"Are you ok, sweetheart?" Tanya Hendri yang menunggu di ruang tunggu dari klinik tempat nya melakukan terapis. Aza hanya mengangguk sebagai jawaban, kemudian tersenyum lembut.
"Dokter ingin menemui Ayah," ucap Aza.
"Baiklah, kau tunggu sebentar ya?" Pinta Hendri, yang disetujui Aza. Pada terapi pertama nya ini dia ditemani oleh Hendri saja. Itu karena keputusan Hendri sendiri, Hendri ingin mendengar sendiri hasil laporan perkembangan Aza.
Hendri memasuki ruangan yang didominasi warna putih tersebut, terlihat elegan dan menenangkan. Tempat yang memang didesain pas untuk melakukan terapi.
"Aku harap kau jangan terkejut," Raden langsung bicara saat Hendri baru saja duduk dihadapannya.
"Apa ingatan nya baik-baik saja?" Tanya Hendri, Raden menggeleng menyesal.
"Sepertinya ingatan akan segera kembali, mungkin paling lama sekitar enam bulan ke depan dan besar kemungkinan ingatan nya kembali sebelum itu." Jelas Raden.
"Dulu kau bilang ingatan nya tidak akan kembali kalau ia tidak mengalami hal traumatis lagi. Tapi sekarang, kenapa berbeda?" Kesal Hendri.
"Apa kalian lupa kalau kalian lah sumber trauma putri malang itu? Kau bahkan mengajaknya tinggal di tempat yang paling ia takuti. Dengarkan ucapan ku. Aza memang mengalami amnesia, tapi amnesia ini bukan berasa dari insiden yang menyebabkan luka fisik di syaraf otaknya. Ingatan nya tetap ada, hanya saja tempatnya terletak jauh dalam memori-memori yang ia ingat. Maka dari itu kebiasaan serta intuisi gadis itu tetap kuat meski amnesia. Dia hanya melupakan hal yang seharusnya tetap dapat diingat, seperti keluarga, orang terdekat dan trauma menyakitkan." Hendri terdiam mendengar nya.
"Apa kau ada solusi agar ingatan Aza kembali lebih lama?" Tanya Hendri.
***
Aza terdiam melamun di koridor rumah sakit, entah apa yang dipikirkan nya. Jujur saja perasaannya semakin tidak karuan, ia merasa harus menangis, tapi tidak tahu karena apa. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dari nya.
"Cantik-cantik gak boleh ngelamun," suara bariton menyapa pendengaran nya, atensinya pun beralih pada sosok itu.
"Umh... Terimakasih." Ucap Aza karena sudah ditegur, pria itu tertegun. Tatapan nya dalam, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi tak bisa.
"Apa kakak mengenal saya?" Tanya Aza.
"Maaf, saya tidak bisa mengingat apapun." Aza tertunduk, kesan yang sekarang Aza miliki sangat jauh berbeda dengan yang dulu. Jika dulu ia terkesan sombong dan kejam, kini ia terkesan lembut dan rendah hati."Tidak apa, nanti kalau sudah ingat aku... Jangan cari aku ya, tunggu aku yang datang menemuimu." Balas pria itu. Mengusap puncak kepala gadis itu, membuat gadis itu menampilkan raut kesal.
"Kenapa orang tinggi sangat suka menyentuh dan mengacak-acak kepala orang yang lebih pendek?" Dumel nya sambil merapikan rambutnya.
"Maaf sudah membuat mu kesal, sayangnya waktuku tidak banyak. Jangan rindu aku ya... Aku Mas Didi." Pria itu, Dikta memasangkan topi baseball warna hitam ke kepala gadis itu. Kemudian langsung berlari saat melihat siluet bayangan tubuh Hendri.
"Eh... Tung..." Suaranya berhenti di tenggorokan saat Hendri datang.
"Kamu mengenal nya nak?" Tanya Hendri.
"Gak tahu yah, orang aneh." Balas Aza yang kesal pada orang yang menemui nya tadi.
Hendri tertawa melihat raut kesal putri nya yang malah terlihat menggemaskan. Karena di tertawai Hendri membuat Aza semakin kesal.
"Ayah...! Kok ngetawain Aza sih!" Teriak Aza kesal.
"Maaf... Ha ha..." Bukannya berhenti, Hendri semakin kencang tertawa nya.
"Habisnya, princess nya ayah ini sangat lucu dan menggemaskan." Tambahnya."Ya sudah, ayo pulang." Ajak Hendri, Aza menuruti walau tatapan nya masih ke arah lorong dimana pria tadi menghilang.
Saat akan memasuki mobil, ponsel Hendri berdering mengabarkan bahwa ia harus pergi ke kantor yang di urus oleh Anton. Ada masalah yang hanya Hendri yang bisa menyelesaikan nya.
"Kita ke kantor ayah saja, Aza bisa menunggu yah." Ucap Aza, Hendri mengangguk.
Sepanjang jalan Aza terdiam, memikirkan pria aneh tadi. Ia merasa familiar dengan pria itu, maka dari itu ia menanyakan apa pria itu mengenal nya. Tapi jawaban pria itu malah jadi teka-teki bagi Aza.
"Mas Didi?" Gumam Aza pelan, sangat pelan.
"Apa sayang?" Tanya Hendri, Aza tersadar.
"Eh... Itu yah, tadi di sana ada toko es krim. Aza suka es krim gak yah? Aza paling suka rasa apa?" Tanya Aza, dan itu sukses membuat Hendri ketar-ketir.
"Emm... Kamu sangat suka es krim, apalagi rasa stroberi." Hendri hanya menjawab, berpikir jika Nadira sangat suka es krim rasa stroberi mungkin begitu juga dengan Aza.
"Wah... Nanti Aza mau es krim ya yah?" Tanya Aza, yang di angguki Hendri sambil tertawa renyah.
"Nanti Anton yang akan mengantar Aza beli es krim." Meski sedikit tidak rela, Aza tetap mengangguk. Ia sedikit tidak nyaman menerima tatapan anton, aura intimidasi nya begitu terasa.
Mereka pun sampai, terlihat seorang pria usia tiga puluhan menunggu di lobi kantor, menyambut mereka.
"Dimana Anton?" Tanya Hendri.
"Tuan muda masih di dalam tuan, sebentar lagi beliau turun." Balas Gusti, nama pria itu.
"Baik," Hendri kemudian beralih pada Aza.
"Kamu tunggu kak Anton di sini sebentar ya nak, ayah masuk dulu." Ucap Hendri yang Aza angguki, kemudian mengecup kening putri nya itu.
Hendri melirik ketua pengawal nya, kemudian pengawal itu pun mengangguk.
Aza hanya diam menunggu Anton, ia memang belum memegang ponsel. Karena ia tidak tahu dimana meletakkan ponselnya sebelum amnesia. Hendri juga belum mengizinkan nya memegang ponsel lagi.
Usapan lembut hinggap di kepalanya, Aza mendongak. Nampaklah wajah Anton, wajah yang selalu datar itu. Tapi kini, wajah itu terkesan lembut.
"Sudah lama menunggu?" Aza menggeleng sebagai jawaban.
"Ayo kita berangkat." Anton mengulurkan tangannya, agar Aza menggenggamnya. Aza menyambutnya dan berdiri dengan senyum sumringah.
Di tempat yang sama di sisi yang berbeda, Dikta tersenyum memandang ekspresi Aza. Hari ini adalah hari terakhir nya berada di Indonesia, ia mendapatkan beasiswa melanjutkan kuliah di luar negeri. Ia tahu ini adalah ulah Kusuma, mereka ingin membuatnya sejauh mungkin dari Aza.
Tapi ia tidak masalah, semua ini hanya sementara. Karena ia yakin semua nya akan kembali, begitupun Aza yang akan mengingat nya. Teringat pembicaraan nya dengan Hendri di rumah sakit beberapa waktu lalu, ketika Aza didiagnosis amnesia Disosiatif.
"Kami atau saya tidak bermaksud memisahkan kau dari Aza, saya hanya meminta waktu kami untuk bisa bersama Aza. Karena walau saya tahu masih banyak pria yang lebih pantas mendampingi Aza, tapi bagi Aza hanya kau lah yang pantas. Saya tahu dan sadar, ingatan nya ini hanya sementara. Di jeda waktu ini, kami ingin memanfaatkan waktu untuk membahagiakan Aza. Saya mohon, nak." Bahkan pria itu sampai berlutut padanya. Ia dapat memahami hal yang dirasakan Hendri, kemudian menyetujui permintaan mertuanya saat itu.
"Hidup dengan baik my ice." Ucap nya sambil memandang mobil yang barus saja pergi, dimana ada Aza di dalam nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna ✔️
RomanceAda banyak hal yang bisa menyebabkan berubahnya karakter seseorang, begitupun dengan seorang Khanza Alazne Mabella. Gadis individu tanpa ekspresi, menatap datar semua hal yang dilihat nya. Dulunya hatinya sangat mendambakan cinta dan kasih sayang, h...