Chapter 26. I Am Mine (Aza 17+)

1.6K 95 2
                                    

Ku tatap pemandangan kota di balik kaca jendela kamarku yang berada di lantai 18, rasanya lelah dengan diriku sendiri. Tanganku masih terpasang jarum infus, aku tidak ingin ke rumah sakit lagi. Tidak ada siapapun yang ingin aku temui disana.

Alhasil keluarga,... Ah tidak A-ayah yang mendatangkan dokter dan tenaga medis lainnya ke kamar ku. Keadaan ku cukup ringan, bagiku... Dibandingkan dengan hal-hal yang sudah aku lalui, ini semua belum seberapa.

Aku sangat bingung dengan diriku sendiri, seolah sebagian diriku sangat ingin memaafkan keluarga ku, namun sebagian diriku sangat tidak ingin berdekatan dengan mereka.

"Aza..." Suara lembut khas wanita menemani ku pagi ini. Kakak ipar ku Devi dengan telaten merawatku, dan menemaniku sejak aku terbangun.

"Jangan melamun ya, cerita kan pada kakak... Apa yang Aza rasakan, apa yang Aza ingin kan. Itupun kalau Aza tidak keberatan." Aku hanya membalasnya dengan tersenyum tipis.

"Aza hanya ingin sendiri dulu kak, Aza janji akan baik-baik saja." Balas ku, wanita dewasa itu tersenyum hangat.

"Baiklah, kakak akan keluar ya. Aza bisa beristirahat dengan leluasa." Aku hanya mengangguk samar tanpa menatap kepergian Devi, pemandangan kota jauh lebih menenangkan. Dan dapat membuat ku lupa dengan hal-hal rumit dalam pikiranku.

Aku tersentak saat sepasang tangan hangat dan besar menangkupi tangan ku.

"Kakak bisa beristirahat dengan tenang, aku baik-baik saja." Ucapku tanpa menoleh sedikitpun, namun teringat ukuran tangan Devi tidak mungkin sebesar ini, aku menoleh cepat.

"Kamu!!!" Aku spontan melepas tautan tangan kami.

"Aza..." Lirihnya, dia Dikta. Satu-satunya orang asing yang berhasil masuk dalam daftar orang penting di hidup ku, namun sayangnya keberadaan nya hanya sebagai boneka penenang dari keluarga Kusuma.

Buktinya selama enam bulan aku kehilangan ingatan ku, ia sama sekali tidak berusaha mempertahankan ku. Hanya muncul sekali, dan setelah itu ia menghilang entah kemana. Ia hanya bisa berada di sekitar ku atas perintah Kusuma.

"Aku tidak butuh kamu, aku tidak ingin menyayangi orang yang hanya bisa muncul karena orang lain." Suara ku memecahkan keheningan yang terjadi.

Dikta menatap ku sendu, tatapan yang tidak bisa aku simpulkan emosi apa yang berada dibaliknya.

"Aku akan tetap baik-baik saja meskipun tanpa dirimu sekalipun." Tambahku.

"Aza..." Dikta meraih telapak tangan ku, dan ditangkupkan ke dua sisi wajahnya.

"Maafkan aku, aku pun bingung. Apa aku harus bertahan untuk kamu? Apa kamu berarti untuk ku? Semuanya terasa terlalu cepat dan di paksakan. Tapi, anehnya... Selama setengah tahun ini aku merasa sangat rindu... Pada mu... Gadis yang ku nikahi, yang hanya berbagi atap sebulanan. Memikirkan kamu, apakah akan baik-baik saja? Bagaimana kalau kamu merasa takut lagi, bagaimana kalau kamu terkena alergi lagi. Semuanya aku pendam sambil meyakinkan bahwa kamu akan selalu bahagia bersama keluarga mu. Melihat tawa ceria, yang bahkan tidak pernah aku lihat saat kamu bersama ku... Aku merasa yakin kau akan baik-baik saja hidup seperti itu." Mataku berkabut, merasa sedih dan marah. Dan sialnya aku memahami apa yang dia rasakan.

Kami benar-benar baru mengenal, seperti orang asing kebanyakan. Pertemuan kami juga bisa dibilang cukup aneh dan buruk. Aku juga hanya ingin mempermainkannya nya saja awalnya, kesalahan nya menganggap pernikahan ini serius. Meski tak ada niat untuk bercerai, awalnya aku hanya ingin menjadikan nya pajangan dan tameng yang bisa melindunginya ku dari cecaran dan tekanan.

Sayangnya semua nya terasa semakin aneh, aku yang seorang individual ini merasa ingin menyandarkan kepalaku di bahunya disisa umurku. Perasaan itu sangat menggangu. Ditambah lagi ia adalah boneka Kusuma.

"Pergilah." Ucapku datar, pria itu menangkup wajahku. Tatapan nya penuh pertanyaan dan ketidakrelaan.

"Pergilah jauh, dan tetap rinduilah aku. Pergilah untuk menjadi pria tanpa benang kontrol. Pergilah..." Dikta memelukku erat, menenggelamkan kepalanya di ceruk leher ku hingga tubuhku mematung terkejut.

"Dan aku akan kembali, menjemput tuan putri yang selalu ingin bebas ini." Balasnya.

"Tidak perlu, aku yang akan datang padamu, kalau aku mau. Yang bisa menyelamatkan hidupku hanya diri ku sendiri." Balasku, Dikta semakin mengeratkan pelukannya. Aku hanya bisa terdiam mematung, kepalaku terasa kosong.

Mata sendu nya menatapku, dengan pikiran ku yang gila ku raih bibir tipis merah nya itu. Ku usap lembut, dengan jemariku. Tatapan lelaki itu hanya terkunci di mataku, hingga tangan besarnya meraih tanganku yang bergerak cukup nakal di pertemuan pertama kami setelah ingatanku kembali.

"Karena aku hanya milik aku, bukan milik siapapun. Aku yang memilih apa yang harus aku lakukan." Aku terbelalak saat Dikta menyerang ku dengan tiba-tiba dan lembut. Bibir tipisnya itu seperti sudah sangat ahli meraup bibir ranum ku. Kemudian berhenti sejenak dan berkata,

"And then... I'm yours..." Lirihnya, kemudian melanjutkan apa yang sudah dimulai nya.

"I will never remember it, yourself is yours." Balas ku pelan.

***

Tepukan lembut dipundak ku membangunkan ku di pagi hari, matahari pun masih lama bersembunyi.

"Az... Bangun," Suara melankolis itu masuk ke indra pendengaran ku. Ku buka mataku, dan ku dapati Dikta sudah segar dengan kemeja lengan pendek dan sarung.

"Sholat bareng yuk." Ajaknya, entah aku lupa atau tidak, sepertinya ini kali pertama kami sholat bersama.

Aku segera bangkit dan menggosok gigi dan mengambil air wudhu, jangan berpikir aneh-aneh. Kami tidak melakukan apapun semalam, kami hanya berbagi cerita apa saja yang sudah dilalui selama ini.

Baru tadi malam aku tahu kalau Dikta memiliki adik perempuan, dan ia seorang yatim piatu sejak kecil. Dia sungguh pria yang tangguh. Bisa bertahan sampai sejauh ini pasti berat untuknya. Dan aku adalah salah satu masalah yang juga memberatkan beban hidupnya.

Selama menjadi seorang mu'alaf aku hanya baru bisa melakukan sholat, bacaan sholat pun hanya hafal. Tidak bisa seperti orang yang memang sudah terlahir sebagai muslim dari lahir.

Aku tidak bisa menilai lantunan ayat suci yang Dikta lafazkan, tapi ketika telinga ku mendengarnya hatiku merasa tenang.

"Pulang nanti, kamu belajar ngaji ya. Ada banyak yang harus kamu pahami." Aku hanya mengangguk sambil menyalami tangan nya. Dia meraih keningku untuk dikecupnya.

"Kenapa?" Tanyaku saat dia lagi-lagi menatap ku.

"Kamu selalu cantik." Ucapnya.


Warna ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang