Chapter 31. Diam dan Tamat

1.3K 89 0
                                    

Gadis itu menghentakkan kakinya kesal meninggalkan sang ibu yang juga merasa kalah. Persidangan perceraian Vienna dan Hendri sudah diputuskan, dan mereka resmi bercerai. Vienna bahkan masih gemetar saat merasakan aura intimidasi yang Hendri berikan padanya saat persidangan tadi. Tatapan merendahkan yang tak pernah ia dapatkan dari siapapun.

Semuanya bermula saat ia mulai melancarkan aksinya untuk mengambil aset Kusuma, karena menurutnya setelah berpikir panjang, akan lebih baik jika ia bisa memiliki harta labih banyak, sosok ayah bisa ia beli untuk putrinya. Keluarga bahagia pun bisa dengan mudah ia manipulasi, semua demi putrinya.

Sekitar 3 bulan lebih Aza meninggalkan keluarga nya, selama itu juga Kirana sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan atensinya lagi dari kakak-kakaknya. Sayangnya semua tidak lagi sama, semuanya berubah. Dan itu juga yang membuat Vienna merasa sedih dan tertekan.

"Aku begini karena kau tidak pernah adil!!! Kau selalu hanya mementingkan anakmu saja!!" Saat itu semuanya tumpah, ia sampaikan semua kekesalannya pada pasangannya itu.

"Bahkan setelah sekian tahun bersama kau tidak menginginkan keturunan dari ku!... Hatiku sakit!!! Apa kau tidak bisa mengerti perasaanku?" Nafasnya sesenggukan.

"Yang aku inginkan hanya memiliki keluarga yang normal, dimana aku dan putri ku merasa dicintai didalamnya. Putriku hanya ingin menjadi prioritas, apa itu salah?" Hendri hanya bisa terdiam.

"Sudah?" Tanya Hendri menghentikan kebisingan Vienna.

"Jujur, aku sendiri bingung harus memulai nya dari mana. Pertama-tama aku minta maaf. Kita bertemu karena ibuku, kaulah menantu yang sangat diinginkan nya. Kau dari keluarga terpandang, karirmu bagus. Dan rasa kasih sayang mu besar terhadap putrimu. Aku tahu itu. Sayangnya... Kasih sayangmu, hanya untuk putrimu. Kau bahkan jarang bersikap sewajarnya seorang ibu pada ke empat putraku, bahkan meski itu sebuah kebohongan." Vienna terdiam kaku.

"Bukan aku tidak adil, tapi kau yang terlalu menuntut lebih. Aku bahkan sudah mengabaikan dan membiarkan putrimu menyakiti putriku karena kebodohan ku. Selain itu, menjaga putrimu juga perlu pengawasan khusus. Putrimu sudah main terlalu jauh, beberapa kali ia terjerat kasus hukum. Lalu kemana semua itu? Apa kau tahu? Aku juga selalu memperhatikan apa saja yang putrimu lakukan. Menjaganya dari hal yang tidak menyenangkan, termasuk menjaga reputasi nya. Meski ia sendiri suka bermain api. Dan beberapa kali menempatkan Aza dalam bahaya, aku tahu itu. Aku yakin hal itu lolos dari pengawasan mu." Hendri tersenyum tipis.

"Tadinya aku sudah berusaha menerima mu, sebagai pasangan ku disisa hidupku. Nyatanya tidak dengan mu," nada Hendri terdengar sendu, Vienna membeku dan kepalanya mendadak kosong saat mendengar arah pembicaraan Hendri yang mengetahui tabiat nya yang suka bermain pria.

"Haaaah... Aku ini pria tua, sudah mulai banyak penyakit yang mendatangi. Aku tidak seberani itu mengantarkan ku pada penyakit yang mungkin saja kau bawa."

Deg
Vienna mengepalkan tangannya dengan penuh rematan menahan gejolak.

"Maka dari itu, aku berhenti. Aku berhenti menjadi suamimu, aku berhenti menjadi ayah bagi putrimu, aku berhenti menjadi pelindung yang menutupi skandal-skandal kalian yang akan datang di masa depan. Besok pagi, surat perceraian akan datang. Terserah kau ingin mempermudah nya atau mempersulit nya. Tapi yang pasti... Jika kau mempersulit nya, kau sudah mengetahui sebanyak apa bukti yang aku miliki tentang perselingkuhan mu dan keterlibatan mu mencelakai keluarga ku." Hendri meninggalkan nya.

Di persidangan tadi pun ia tidak bisa berkata apapun, ia hanya bisa pasrah menerima keputusan hakim. Lebih baik, daripada Hendri melaporkan semuanya ke pihak berwenang.

Sekarang ada satu masalah lagi yang seharusnya ia perbaiki sejak dulu.

"Arghh!!! Mama gimana sih!!! Kenapa mama cerai dari Ayah?!!" Vienna hanya memejamkan matanya saat melihat putri nya mengamuk, karena keinginannya tidak terpenuhi.

"Mama sudah berjanji untuk memberikan semua yang aku mau!!! Kenapa mama bohong? KENAPA!!!!!" Teriaknya lalu masuk ke kamar yang belum tertata, karena mereka baru saja memindahkan barang-barang mereka.

"KIRANA ARANDARA!!" Kirana hanya menatap penuh emosi.

"Gak!! Aku mau pulang ke rumah! Keluarga aku disana!!" Ucapnya sambil menutup koper nya yang berantakan, kemudian membawanya.

"Jangan bodoh kamu!! Kita ini sudah tidak ada hubungannya lagi dengan mereka. Dan mama minta stop bertingkah seperti anak kecil!! Bukan usiamu lagi untuk merengek-rengek meminta hal yang kau inginkan." Vienna mencekal lengan putrinya, kemudian menghempaskan nya ke kasur. Lalu berlari ke pintu, dan menguncinya.

"Kamu harus terima sayang!! Gak semua yang kita mau bisa digapai!! Karena hidup gak hanya sekedar keinginan kamu saja!! Mama....." Suaranya tercekat, tubuh nya luruh di daun pintu. Mendengar jeritan histeris Kirana meluapkan amarahnya.

"Mama... Minta... Maaf...." Ucapnya lirih.

"Gak!!! Mama adalah orang tua terburuk!!! Semua ini mama penyebab nya!!! Aku benci mama!!" Begitulah sore pilu yang Vienna lalui. Menyesalinya pun tidak berguna lagi. Meski gengsi nya tinggi, ia mengakui segala kesalahannya. Ia tahu itu.

Di lain tempat, Aza tengah fokus membaca buku yang bisa mengokohkan nafsiah nya. Gadis itu kini sudah terlihat damai dengan pakaian muslimah nya, wajahnya pun terlihat bersahaja. Orang-orang ditempat tinggalnya saat ini pun sangat luar biasa. Semuanya memiliki kisah yang luar biasa.

Yang membuatnya harus bersyukur karena perjalanan hijrahnya terasa sangat mudah, apa ini bisa di sebut marah membawa berkah? Karena dia yang masih marah pada Kusuma, membuat Kusuma mengizinkan apapun yang Aza inginkan. Termasuk kemantapan hatinya memeluk keyakinannya saat ini.

"Sudah ku tebak, kak Aza pasti disini!!" Atensi Aza beralih pada gadis berusia 17 tahun itu.

"Hmm, ada apa?" Tanya Aza, tanpa mengalihkan atensinya.

Dia Lu'lu, anak yang masih duduk di bangku SMA, yang nekat kabur dari rumah karena keputusan nya. Atas kekuasaan tuhan, yang mengantarkan nya ke tempat ini. Tempat yang menenangkan. Lu'lu dulunya bernama Pricilla Agatha, sedikit banyak Aza memahami perasaan nya yang tumbuh di kalangan atas.

Lu'lu selalu dituntut untuk memenuhi ekspektasi keluarga, karena ia satu-satunya anak perempuan di keluarga nya. Bisa dibilang mereka senasib dengan cerita yang berbeda. Bedanya, Lu'lu adalah gadis yang ceria karena tumbuh penuh harapan dan kasih sayang.

Tapi Aza yakin perjalanan yang di lalui Lu'lu pasti lebih berat darinya, mungkin kalau itu dirinya pasti tidak akan sanggup. Orang yang biasa hidup di cintai dan tumbuh dalam kehangatan, tiba-tiba dibenci dan penuh hinaan dari orang-orang terdekat. Disana adalah titik terendah yang Aza sendiri tidak mampu membayangkan nya.

Berbeda dengan nya yang memang sudah terbiasa berdarah sejak kecil, semuanya akan terasa biasa saja baginya. Karena memang itu yang selalu ia dapat sejak kecil.

"Kak aku punya hadiah untuk kakak." Ucap gadis itu.

"Hari ini jadwal aku hubungi keluarga, tapi karena gak ada yang harus aku hubungi... Kakak bisa ambil jatah aku. Karena aku rasa kakak lebih membutuhkan nya." Ucap gadis itu, masih dengan nada cerianya. Sambil menatap cincin di jari manis kanan Aza dengan senyum tipis.

Warna ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang