Lupa. Seringkali orang-orang menganggapnya sebagai bencana yang selalu membawa sial bagi siapapun yang mengalaminya. Kebanyakan orang mengabaikan atau bahkan tidak tahu, kalau lupa kadangkala juga sebuah anugerah.
Seperti yang Aza alami, seharusnya rasa sakitnya tidak sampai berlarut-larut seperti ini kalau ia bisa lupa. Lupa, bukan melupakan. Lupa itu terjadi tanpa sadar dan paksaan. Lain halnya dengan melupakan, pikiran selalu menstimulasi untuk melupakan hal yang tidak ingin di ingat, yang pada akhirnya malah menjadi fokus pikiran yang berlarut-larut.
Aza baru saja melakukan hipnoterapi, perasaan nya jauh lebih baik pada sesi pertama ini. Rasanya berbeda jika melakukan nya bukan karena keinginannya seperti di masa lalu.
Pikirannya jauh lebih rileks sekarang, terapi yang ia jalani selama amnesia juga memberikan dampak yang positif untuk nya.
Dengan langkah ringan ia keluar dari ruang terapis yang sudah menahannya selama hampir 4 jam itu. Diluar ruangan Aza mendapati para kesatria nya sudah menunggu dirinya.
"Gimana sayang? Lancar?" Tanya Davin. Memang diantara kakak-kakaknya hanya Davin yang bisa dibilang cukup normal berinteraksi dengannya.
Aza hanya mengangguk dengan senyum tipis. Melihat itu ke empat pria itu bernafas lega. Aza mengarahkan matanya kesana kemari mencari sosok yang seharusnya juga ada disini menjemput nya.
"Ayah gak jadi pulang?" Tanya Aza singkat. Menatap air wajah kakak-kakaknya, Aza menelan ludah dengan sakit.
"Bisa kita pulang?" Tanya Aza datar.
Tanpa menjelaskan lebih lanjut, semuanya mengikuti keinginan Aza.
Diperjalanan pun Aza memperhatikan kedua kakak kembarnya, yang biasanya selalu ramai kini terlihat sedikit manusiawi.
Sebenarnya ada apa?
Batin Aza bertanya.Brakk!!! Mendadak Anton menghentikan mobilnya. Membuat orang terkejut, bahkan Aza sampai sedikit terhempas ke depan.
"Apa maksudnya?" Tanya Davin.
"Lo kenapa sih?" Ini Gavin yang langsung menutup mulutnya karena menggunakan kata yang tidak seharusnya pada Anton.
"Kamu gak papa dek?" Tanya Vino sambil merapihkan rambut Aza. Aza hanya menggeleng sebagai jawaban.
"Do you want ice cream?" Aza terdiam mencoba mencerna sikap absurd kakak sulungnya. Hanya karena demi ice cream, Anton nekat berhenti tiba-tiba di tengah jalan. Beruntung jalanan sedang tidak terlalu ramai.
"Yeah... It's up to you." Aza tidak tahu harus bersikap seperti apa.
***
Sejujurnya Aza tidak terlalu menyukai ice cream, ia lebih suka secangkir Americano dengan 8 shoot Espresso. Teman pelengkap untuk overthinker sepertinya. Kopi inilah yang menguatkannya untuk tetap terjaga di malam hari saat belajar mati-matian mengejar ketertinggalannya.
"Coffee ice cream?" Gumamnya. Ah iya, teringat moment bersama Anton saat ia lupa ingatan dulu. Pria ini sedang mencoba mengambil perhatian nya.
"It's not bad, but i prefer Americano to ice cream." Ke empatnya terkejut bukan main dengan selera adiknya itu.
"Bisa-bisa nya kamu minum itu? Itu gak bagus untuk kesehatan? Kalo kamu sakit gimana?" Aza memutar matanya malas sambil memasukkan sesendok ice cream ke mulutnya, Vino dan Gavin si kembar yang cerewet nya menyamai cerewetnya perempuan.
"Emangnya selama ini aku sehat?" Tanya Aza sarkas dengan wajah datar. Dan itu sukses membuat ke-empat kakak nya kalut kembali dengan kisah masa lalu.
Gavin menatap jari-jari lentik Aza, teringat dulunya Aza harus menghabiskan beberapa tahun untuk membenarkan letak tulang pada lengan dan jari-jarinya. Bukti kekejaman yang sudah ia lakukan pada adik semata wayangnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna ✔️
RomanceAda banyak hal yang bisa menyebabkan berubahnya karakter seseorang, begitupun dengan seorang Khanza Alazne Mabella. Gadis individu tanpa ekspresi, menatap datar semua hal yang dilihat nya. Dulunya hatinya sangat mendambakan cinta dan kasih sayang, h...