Chapter 11. Dikta

1.9K 160 0
                                    

Bingung adalah hal yang kurasakan akhir-akhir ini. Untuk kesal pun aku pikir sudah tidak berarti, semua sudah terjadi. Ditambah aku juga belum siap secara lahiriah dan batiniah. Aku bahkan belum mampu memenuhi kebutuhan adik dan nenek ku di kampung.

"Kau lelah?" Tanyaku pada gadis yang menjadi istriku sepekan ini. Kami baru saja mengatur apartemen yang dulunya Aza tempati. Barang-barang yang dulunya hanya untuk satu orang harus diubah untuk berdua.

Tuan Hendri tetap memberikan kami rumah sebagai hadiah pernikahan. Tapi aku memilih untuk tetap tinggal di apartemen, demi kenyamanan diri dan agar Aza tidak merasa tertekan. Beruntung nya gadis itu bisa diajak kerja sama.

Selama seminggu menjalin hubungan, kami sama sekali tidak pernah berdiskusi tentang hubungan instan ini. Karena fokus pada pemulihan kesehatan Aza. Aku berharap gadis itu menyesali keputusan nya untuk menikahi ku dalam waktu dekat, sehingga pembatalan pernikahan bisa di lakukan. Karena akan merugikan untuk dirinya jika terjadi perceraian di usia belia ini.

"Dua minggu lagi kuliah akan dimulai, kalau butuh bantuan bisa bicara pada ku." Aku menepuk kepala Aza pelan, gadis itu hanya diam mengangguk kaku.

"Malam ini mau makan apa?" Tanya ku, gadis itu menatap ku aneh, entah lah aku tidak bisa mengartikan nya.

"Terserah." Kemudian gadis itu berdiri dan beranjak menuju kamar, aku pun bersantai sebentar.

15 menit berlalu....

Aroma segar sabun kopi khas Aza menguar di ruangan, masuk ke indra penciuman ku. Gadis itu masih mengenakan bathrobe berwarna thistle, membuat kesan lain dari gadis itu. Biasanya pakaian gadis itu tidak jauh dari kesan gelap.

"A-ku mandi juga kalau begitu." Kini aku yang meninggalkan gadis itu ke kamar.

Tidak butuh waktu lama bagi ku untuk membersihkan diri. Aza benar-benar seorang perfectionist, pasalnya apartemen gadis ini benar-benar rapi dan teratur. Kami bahkan tidak perlu waktu lama untuk mengatur ruangan agar menyesuaikan kami berdua.

Gadis itu duduk di atas sofa bantal yang biasa ia pakai, menatap gedung-gedung tinggi yang terlihat dekat dari ketinggian ini. Aku berlalu ke dapur, untuk menyiapkan makan malam. Hidup sebagai anak pertama dan punya adik perempuan membuat ku harus serba bisa, untuk meringankan pekerjaan nenek yang sudah mulai sakit-sakitan sejak aku masuk sekolah menengah pertama.

"Malam ini kita makan sup saja, apa kau keberatan?" Tanya ku saat kami duduk berhadapan di meja makan minimalis. Dia menggeleng sebagai jawaban.

"Ehmm jujur, apa kita harus se-kaku ini untuk bicara? Kalau kau merasa nyaman seperti ini, tidak masalah. Hanya saja kita tidak akan bersama untuk sehari atau dua hari saja, kita perlu mengenal satu sama lain dan mengakrabkan diri." Sanggah ku sambil menatap wajah datar gadis itu yang menunduk menikmati makan malam nya.

"Kau menikmati hubungan ini?" Tanya nya, ku lihat tangan bening nya menggenggam erat sendok makan nya hingga urat-urat halus nampak.

Berusaha setenang mungkin, aku harus mendapatkan kepercayaan gadis itu agar tidak lagi menempatkan ku dalam masalah.

"Kau sendiri?" Tatapan gadis itu berubah sendu.

"Kau kan tahu, aku ini bukan siapa-siapa. Keluarga ku dalam naungan Kusuma, aku juga tidak bisa menolak karena hal ini. Kalau kau menolak pun aku juga yang akan terkena amukan kakak-kakak mu itu, jadi mau tidak mau, suka tidak suka aku harus berusaha dekat dengan mu." Aza menyuap kan makannya, berusaha santai. Walau aku tahu gadis itu sedang mencoba menahan amarahnya.

"Mereka bukan kakak saya," balasnya datar.

"Baiklah, sesuka hati kau saja... Kau tahu sekuat apapun kau menolak mereka, menurutku kau itu sama dengan mereka. Saat didekat kalian aku dipaksa untuk patuh, seolah aroma uang dan harta yang kalian miliki bisa membeli harga diri orang-orang." Aku tertegun saat gadis itu tersenyum tipis, lebih terkesan seringai-an.

"Dan kau merasa harga dirimu terbeli oleh mereka?" Tanya Aza pada ku, aku mana mungkin bisa menjawabnya.

"Sedari dulu saya berharap bisa pergi jauh dari Kusuma. Sayangnya sejauh apapun jarak yang saya ciptakan, kaki saya tetap terantai." Aku tahu perasaan itu, aku tak bisa mengatakan bahwa aku paham karena aku sendiri tidak mengalami nya. Yang ku tahu kami semua berjuang untuk bertahan.

Yang berbeda adalah cara kami menghadapi nya, Aza memilih untuk lari dan menghindarinya. Tapi aku salut padanya, mampu bertahan dan bisa hidup normal seperti ini suatu kebanggaan yang seharusnya dapat ia syukuri. Bagaimana tidak, dikucilkan dan disiksa pasti membuat mentalnya lemah, belum lagi minimnya pengetahuan yang ia dapat sewaktu kecil pasti membuat nya amat terkejut dengan dunia normal yang penuh persaingan. Terdengar sangat tidak mungkin, orang yang dulunya sangat terbelakang bisa hidup senormal ini.

Mungkin memang sudah genetika keluarga Kusuma yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Namun Aza tidak bisa selamanya membenci keluarga nya sendiri, karena bagaimanapun itu jugalah yang membuat trauma nya tidak bisa hilang. Saat ini yang Aza butuhkan adalah kekuatan perasaan dilindungi dan disayangi keluarganya lah obat yang sesungguhnya yang di butuhkan olehnya.

"Saya tahu, justru perasaan seperti itu yang akan terus menyakiti saya. Om Jacob selalu mengatakan itu pada saya. Karena itu, saya butuh seseorang yang bisa menemaniku saat menghadapi Kusuma. Orang yang bisa saya percaya dan bisa membuat saya tenang saat berhadapan dengan Kusuma adalah Om Jacob dan kak Amanda. Tapi saya sadar, mereka tidak bisa selamanya hidup disekitar saya. Maka dari itu saya memilih kamu, apa kamu bisa dipercaya?" Tanya nya padaku, aku sontak terkejut. Apa dia sudah percaya pada ku?

"Yaaa, selama hidupku dan keluarga ku juga aman dan nyaman kau bisa mempercayai ku. Kau sendiri yang bilang jika aku memanfaatkan mu, aku terima jika kau juga ingin memanfaatkan ku." Aku rasa tidak buruk untuk hubungan ini, aku tahu Aza adalah seseorang yang tegas dan berprinsip. Aku rasa dia pasti akan mempertahankan hubungan ini, terlepas tujuan apa yang ia miliki.

"Kamu memang gila, ha ha." Tawanya, dan itu mengalihkan duniaku. Memang benar yang dulu gadis itu katakan, aku yang menang banyak. Dengan wajah pas-pasan yang ku miliki, bisa mendapatkan gadis seperti nya adalah keberuntungan yang tidak bisa di tolak. Belum lagi dengan privileged yang keluarga gadis itu miliki. Bohong jika aku tidak suka harta yang keluarga itu berikan, maka dari itu ini setimpal dengan sekelumit masalah keluarga yang juga harus aku hadapi ini.

Wajahnya yang sedang tertawa ini benar-benar menyejukkan mata. Aku ikut tersenyum saat melihat nya menipiskan tawanya, sadar jika ia sudah kelepasan.

"Dan untuk hubungan ini,.." kami saling tatap saat kami mengucapkan nya secara bersamaan.

"Aku tidak mungkin menceraikan mu, aku adalah orang dengan prinsip satu kali seumur hidup. Jika aku bercerai dengan mu, aku tidak akan menikah lagi dengan siapapun." Ucapku cepat, dia memutar bola matanya jengah seraya bersedekap dada.

"Apa saya belum mengatakan nya?" Tanyanya ambigu, aku menggeleng.

"Saya tidak menganggap hubungan ini, bukan berarti saya tidak menghargai kamu. Ada tidak adanya hubungan ini saya tidak peduli, mungkin untuk saat ini. Saya menyadari perasaan manusia bisa berubah, jadi mungkin suatu saat perasaan saya bisa berubah. Walaupun saya tidak mempercayai nya. Saat ini saya sedang berusaha untuk berdamai. Saya minta, kamu menyiapkan banyak kesabaran untuk menyikapi perilaku dan pilihan saya. Untuk hubungan ini saya serahkan ke kamu, mau seperti apa kedepannya. Karena saya memang tidak tahu harus seperti apa, saya masih meraba perasaan apa yang saya rasakan. Yang saya tahu hanya kebencian, jadi saya mohon bantuannya." Aza menumpuk mangkuknya dengan milik ku.

"Rasanya sulit tapi mudah, kalau kau dan aku bisa bekerja sama. Baiklah, kita lakukan semuanya perlahan." Ucapku, tersenyum menatap nya. Wajahnya masih datar, ia benar-benar hanya tertawa jika hal itu menarik perhatian nya.

Warna ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang