Chapter 7. Permintaan Konyol

2.4K 217 0
                                    

Dikta menyentuh sudut bibirnya yang terasa kebas, satu pukulan baru saja mendarat mengenai nya.

"Ini karena lo gak becus jaga Aza." Ucap Vino, kamudian berlalu begitu saja.

Dikta hanya diam mengepalkan tangannya, hal yang terjadi pada Aza bukan sepenuhnya kesalahannya. Kenapa orang-orang berduit ini mudah sekali menyalahkan tanpa mencari tahu kebenaran nya terlebih dahulu.

Ia sudah terjebak, tak akan bisa pergi jika Vino tidak menyuruh nya pergi. Keamanan keluarga nya juga dipertaruhkan, ia selalu mengkhawatirkan keluarganya setiap saat, semenjak bekerja dengan Vino. Meski Vino tidak pernah menyinggung keluarga nya saat berbicara dengan nya.

Kalau ia nekat pergi begitu saja, ia tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Vino atau bahkan saudara-saudara pria itu pada keluarga nya. Terduduk lesu, Dikta sedikit menyesali karena sudah menyelamatkan Aza dari insiden tawuran tersebut. Kehidupan nya memang terbantu, hanya saja... Ia merasa dikurung, dan di ikat seumur hidup nya.

***

Aza masih dalam perawatan intensif, rupanya gadis itu terkena alergi dari jus mangga yang diminumnya. Beruntung ia bisa bertahan, meski efek yang dia dapatkan sudah cukup parah.

Saat ini Jacob dan Amanda sedang tidak ada, sehingga Hendri langsung yang menunggu Aza. Gadis itu sudah 3 hari tidak sadarkan diri, Hendri sampai menangis karena tidak tahu jika putrinya punya alergi pada buah Mangga, seperti dirinya.

Jika ia merawat Aza lebih baik lagi, hal ini pasti bisa dihindari. Namun sayangnya, putrinya itu tidak akan pernah memaafkan nya. Ia harus bertahan, belum ada setengah waktu dari masa mereka menyiksa Aza. Tiga belas tahun hidup dalam kekerasan dan selalu berharap mendapatkan kasih sayang, pasti sangat berat bagi Aza.

Ia sangat paham, maka dari itu ia hanya berharap kebahagiaan untuk Aza. Ia tidak akan menuntut Aza memberinya maaf. Aza bisa hidup dengan baik dan bahagia saja sudah sangat ia syukuri.

"Kami menyayangi mu Aza, kami tahu kami tak pantas di maafkan. Hiduplah dengan bahagia, itu sudah cukup bagi kami."

"Ayah, ayo makan dulu. Ayah belum makan dari pagi." Pinta Devi menantunya dari Davin, namun Hendri menolak dengan alasan belum lapar. Tapi Devi terus memintanya untuk makan demi kesehatan pria itu juga, hingga pria  itu meminta makanan nya di bawa ke ruangan Aza, namun tidak diizinkan karena ruangan Aza harus steril. Mau tidak mau, ia pun pergi ke kantin rumah sakit untuk mengisi perutnya.

Di ruang tunggu, Dikta juga terlihat suram. Vino tidak mengizinkan nya untuk tenang, pria itu memerintahkan nya untuk selalu berada di sekitar Aza. Sehingga membuatnya harus izin dari kelasnya selama beberapa hari ini.

Namun demikian, ia tetap sibuk dengan tugas-tugas yang diberikan para dosennya. Ia bahkan hanya tidur tidak sampai 4 jam seharinya, itupun tidak nyenyak.

Memijit pangkal hidungnya setelah melepas kaca mata nya, pikiran nya berkelana tentang Aza. Gadis tempramen yang misterius, Dikta paham Aza tidak mungkin bersikap kasar seperti itu sedari lahir. Pasti ada yang membuatnya menjadi seperti itu.

Melihat hubungan gadis itu dan keluarga nya yang kaku, membuatnya yakin pasti ada yang tidak beres dengan keluarga Kusuma. Sangatlah aneh jika putri kandung semata wayang keluarga konglomerat memilih tinggal di apartemen yang mewah bagi Dikta, tapi buruk bagi keluarga Kusuma.

Ia pusing sendiri memikirkan nya, sangat sedikit informasi untuknya agar bisa menelaah keadaan. Agar kedepannya ia bisa memilih langkah yang tepat, bagaimana bersikap pada Aza.

"Dikta, tuan pergi makan sebentar. Kau diminta untuk menjaga nona Aza." Pinta salah satu pengawal keluarga Kusuma.

Benar. Seperti yang sudah ia ketahui, hanya keluarga inti yang di izinkan menjaga Aza. Ke empat kakak gadis itu pasti sibuk mengurus bisnis. Sehingga hanya menyempatkan datang kalau jadwal cukup lengang, hingga hanya Hendri yang sering menjaga Aza. Karena pria itu juga sedang dalam masa perawatan, memasuki usia paruh baya berbagai keluhan mulai sering ia rasakan.

Dan orang lain yang dibolehkan menjaga Aza adalah, dirinya. Ia tidak tahu kenapa para pria gadis itu malah mengizinkan nya, padahal ia juga berisiko besar bisa mencelakakan gadis itu.

Dikta pun masuk ke ruang rawat Aza, namun alangkah terkejutnya ia saat melihat gadis itu sudah duduk dengan dengan tatapan kosong. Dikta segera memencet bel, agar tenaga medis segera datang.

"Ha..us..." Suara serak gadis itu mengalihkan atensinya, ia segera mengambil segelas air, kemudian membantu gadis itu minum. Bersama-an setelah Aza menghabiskan minumnya, tenaga medis datang.

Ia ingin pergi, namun sayangnya Aza menahan lengannya dengan memeluknya erat. Dikta bisa melihat wajah ketakutan Aza, sangat kontras dengan pembawaan yang selalu Aza tampilkan. Gadis itu terlihat rapuh, dan membutuhkan seseorang untuk menopang dan meyakinkan nya.

"Mas boleh disini, biar adeknya bisa rileks." Ucap Dokter sambil tersenyum simpul.

***

Kabar sadarnya Aza membuat Hendri senang sekaligus sedikit kecewa, pasalnya gadis itu bangun saat dirinya tidak disamping Aza. Namun terlepas dari perasaan nya itu, rasa senang dan lega lebih dominan. Ia segera kembali, dan Devi mengabari Davin tentang kabar baik ini.

Dengan langkah cepat Hendri berjalan menuju ruangan Aza, senyum tak luntur dari wajah. Namun saat didepan pintu ruangan, nyali nya menciut. Ia takut reaksi Aza akan buruk, bukan ia tidak suka, hanya saja ia takut jika putrinya itu malah menyakiti dirinya agar ia dan putra-putranya tidak mendekati nya.

Namun ia terkejut saat pintu terbuka menampilkan Dikta dengan wajah sopan nya.

"Tuan, nona Aza ingin bertemu dengan anda." Dikta dan Hendri sama-sama tertegun, Hendri tertegun dengan kalimat yang baru saja disampaikan, sedangkan Dikta tertegun saat melihat ekspresi haru dari wajah seorang ayah didepannya hanya karena putri nya ingin bertemu dengan nya.

Mereka berdua pun masuk, Aza yang meminta agar Dikta berada disampingnya. Dikta sedikit ngilu saat Aza mencengkeram lengannya dengan kuat karena berdekatan dengan ayahnya.

"Nak..." Ucap Hendri lembut.

"..." Hanya diam tidak menatap wajah lawan bicaranya, Dikta yang melihat itu tersenyum sinis. Kemudian berbisik pada Aza.

"Tatap lawan bicara mu." Aza tersentak mendengar nya, kemudian menatap wajah pria itu kesal. Tak ayal ia menatap wajah ayahnya.

"Bagaimana keadaan mu?" Tanya Hendri lagi.

"Baik." Dikta melongo, haruskah gadis itu bersikap dingin pada ayahnya juga?

"Tuan," Hendri terdiam, putrinya masih memanggil nya seperti itu.

"Iya nak..." Jawabnya lembut.

"Aku akan menikah dengan pria ini." Aza dengan cepat menggenggam jemari Dikta, Dikta yang masih belum sadar pun hanya tenang-tenang saja. Setelah sepersekian detik, ia juga ikut terkejut seperti Hendri.

"APA!" Ucap keduanya bersama-an.

Warna ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang