Chapter 8. Aza

2.3K 190 1
                                    

"Kami menyayangi mu Aza, kami tahu kami tak pantas di maafkan. Hiduplah dengan bahagia, itu sudah cukup bagi kami." Suara pria yang dulunya sangat aku dambakan kasih sayang nya, masih tersimpan jelas di pikiranku.

Aku sudah terjaga sejak 30 menit sebelum pria itu pergi untuk makan malam. Kalau ditanya bagaimana perasaan ku, aku jelas masih marah dengan mereka, aku masih benci mereka, dan aku sangat kecewa pada mereka.

Marah karena fakta bahwasanya aku adalah bagian dari mereka, selama 13 tahun ah... tidak, aku menyadari kalau mereka memperlakukan ku buruk karena aku berbeda adalah sejak umur 4 tahun. Sebelum itu aku mungkin sudah melalui banyak penyiksaan sehingga memaksa ku dewasa diumur saat itu.

Kekuatan besar ku saat itu adalah sosok ayah kandung yang aku yakin akan menyayangi ku, dan setidaknya tidak akan memukul ku hanya karena aku tidak sengaja menendang sepatu milik tuan Hendri. Tidak akan menatap ku dengan tajam karena menganggap aku adalah biang masalah renggang nya hubungan tuan Hendri dan Ibu.

Benci karena mereka menyiksa ku, memarahi ku, menghina ku tanpa mencari tahu kebenaran nya terlebih dahulu. Kalau saja mereka bisa berpikir dengan kepala dingin dan menyelidiki lebih cepat tentang siapa aku, aku tidak akan melalui masa yang buruk. Dan lagi, mereka membenci ku karena kesalahan yang bahkan aku sendiri tidak tahu.

Kalau memang benar aku adalah anak haram, kenapa mereka tidak memperlakukan ku lebih manusiawi. Dan aku juga benci pada diriku sendiri karena bisa memahami semua keadaan itu di usia belia. Jika di beri pilihan aku ingin menjadi idiot saja, agar pikiran ku selalu positif seperti anak kecil. Aku benci menjadi lebih dewasa padahal belum waktunya untuk itu.

Dan aku kecewa pada mereka yang membuatku tidak berdaya, sekuat apapun aku memberontak, pada akhirnya aku tetap membutuhkan mereka. Mengepalkan tangan ku, menggenggam erat selimut yang menutupi tubuh ku. Hingga seseorang datang membuka pintu ruangan tempat ku dirawat.

Pria itu terkejut saat menatapku, aku hanya diam. Aku hanya bisa berisik dalam pikiranku, tapi tubuhku hanya diam membatu. Pria itu segera memencet bel untuk memanggil tenaga medis.

Aku ingin bicara, tapi tenggorokan ku tercekat. Sehingga hanya bisa mengatakan bahwa aku haus, setelah aku meminum segelas air dokter pun datang bersama rekannya.

Tiba-tiba saja tubuhku merasa gemetar, ini reaksi yang sama saat aku mengalami insiden tawuran beberapa waktu lalu. Tanpa sadar aku mencengkeram lengan pria yang berada disamping ku, Dikta. Aku tahu bahwa pria ini terkejut, aku pun sama.

Tapi sentuhan dan komunikasi dengan lembut adalah hal yang sering om Jacob atau kak Amanda lakukan ketika tiba-tiba aku panik. Sudah 2 tahun aku tidak merasakan kepanikan lagi, karena keluarga Kusuma juga mematuhi larangan untuk menjauhiku. Sampai aku terjebak dalam insiden tawuran, trauma ku muncul lagi.

Ketika om Jacob mengatakan bahwa aku harus bisa berdamai, aku juga memikirkan nya. Selalu. Tapi sangat sulit. Aku juga berusaha selama ini. Berusaha memaafkan, berusaha merelakan, dan menerima bahwa inilah takdir yang diberikan tuhan.

Dan saat om Jacob berkata seolah-olah ia dan kak Amanda tidak bisa seterusnya disamping ku. Ya... Memang benar, mereka juga punya kehidupan pribadi. Apalagi mereka adalah relawan yang sangat sibuk. Dan saat melihat wajah panik Dikta kemarin aku menyadari satu hal, bahwa aku butuh dia.

Aku ingin membuat om Jacob dan kak Amanda merasa tenang karena sudah ada orang yang menjaga ku. Aku juga ingin sedikit membalas dendam pada Dikta, karena pria itu sudah memanfaatkan ku untuk kepentingan pribadi nya.

Ya, aku tahu. Ia juga terpaksa masuk dalam lingkaran antara aku dan keluarga Kusuma. Tapi aku juga yakin, ia menikmati nya. Licik. Aku akan memberi nya pelajaran.

Warna ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang