Pagi ini Dikta merasa kaku, pasalnya para tuan Kusuma sedang berkumpul untuk menemui Aza. Gadis itu juga belum bisa rileks setiap kali berbicara dengan salah satu dari mereka. Aza memang tidak di rawat, karena kemauan gadis itu sendiri.
"Seandainya aku masih kuliah, aku ingin membalas senior yang membuat permainan bodoh seperti itu." Ucap Gavin.
"Bagaimana keadaan mu?" Tanya Davin seraya mengangkat tangannya hendak mengelus kepala Aza, Dikta menoleh saat cengkraman tangan Aza semakin kuat dia rasakan. Aza tetap terlihat datar, tapi Dikta bisa merasakan betapa dinginnya tangan Aza.
"Maaf tuan, sepertinya Aza kurang nyaman." Sela Dikta pada Davin, Davin yang hampir menyentuh rambut Aza pun. Menarik tangannya, sebisa mungkin terlihat biasa saja untuk menutupi kekecewaan nya.
"Kenapa kau memanggilku tuan?" Tanya Davin kesal.
"Maaf?" Heran Dikta.
"Panggil aku sebagai mana mestinya sebagai kakak iparmu." Pinta Davin.
"Baik kak." Balas Dikta, Hendri mendekati Dikta. Dan meminta nya untuk bicara berdua dengan pria itu. Tapi Aza sama sekali enggan melepas kan genggaman nya, tatapan gadis itu dapat Dikta lihat dengan jelas. Disaat seperti ini Aza terlihat layaknya wanita yang butuh perlindungan, jauh dari kesan yang selalu Aza tampilkan. Gadis multitalenta dan mandiri.
"Aku tidak akan pergi jauh, dan mereka semua tidak akan menyakiti mu. Percaya pada ku Aza." Bisik Dikta.
"Mas..." Dikta tersenyum simpul saat Aza terkesan manja dan takut seperti ini, membuat nya teringat pada adiknya saat ia mengantar nya dihari pertama masuk sekolah dasar.
"Aza kan hebat, Aza pasti bisa." Bisik Dikta lagi, tanpa menunggu persetujuan Dikta beranjak dari tempat duduknya dan pergi keluar unit bersama Hendri.
Rasanya Aza ingin menangis sekencang-kencangnya, bagaimana bisa Dikta meninggalkan nya pada orang-orang yang memberi kan trauma terbesar dalam hidupnya. Tanpa sadar air mata Aza turun dalam diam, yang sontak membuat Davin yang duduk disebelahnya menggantikan posisi Dikta memfokuskan atensinya pada Aza. Begitupun Gavin dan Vino.
"Kau merasa sakit?" Tanya Davin seraya menyentuh pundak gadis itu, namun Aza mengelak. Tubuhnya bergetar, dadanya naik turun merasa sesak.
"Pergi..." Lirihnya pelan.
"Aza... Hei... What happen?" Tanya Davin.
"Apa kau merasa pusing lagi?" Tanya Davin, Vino yang melihat itupun berlari dan berlutut dihadapan Aza. Meraih tangan gadis itu dan menggenggam nya erat.
"Maaf... Maaf kan kakak, Aza. Ada banyak kesalahan yang mungkin kakak sendiri tidak bisa memaafkan nya. Walaupun begitu, mohon maafkan kakak. Kakak ingin bersama Aza... Kakak sayang Aza, melebihi siapapun." Lirih Vino, Aza berkali-kali meronta menarik tangan nya.
"Kakak juga," kali ini Gavin ikut berlutut dihadapan Aza. Pria itu bahkan tidak sanggup berbicara karena isak tangisnya, tangisan menyesal dan kerinduan pada sang adik. Menyesal akan perlakuan nya dulu sampai membuat Aza seperti ini, seandainya Aza dibesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang, pasti Aza adalah gadis manis dan ceria saat ini. Ia sangat merindukan ekspresi Aza saat masih kecil, meski berkali-kali disakiti gadis itu tetap tersenyum ceria menunggu nya pulang dari sekolah.
"Berhenti...." Lirih Aza lemah, sebelum akhirnya ia kehilangan kesadaran nya. Davin yang berada disampingnya pun panik saat Aza pingsan dan jatuh dalam pelukannya.
"Aza...!" Panik semuanya, begitupun tiga orang lainnya yang baru datang.
***
"Aku belum siap." Lirih Aza, saat ini hanya ada Dikta dan dirinya didalam kamar mereka. Sesuai dengan arahan Jacob, meminumkan gadis itu obat penenang saat kepanikan gadis itu muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna ✔️
RomanceAda banyak hal yang bisa menyebabkan berubahnya karakter seseorang, begitupun dengan seorang Khanza Alazne Mabella. Gadis individu tanpa ekspresi, menatap datar semua hal yang dilihat nya. Dulunya hatinya sangat mendambakan cinta dan kasih sayang, h...