Chapter 10. You Are My Wife

2.2K 172 0
                                    

Seorang Aza selalu bertindak out of the box, alih-alih menikah dengan perayaan, Aza meminta pernikahan nya hanya sekedar akad saja dan dilaksanakan ke-esokan harinya. Dan keyakinannya sebagai Muslim dipastikan dengan membaca kalimat syahadat di ruang rawatnya, yang disaksikan oleh ustadz yang merupakan kenalan Dikta dan orang-orang yang ada di rumah sakit.

Proses haru saat Aza ditanya kenapa ia memilih menjadi muslim, ia terkenang akan jasa-jasa Yang Oko dalam hidupnya. Mengajarkan nya membaca, mengajarkan nya untuk selalu bersyukur dan tabah melalui semua ujian. Dan betapa baiknya tuhan nya mengabulkan doanya satu persatu.

Setelah itu dilanjutkan dengan akad nikah yang di wali-kan dengan wali hakim. Proses yang begitu cepat, dan semuanya berjalan lancar. Meski begitu, dapat terlihat diwajah Dikta yang merasakan ketegangan. Ia bahkan kesulitan mengucapkan kalimat kabul karena nama Aza yang cukup sulit disebutkan di lidahnya.

Namun pada akhirnya kata "sah" bergema di ruangan 5 × 6 meter tersebut. Dikta menatap Aza yang saat ini juga menatap nya dari ranjang nya. Ruang rawat Aza memang cukup luas bahkan bisa menampung 1 set sofa di dalam nya, belum lagi kasur tambahan di samping ranjang Aza.

Dikta menandatangani buku nikahnya, kemudian membawa nya ke hadapan Aza untuk ditandatangani nya. Mulai saat itu mereka sah menjadi sepasang suami istri dimata agama maupun negara. Sebagai formalitas Dikta mengulurkan tangannya pada Aza agar gadis itu menyalaminya.

Diluar ekspektasi, Aza menyalaminya khas orang yang baru saja mendapatkan kesepakatan bisnis. Melihat itu orang-orang menahan tawa mereka, Aza yang merasa pun menatap bingung sekitarnya. Dikta pun berusaha menutupi kebingungan Aza dengan menarik tangannya agar dikecup Aza, beruntung Aza patuh.

Kemudian Dikta menarik lembut kedua sisi kepala Aza agar mendekat padanya, membelai poni-poni kecil yang menutupi kening gadis itu. Lalu mengecupnya dengan hikmat, terlepas alasan apapun yang membuat mereka menikah, pernikahan ini asli. Ada pahala di setiap langkahnya, dan Aza kini adalah tanggung jawab nya.

"Terlepas apapun tujuan mu menikahiku, kamu adalah istriku, tanggung jawabku. Pernikahan yang hebat tidak terjadi karena cinta yang dimiliki suami dan istri pada awalnya, itu terjadi ketika mereka terus membangun cinta mereka sampai akhir. Meski tidak ada cinta diantara kita, mari kita jaga hubungan ini hingga akhir. Aku setuju menikah dengan mu bukan untuk melepaskan mu suatu saat nanti." Bisik pria itu yang tanpa ia sadari mampu membuat hati Aza bergetar, namun karena tak bisa mengekspresikan diri nya, gadis itu hanya diam.

Setelah memberikan selamat orang-orang kembali pada kegiatan nya masing-masing, hanya tersisa keluarga Kusuma dan paman atau mamang dari Dikta disana. Hendri masih terdiam, secepat itu ia melepaskan putrinya. Dan itu bukan dirinya sendirilah yang melepas Aza.

"Untuk kedepannya,..." Dikta baru saja ingin bicara, tapi Hendri sudah menyela nya. Saat ini Aza tengah tertidur, efek obatnya setelah makan siang.

"Kau tenang saja, kami akan mencarikan rumah. Untuk biaya tenang saja, kami akan membiayai kalian. Untukmu aku akan membiayai mu sampai kau lulus dan mendapat pekerjaan yang layak." Dikta mendesah dalam hati, kalau saja ia orang lain pasti akan senang mendapatkan itu.

Sayangnya tidak dengan Dikta, ego nya sebagai anak sulung yang mandiri terusik. Namun ia tidak bisa gegabah, ia tahu dan sadar dirinya dimata Kusuma. Sebagai jembatan penghubung antara mereka dengan Aza, Aza hanya mau bicara jika Dikta menemani nya.

"Maaf tuan," lagi-lagi ia disela, Hendri menegur nya agar memanggil Ayah. Supaya Aza juga memanggilnya Ayah nantinya.

"Baik A-ayah, saya tahu dan sangat berterimakasih pada niat baik Ayah. Hanya saja saya tidak bisa menerimanya, jika kemarin saya bekerja dengan Ayah lain halnya dengan sekarang. Kemarin saya pasti akan menerima dengan mudah hal-hal yang Ayah beri, namun saat ini keadaannya sudah berbeda. Aza tanggung jawab saya, jika saya terlalu mengandalkan uang dari keluarga istri saya, saya tidak bisa melindungi Aza di kemungkinan terburuk di masa depan. Saya mohon dengan kebesaran hati Ayah, saya tidak bisa menerimanya." Dikta dapat melihat pelipis Hendri bergerak menahan kesal.

"Hmm... begini, saya tetap meminta bantuan Ayah untuk modal usaha saya. Saat saya sudah berhasil nanti, saya akan segera mengembalikan nya pada Ayah." Mendengar itu, Hendri mengangguk paham. Cukup terkesan dengan menantu barunya yang bernyali besar.

"Baiklah, ayah paham. Tapi jangan pernah ragu untuk meminta bantuan. Ayah tidak mau Aza merasa kesulitan." Balas Hendri, diusianya saat ini ia harus memiliki hati yang besar dan kepala dingin.

Kemudian mereka berlanjut membicarakan yang lainnya, dari sana Dikta tahu masa lalu istrinya yang pahit. Ia sendiri jika menjadi Aza akan bersikap sama, tapi ia tidak bisa membenarkan itu. Setiap orang pasti berbuat salah, dan setiap orang berhak mendapatkan kesempatan entah yang ke berapa pun.

Sesekali ia melirik Aza saat Hendri memelankan suaranya ketika menceritakan masa kecil Aza, pria itu tidak bisa bercerita banyak tentang putrinya. Satu-satunya yang tahu tentang Aza kecil adalah Yang Oko. Sayangnya pria itu hilang bak ditelan bumi, orang-orang mengira pria itu telah tiada. Karena tidak ada kabarnya selama 5 tahun ini.

"Ayah berharap kau bisa membuka hati Aza, kami tidak berharap ia menjadi baik pada kami. Kami hanya mengharapkan Kusuma ada dalam pikiran nya saat sedang butuh pertolongan." Tambah Hendri.

"Ayah titip dia ya. Ingat, jangan sungkan meminta bantuan pada Kusuma, kau juga bagian dari kami." Pria itu tersenyum hangat, perasaan nya tenang setelah mengamati Dikta lebih dalam.

Pemuda ini baik. Itulah nilai yang ia dapat dari Dikta.

Waktu berlalu, matahari menyinari belahan bumi lain. Hendri dan keluarga nya pamit pulang. Pengantin baru itu pasti membutuhkan waktu untuk berdua. Setelah yang lain pergi, Vino dan Gavin tiba-tiba kembali.

"Sepertinya kita perlu bicara." Dikta terkejut, meski demikian ia mematuhi kedua ipar nya itu. Kedua pria di hadapannya itu hanya lebih tua beberapa bulan darinya. Tapi mereka lebih dulu lulus, entah karena uang atau memang otak jenius mereka. Tapi mengingat perjuangan istrinya mengejar ketertinggalan belajarnya dengan cepat membuatnya ragu kalau dua orang ini lulus karena uang. Pastinya mereka mendidik anaknya agar menjadi generasi terbaik.

"Ada apa ya?" Tanya Dikta sopan, dengan aksen sunda yang masih sedikit ketara. Mereka kini berada di area yang cukup jauh dari kamar rawat pasien.

Tiba-tiba saja Gavin memberikannya pukulan, hanya saja dengan cepat Dikta tangkis. Kemudian Vino berusaha meraih kerah baju pria itu, Dikta juga menangkisnya.

"Ada apa dengan kalian? Apa gak bisa bicara baik-baik?" Tanya Dikta seraya menghindari setiap serangan yang mereka berikan.

"Stop!!!" Sentak Dikta kemudian mendorong Vino dan Gavin yang masing-masing masih memegang kain baju Dikta, hingga keduanya terdorong ke belakang.

"Gue nyuruh lo berteman dengan nya, kenapa lo malah menikahi nya?!" Sarkas Vino.

"Bisa-bisanya Aza menikahi pria macam Lo!" Gavin menambahi.

"Kalian pikir gue senang berada di situasi seperti ini? Hei tuan muda Kusuma, jangan lupa, lo yang paksa gue dengan membahayakan keadaan keluarga gue. Kalian sendiri gak tahu gimana sikap Aza, gadis itu sengaja menjebak gue untuk balas dendam ke kalian dan ke gue. Kalian gak sadar udah nyeret orang yang gak bersalah seperti gue ke masalah keluarga kalian, dan kalian menyalahkan gue?" Dikta merasa tidak terima, seolah-olah dia yang salah. Padahal masalah keluarga Kusuma tetap ada walaupun tanpa kehadiran dirinya.

Gavin runtuh ke lantai, dadanya sesak. Memukul-mukul lantai dengan kepalan tangan nya. Sedang Vino hanya terdiam, kemudian ia bernafas lega. Setidaknya adiknya ada ditangan yang tepat, melihat Dikta yang tidak menyerah begitu saja ia yakin pria itu bisa diandalkan. Kemudian menuntun adiknya berdiri.

"Berjanjilah pada kami lo akan menjaga dan membahagiakan nya!" Titah Vino.

"Tentu saja, dia istri gue, tanggung jawab gue." Balas Dikta lugas.

"Good luck bro." Vino menepuk pundak Dikta, kemudian berbalik pergi bersama adiknya Gavin. Ah tatapan pria itu masih saja menusuk punggung Dikta.

Warna ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang