Chapter 22. The Decision

1.3K 107 8
                                    

Tidak satupun yang tidak terkejut atas pernyataan Aza, tentu saja tidak percaya. Aza tahu itu, beranjak dari duduknya kemudian berjalan menuju kursi putar yang Gavin gunakan untuk bermain game di waktu luang.

"Sayangnya tidak ada nak, ingatan mu akan kembali kapan saja. Terlebih lagi kalau kau melihat hal-hal yang bersinggungan dengan trauma yang kamu miliki." Aza menghela napas, ia tidak bisa membayangkan seburuk apa trauma yang sampai berlangsung begitu lama.

Apa benar keluarga nya sejahat itu pada nya? Walau pun ia tidak mengingat nya, reaksi tubuh dan intuisi nya mengatakan demikian saat sedang berdekatan dengan ayah dan saudara-saudaranya. Perasaan aneh, asing, jijik bersatu dalam pikiran nya. Hanya saja ia tidak mengerti, 19 tahun hidup, apa hidupnya hanya untuk menyiksa diri untuk menjadi pendendam?

Perlakuan bagaimana yang sudah keluarga nya lakukan, hingga ia mengalami PTSD sampai gangguan Dimensia seperti ini? Ah... Aza mengingat mimpi itu, mimpi ia tenggelam di kolam rumahnya sendiri. Mimpi terburuk yang ia ingat selama kehilangan ingatannya. Kalau dalam mimpi saja seburuk itu, bagaimana pada kenyataannya? Ada banyak pertanyaan dalam pikiran nya, logikanya ingin realistis untuk menerima keadaan yang ada dan merelakan masa lalu. Tapi hatinya terasa berat.

"Apa kalian sudah berusaha mengejar ku?" Sayangnya pertanyaan itu hanya mengudara dalam pikiran nya lagi, kepalanya sungguh terasa pening. Tubuhnya juga terasa ditarik dengan paksa ke dasar tanah, hingga ia terduduk di lantai karena kakinya gemetar tidak kuat menahan beban nya.

Sayup-sayup terdengar suara ayah dan kakak-kakak nya memanggil namanya khawatir. Tapi semua itu Aza hiraukan, dalam bayangan kenangan yang berwarna sepia negatif itu bertebaran di kepala. Suara-suara asing yang terasa familiar berkeliaran.

"Ss..sakit." rintih Aza sebelum kehilangan kesadaran nya.

"Cepat panggil dokter!" Teriak Hendri, sambil memeluk tubuh putrinya.

"Ayah, jangan panik.... Ayo bawa Aza ke kasur dulu." Davin mengambil alih Aza, tahu kondisi ayahnya yang sedang panik sampai tangannya tremor.

Setelah dokter datang dan memeriksa keadaan Aza, dokter bilang Aza hanya kelelahan dan banyak pikiran. Dokter hanya menyarankan Aza mengonsumsi obat yang biasa ia minum.

Dan satu jam kemudian Aza terbangun, tidak ada yang aneh dari perilaku Aza. Hanya saja,

"Ayah, apa bisa kita pindah rumah dimana hanya ada ayah, kakak-kakak dan kakak ipar didalamnya?" Hendri yang khawatir Aza akan membencinya pun menuruti begitu saja tanpa banyak tanya, karena ia juga tahu jika istri dan anak sambungnya itu perlu di waspadai.

"Baik nak, apapun demi putri rumah ini." Ucap Hendri sambil mengecup punggung tangan mungil Aza berkali-kali.

Saat ini ke lima tuan Kusuma itu duduk memenuhi sisi ranjang tempat Aza tidur, Aza juga masih di kamar Gavin. Karena dokter bilang Aza tidak perlu dibawa ke rumah sakit.

Tidak ada yang tahu bahwa hari itu sesuatu telah terjadi.

***

"Kita mau kemana sih kak?" Tanya Aza pada Vino yang menuntun langkahnya, matanya ditutup kain hitam. Hingga ia tidak bisa melihat cahaya barang setitik pun.

"Sabar ya, sebentar lagi sampai. Hati-hati, di depan ada tangga..." Tuntun Vino, seteleh keluar dari mobil.

"Terlalu sulit, nanti aku jatuh gimana?" Tanya Aza, Vino hanya tertawa menanggapi nya. Aza mengangkat kedua tangan nya keatas.

"Gendong aja..." Rengeknya manja.

"Duh... Udah besar kok masih mau gendong." Balas Vino, namun begitu ia sangat senang dengan sikap manja adiknya. Setelah hampir sebelas tahun ia melihat kemanjaan adiknya lagi.

Warna ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang