Chapter 15. Becoming Your Lighthouse

1.6K 145 0
                                    

Tubuh bergetar Aza memberitahu Dikta jika gadis itu tengah menangis, sisi yang pertama kali Dikta lihat selama mengenal Aza. Biasanya meski menangis, gadis itu tetap berteriak marah sambil memukul orang atau membanting barang. Ternyata saat menangis seolah tak berdaya seperti ini, Aza terlihat sangat menyayat hati.

Dikta mensejajarkan wajah mereka, wajah pucat gadis itu terlihat memerah, terutama dibagian mata dan hidung. Matanya pun sedikit membengkak.

"Aku lelah... Bisa tidak, aku pergi ketempat dimana hanya ada aku disana? Hanya ada kedamaian, ketenangan,... Aku juga ingin merasakan nya ...." Dengan nafas tersengal Aza berucap.

"Aku juga sudah berusaha merelakan, menerima, melupakan semua yang menyakitkan. Tapi tidak bisaaa...." Suaranya parau bercampur isak tangisnya.

"Rasanya lebih baik aku tidak terlahir, jika hanya untuk disalahkan atas kesalahan yang aku sendiri tidak tahu..." Isak nya semakin menjadi, Dikta hanya bisa menepuk pundak gadis itu pelan. Membiarkan gadis itu mengeluarkan semua emosinya, yang mungkin hanya ia bisa pendam sendiri selama ini.

"Mereka memukul, memaki, melempar ku seperti binatang... Setelah kebenaran terungkap, mereka meminta ku untuk baik-baik saja. Bahkan aku tidak bisa berinteraksi dengan baik dengan masyarakat, anak-anak seusia ku. Aku tidak berani membela diri saat siswa-siswa lain merundung ku karena membenci aku yang pendiam..... " Napasnya terdengar berat, dadanya pasti sesak. Disana Dikta terkejut, tidak ada yang menceritakan hal ini sebelumnya. Baik Jacob ataupun Hendri, berarti gadis ini tetap mendapat tekanan dari lingkungannya tanpa diketahui oleh siapapun.

Dikta memeluknya, berusaha mengurangi rasa takut dan kesedihan gadis itu.

"Setiap hari merasa takut, bahkan untuk mengakhiri hidup pun aku tidak kuat. Aku hanya tidak ingin mengecewakan orang-orang yang sudah memperjuangkan aku sampai seperti ini, tapi hidup pun aku tidak tahu tujuan. Hari-hari ku terlalu monokrom, sampai aku lupa kalau abu-abu itu juga warna." Lirihnya pelan, suaranya sudah melemah, mungkin karena lelah.

"Ssst... Udah capek?" Tanya Dikta, Aza hanya mengangguk dengan tatapan lemah. Masih ada air mata yang menggantung di pelupuk mata nya. Dikta mengusap kedua mata itu dengan ibu jarinya.

"Kita lanjut besok ya. Kamu udah capek, udah malam juga. Besok kita cari solusinya." Aza mengangguk, kemudian merapatkan tubuhnya pada Dikta. Yang tentu saja membuat pria itu ketar-ketir. Namun begitu, ia tetap menyambut dengan memeluk Aza dan mengelus punggung gadis itu.

"Tidur yang nyenyak ya..." Bisik Dikta, karena memang merasa pusing dan kelelahan Aza dapat tertidur dengan cepat.

Dikta memanggil Aza pelan untuk memastikan gadis itu sudah tertidur. Sekarang sudah dini hari, ia tidak sempat memasak karena Aza sama sekali tidak mengijinkan nya pergi. Memesan makanan online adalah pilihan terakhir nya, beruntung Esa sahabat nya memiliki kedai makan.

Hingga ia tidak perlu khawatir keamanan nya, karena ia bisa mempercayai sahabatnya. Dengan begitu Aza bisa makan dan meminum obatnya.

***

Pagi hari nya Dikta merasa sangat ngantuk, semalam ia berbicara dengan Jacob melalui telepon video. Membicarakan tindakan apa yang seharusnya dilakukan.

Jacob menyarankan untuk melakukan Hipnoterapi, hanya saja Jacob menyampaikan jika Aza itu selalu gagal dalam proses induksi hipnosis. Dan karena saat itu Aza yang cukup keras kepala sehingga enggan melakukan metode tersebut.

Saat itu amarah gadis itu masih meluap-luap terhadap keluarganya. Bahkan Aza memang sengaja melakukan nya agar keluarga nya tidak bisa mendekati nya dan hidup dalam rasa bersalah. Agar saat melihatnya keluarga Kusuma teringat akan dosa-dosa yang sudah dilakukan pada gadis itu.

Warna ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang