Berteriak histeris dengan suara tangisannya yang pilu. Semua berjalan seakan melambat, Dikta yang berusaha menenangkan Aza pun merasa tidak berguna. Ia tahu hal buruk sudah terjadi pada Aza hari ini, namun ia tak menyangka hal yang sama sekali tidak pernah terbayangkan akan terjadi.
Dikta mengerti dengan sangat, Jacob dan Amanda bagi Aza adalah cahayanya. Mereka yang menarik Aza dari penderitaan masa kecilnya yang mungkin akan terus berlangsung jika mereka tidak bertemu.
Aza tidak hanya kehilangan cahaya hidupnya, kewarasan nya pun terbawa pergi bersama kepingan pesawat yang membawa Jacob dan Amanda.
"Tidak cukupkah?..." Lirih nya pelan, suaranya melemah karena efek obat bius.
Saat ini Dikta hanya terdiam menatap wajah sembab Aza yang tertidur, tangannya menggenggam jemari mungil yang penuh goresan luka. Ia juga tenggelam dalam dunianya, mengabaikan cleaning service yang tengah membereskan ruangan yang menjadi sasaran amukan Aza.
"Kamu gak boleh menyerah, kalau kamu lelah beristirahat lah. Kamu gak mungkin jalan sejauh ini untuk menyerah." Ucap Dikta lirih.
Meski ia belum memiliki perasaan apapun pada gadis yang ia nikahi ini, perasaan sedih juga ia rasakan karena ia kini juga menjadi bagian dari gadis itu.
Suara beberapa langkah kaki mendekat, Hendri dan ke-empat putranya datang. Meski tidak memperhatikan, Dikta bisa melihat raut sedih dan khawatir dari ke-lima nya.
"Rasanya kita memang terlalu egois dan tidak tahu malu untuk meminta pengampunan dari Aza." Suara Anton memenuhi keheningan yang terjadi, pria itu menepuk pundak Dikta.
"Terimakasih, sudah bersedia disisi Aza disaat seperti ini." Dikta hanya mengangguk.
"Untuk ke depannya," Hendri menginterupsi.
"Kami sudah berdiskusi," lanjutnya.
"Kami tidak akan menuntut mu meminta Aza melakukan apapun demi kami. Kami paham, menyembuhkan luka lama sangatlah sulit. Ditambah kini ia mendapatkan luka baru diluar kemampuan kami." Hendri kemudian berlutut disamping kursi Dikta yang tentu saja membuat Dikta tertegun. Hendri menggenggam ke dua tangan Dikta.
"Aku mohon titip putri ku, sayangi dia, cintai dia... Kalau bersama kami malah menjadi luka baginya, kami rela melepaskan nya asal ia bahagia. Saat ini, dalam hati dan pikirannya, hanya kau yang ia miliki. Apa aku bisa mempercayai mu, hanya kau harapan terakhir ku agar Aza bisa hidup dengan normal." Dikta terdiam, bingung.
"Kami akan memberikan apapun yang kau butuhkan." Tambah Hendri.
Menghembuskan napas, Dikta melepaskan genggaman tangan Hendri.
"Tuan, mari kita bicara diluar. Meskipun Aza sedang tertidur, besar kemungkinannya ia bisa mendengar dan memahami apa yang kita bicarakan." Ucap Dikta tegas, melupakan fakta bahwa Hendri adalah mertua nya.
***
Dikta mengiringi langkah Hendri, yang masih gagah di usia memasuki kepala enam. Apa respon keluarga ini selalu seperti ini? Pergi disaat Aza tengah dititik terendah, dan meninggalkan nya pada orang lain. Meski benci pada keluarga nya, Dikta yakin Aza masih mengharapkan perlakuan tulus dari keluarga nya.
Tetap berusaha walau badai tornado sekalipun, yang artinya seburuk apapun atau sekeras apapun Aza memberontak dan menolak berhubungan dengan Kusuma, Aza masih mengharapkan keluarga itu berusaha lebih keras untuk nya.
Mungkin karena itu jugalah yang membuat Aza yang tidak bisa menyembuhkan trauma nya, interaksi yang sangat jarang diantara mereka membuat spasi yang tidak berkesudahan.
"Meski penampilan saya tidak meyakinkan, saya tidak akan meninggalkan Aza begitu saja. Saya akan pergi jika Aza yang meminta nya, tapi saya tidak akan pergi meninggalkan Aza kalau ia meminta nya dalam keadaan marah atau putus asa." Jelas Dikta.
"Itu juga yang ingin saya sampaikan pada tuan atau Ayah..." Ucap Dikta kaku.
"Untuk kali ini, saya minta tetap lah disisi Aza. Sesakit apapun perlakuan yang akan Aza berikan, kalian adalah orang-orang yang pastinya berarti dalam hidup Aza. Kalau kalian ingin melepasnya, bebas kan ia... Jangan kalian hadir lagi saat ia sudah baik-baik saja, dan saya yakin kalian tidak akan bisa. Maka dari itu, mari berjuang untuk meyakinkan Aza, menyembuhkan Aza, mengeluarkan nya dari dunia nya yang tidak bisa kita sentuh itu." Tidak ada wajah konyol yang biasa Dikta tampilkan, wajahnya serius.
"Jika dimasa lalu, kalian gagal melakukan nya, masih ada masa sekarang dan masa depan untuk memperbaiki nya. Kalau kalian menyerahkan Aza pada saya begitu saja, saya sendiri juga bingung harus melakukan apa tuan. Saya belum begitu mengenal Aza, yang hanya saya tahu bahwa Aza menderita, trauma, menerima perundungan, saya tidak tahu penyebab detail nya bagaimana, seburuk apa perlakuan kalian hingga Aza menjadi seperti itu." Dikta mengusap wajahnya lelah.
Hendri sendiri tertegun, teringat masa lalu dimana ia sendiri yang memutuskan untuk menyetujui untuk menjauh dari Aza agar gadis itu merasa nyaman. Dan benar gadis itu bisa hidup dengan baik, meski Jacob berkali-kali memperingati jika hal ini bisa menjadi bom waktu.
Dan bom waktu itu meledak hari ini, tidak ada yang bisa menyentuh hati gadis itu. Kedua orang penting dalam hidupnya telah pergi, ah tidak... Tiga... Orang. Ia baru menerima fakta itu 2 hari yang lalu, bahwa Oko pengurus Aza sewaktu kecil telah meninggal. Hendri harap Aza tidak mengetahui nya seperti ia tidak mengetahui dimana Oko selama ini.
"Baiklah nak, terimakasih telah memberi tahu orang tua yang gagal ini." Balas Hendri lesu. Berlanjut membicarakan dokter spesialis yang tepat untuk Aza, dan hal apa saja yang harus dipersiapkan.
Di ruangan Aza ke-empat pria terdiam memperhatikan seorang gadis dengan tubuhnya yang dipenuhi lebam dan bekas luka.
"Dulu di tangan ini gue dengan bodohnya melukainya dengan puntung rokok." Ucap Gavin sendu, menggenggam jemari Aza. Kesempatan yang sangat langka untuk bisa menyentuh Aza seperti ini.
"Gue juga yang menghapus senyum nya di hari ulang tahun nya dengan merusak boneka barunya. Mainan satu-satunya yang ia miliki." Vino terdengar serak menahan tangis.
"Dengan kesalahan-kesalahan seperti itu, memang gila rasanya meminta maaf yang tulus dari gadis malang seperti nya." Tambah Vino.
sementara Davin dan Anton hanya terdiam, juga mengingat perlakuan buruk yang pernah mereka lakukan pada Aza. Meski memiliki interaksi yang lebih sedikit dari kedua adik kembar mereka, Davin bahkan pernah membuat gadis itu harus mendapatkan donor darah karena perbuatan kejam nya, belum lagi Anton meski tidak pernah menyakiti secara fisik, tapi intimidasi dan kata-kata sangat cukup mengusik mental Aza.
Saat menjelang subuh, Dikta pamit undur diri sejenak untuk menunaikan ibadah. Hingga Aza hanya ditunggu oleh keluarga Kusuma.
"Erghhh..." Lirih Aza, yang tentu saja membuat semua orang terkesiap. Mereka semua langsung datang mendekati Aza. Namun karena sadar diri mereka semua hanya berdiri dengan jarak sekitar 3 meter dari gadis itu.
"Ini dimana?" Ucap gadis itu lirih, kemudian berusaha duduk. Memegang kepalanya yang pening, tatapan nya menangkap wajah-wajah yang berada disekitar nya dengan tatapan bingung.
"Ka-kalian siapa?" Ucap Aza panik dan terkejut mendapati banyak pria di sekitarnya.
***
Dikta berlari kencang saat mendapat kabar jika Aza terbangun, yang lebih mengejutkan nya adalah. Aza, hilang ingatan. Dia tidak mengingat semua orang. Begitu memasuki ruangan tatapan nya bertemu dengan mata coklat gadis itu yang terlihat bingung dan cemas. Dokter sudah menangani nya, tenaga medis juga akan melakukan pengecekan lebih lanjut.
Dugaan sementara dari dokter adalah, Aza mengalami Amnesia Disosiatif. Amnesia yang disebabkan tekanan stres yang luar biasa.
Entah ini musibah atau anugerah, seolah kesempatan untuk memulai semuanya dari awal lagi bagi mereka memahami dan mengenali Aza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna ✔️
Roman d'amourAda banyak hal yang bisa menyebabkan berubahnya karakter seseorang, begitupun dengan seorang Khanza Alazne Mabella. Gadis individu tanpa ekspresi, menatap datar semua hal yang dilihat nya. Dulunya hatinya sangat mendambakan cinta dan kasih sayang, h...