aza lebih awal tentang penyakitnya, kalau tahu reaksi Aza yang takut kehilangannya seperti ini justru membuat nya merasa bahagia dan optimis untuk bisa sembuh.
"Apa kau takut kehilangan ayah nak?" Tanya Hendri sekali lagi.
"Apa yang ayah bicarakan?!!!" Balasnya kesal, masih dalam rengkuhan sang ayah.
"Apa kau menyayangiku nak?" Aza semakin mengeratkan pelukannya, seraya menangis kencang.
"Ayah sangat jahat, bertanya seperti itu pada ku." Hendri tersenyum hangat sambil mengusap punggung kepala putri nya itu.
"Ayah ingin mendengar nya, walau hanya sekali saja..." Tambahnya setelah menghela nafasnya.
"Ayah..., Terlepas dari masa sia-sia yang sudah kita lalui... Aku selalu menyayangimu, sedari awal. I Love You..." Aza merasakan saat kedua kakaknya juga ikut memeluknya dari belakang.
"Kedepannya, ayo kita menjadi lebih bahagia!" Pinta Vino lirih, Aza menangis hingga nafas nya tersengal-sengal karena nya.
***
Aza berbaring dalam pelukan sang ayah di atas brankar rumah sakit yang bisa menampung bahkan sampai 5 orang. Menatap hujan salju lebat yang sedang turun.
"Ayah..." Panggil Aza manja, meminta Ayahnya membalas genggaman tangan nya.
"Ibu orang seperti apa Yah? Kenapa Ayah bisa cinta ke Ibu?" Tanya Aza sambil mengelus permukaan tangan Hendri yang menggenggam tangan nya.
"Dia wanita yang hebat dan kuat, sama seperti mu. Bedanya ia terlalu penurut dan patuh. Berbeda dengan mu... Ah... Sepertinya keras kepalamu diturunkan dari Ayah. Maka dari itu, ibu mu banyak mengalah dan pasrah pada keadaan. Ayah melupakan hal ini, alasan ayah mencintai ibu karena kepolosan nya memandang dunia, matanya yang selalu penuh binar ceria, membuatnya ayah sulit untuk mengalihkan pandangan ayah. Seperti yang kamu ketahui, menjadi seorang Kusuma apalagi pewaris tunggal seperti ayah pasti penuh tuntutan untuk selalu sempurna. Belajar siang malam, terjun langsung untuk menyelesaikan masalah. Membuat hidup ayah penuh tekanan, sampai ayah lupa rasa bahagia. Sampai ayah bertemu ibu saat supir keluarga terlambat menjemput, tapi malah memberikan kenangan tersendiri bagi ayah. Sayangnya saat masalah yang harus membuat keluarga kita berantakan itu datang, ayah melupakan alasan ayah mencintai ibu mu. Seandainya ayah ingat jika ibu adalah orang yang tidak mungkin melakukan hal seperti itu, ayah pasti tidak akan kehilangan ibu mu dan kamu..." Aza mengusapkan tangan ayahnya ke kulit wajah nya.
"Tapi ayah berterima kasih padamu... Terimakasih sudah menjadi anak yang tidak patuh dan berani menanggung keputusan mu sendiri. Kalau tidak ... Cerita nya tidak akan seperti ini. Mungkin putri ayah ini tetap akan terjebak dalam kebodohan keluarga nya sendiri. Terimakasih sudah menjadi pemberani, kamu hebat sayang... Ayah mohon jangan tinggalkan kami lagi, kami sungguh-sungguh menyayangi mu nak." Aza mengerjapkan mata nya, air matanya membuat matanya berkabut.
"Aza akan selalu bersama ayah." Hendri tersenyum bahagia mendengarnya, meski tahu makna bahagia yang Aza katakan tidaklah sepenuhnya bersama. Karena gadis nya itu sudah ada yang mengikat nya. Serta impian-impian yang harus Aza kejar akan menjadi jarak yang mungkin akan menyiksanya dalam menahan rindu pada putri yang baru bisa bersama nya selama 2 tahunan ini.
"Ayah dengar Dikta akan wisuda, bagaimana rencana mu?" Tanya Hendri.
"Tidak tahu, kami masih berkomunikasi seperti biasa. Ia juga tidak meminta ku melakukan apapun. Kenapa?" Hendri terdiam, bagaimana progres hubungan keduanya? Apa memang Aza orang yang sedingin itu?
"Apa kau masih ada urusan di pesantren?" Tanya Hendri.
"Sebenarnya tidak ada kata selesai dalam belajar, apalagi ini tentang agama ku. Tapi janji tetaplah janji. Aku akan cukup kan belajarku di asrama, disamping itu aku tetap bisa belajar dimanapun tempat nya. Dan aku akan kuliah."
"Bagaimana kalau kau menyusul Dikta, kuliah disana? Sekaligus kalian melakukan pendekatan, ayah merasa hubungan kalian terlalu aneh sebagai pasangan." Aza hanya diam menyimak.
"Dikta juga bisa melanjutkan karirnya di sana tanpa harus menahan rindu pada istrinya kan?" Tanya Hendri.
"Lalu ayah? Ayah sendiri meminta Aza jangan tinggalkan ayah lagi, sekarang malah meminta ku pergi? Ayah ini bagaimana?" Tanya nya kesal.
"Ayah bisa kesana kapan saja, apalagi kalau kau sudah..." Hendri tidak melanjutkan pembicaraan nya.
"Ayah juga ingin putri ayah bahagia dan menemukan cintanya, Dikta pria yang baik untuk mu. Ayah percaya itu." Ucap Hendri.
"Baiklah." Balas Aza datar.
***
"Ayah keterlaluan!!" Rengek Gavin.
"Kenapa memisahkan aku dengan adik ku secepat ini!!" Tambahnya, sedang kan Vino memilih memeluk Aza, takut gadis itu akan pergi sewaktu-waktu.
"Kamu gak boleh pergi dek, kamu gak sayang sama kakak?" Tanya Vino, yang Aza abaikan. Aza asik dengan ponselnya sambil menggunakan earphone.
"Setidaknya beri kami waktu beberapa bulan lagi Yah... Kenapa tiba-tiba seperti ini. Belum ada seminggu kita kembali dari Texas, ayah sudah ingin mengirim nya ke US lagi?!!"
"Aza saja setuju, dia disana juga bisa bertemu Dikta. Bayangkan berapa lama Dikta sudah menunggu Aza? Minggu depan juga Dikta wisuda, kalian tega membiarkan Dikta wisuda tanpa Aza?" Tanya Hendri.
"Tega sih... Toh dia akan tetap di wisuda meskipun tanpa Aza." Balas Vino.
"Kalian ini memang..... Kadang-kadang..." Ucap sang Ayah kehabisan kata.
"Kalian kan bisa datang menemui ku kalau rindu, jangan mempersulit." Balas Aza akhirnya.
"Masalahnya kami selalu rindu dan ingin bertemu adik kami ini." Ucap Gavin menahan geram, dengan ucapan adiknya itu.
"Cepat lah cari pasangan, agar ada orang yang bisa kalian perlakukan manis. Jangan hanya pada ku saja, aku tidak sanggup menerima nya terus menerus. Rasanya seperti makan manis yang terlalu manis sampai aku tidak mau memakannya." Balasnya.
"Kau kan memang tidak suka manis." Balas Vino.
"Itu artinya kau tidak suka aku?" Tanya Keduanya.
"Aku tidak pernah mengatakan nya, kalian sendiri yang menyimpulkan." Aza memeluk keduanya, karena pesawat nya akan segera berangkat. Kemudian memeluk sang ayah, dan mengecup pipinya. Kedua kakaknya menatap penuh rasa ingin.
"Baiklah...... Baiklah..." Aza juga mengecup kedua nya.
"Sampai jumpa. Aku titip Ayah ya kak, aku menyayangi kalian semua." Ucap Aza, yang justru membuat keduanya tidak mau melepaskan pelukan mereka. Dan malah menangis tersedu-sedu yang dipaksakan sehingga terdengar menyebalkan di telinga Aza.
Aza hanya bisa memutar matanya kesal.
"Kalian kan Kusuma, jarak yang jauh bisa menjadi dekat dengan uang kalian. Kan aku sudah bilang, kalian bisa menemuiku kalau ingin bertemu. Jangan berlebihan, dan lepaskan aku." Kesalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna ✔️
RomansaAda banyak hal yang bisa menyebabkan berubahnya karakter seseorang, begitupun dengan seorang Khanza Alazne Mabella. Gadis individu tanpa ekspresi, menatap datar semua hal yang dilihat nya. Dulunya hatinya sangat mendambakan cinta dan kasih sayang, h...