Warning 🔞
Asher mengumpat, mengucap sumpah serapah ketika tubuhnya di tabrak oleh seseorang yang membuat aktivitas bercintanya berhenti. Sialan, batin Ash. Dia akan membuat perhitungan dengan orang yang sudah menggagalkan kenikmatan bercintanya it...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kalian baca cerita ini dimana?
-there will be no promises without lies-
***
"Aku senang bertemu denganmu. Tidak ku sangka Torres mempunyai seorang putra yang luar biasa menawan." tutur Benjamin Portman.
Pria yang kedua lengannya penuh tatto itu hanya menatap Benjamin dengan sorot mata yang sulit di artikan.
"Jadi apa keinginanmu, Mr. Portman?"
"Aku ingin menagih janji ayahmu untuk membantuku setelah organisasi kalian sudah ku biayai. Aku ingin kalian mengusik keluarga Arcene dan membunuh Karl Vrishin Arcene!"
"Mengusik keluarganya?" satu alis pria itu terangkat.
"Iya, sebelum membunuh Karl aku ingin kalian menakuti anak-anaknya." jawab Benjamin.
Pria itu mengangguk-angguk tampak mengerti maksud dari ucapan Benjamin. "Seberapa jauh aku harus bertindak pada anak-anaknya?"
"Mereka harus berakhir di rumah sakit." sorot mata Benjamin menajam.
***
Setelah mengalami perdebatan alot bersama Asher mengenai nasibnya tinggal, keduanya memutuskan jika akan menyewa apartemen baru. Tentu saja dengan segudang syarat yang Asher ajukan termasuk akses untuk pria itu ikut tinggal kapanpun ia mau. Awalnya Ann merasa keberatan, tapi ia benar-benar tidak mempunyai tenaga untuk berdebat lagi. Daripada harus menetap di mansion sebesar itu dengan banyaknya pelayan, Ann merasa tidak nyaman. Untuk ukuran seseorang sepertinya yang sangat susah bersosialisasi akan menguras energi jika bertemu banyak orang.
Kakinya melangkah ke sebuah ruang kelas yang akan dipimpin Prof. Charles Hoffman dengan pembelajaran tentang desain grafis yang mencakup logo, ilustrator, desain geometric dan lainnya. Langkahnya terhenti di ambang pintu melihat seorang wanita yang sedang duduk menatap keluar jendela, seketika amarah mulai membanjiri dirinya. Ann melirik ke arah jarum jam pada dinding, sepuluh menit sebelum waktu perkuliahan di mulai. Mengatur nafasnya agar setenang mungkin, dadanya naik turun mulai sesak. Ia berdiri disamping wanita itu yang kemudian menoleh ke arahnya dengan tatapan terkejut.
"A-ann?" seru Casey terbata-bata sembari bangkit dari duduknya.
Mulut Casey membuka hendak mengucapkan sesuatu namun Ann tidak membiarkan sepatah katapun keluar dari sana. Ann menampar pipi Casey. Mata yang berkaca-kaca dengan sorot kesedihan itu sama sekali tidak membuat Ann merasa kasihan. Tangannya justru kembali melayang menampar pipi satunya. Bisik-bisik hingga lontaran peringatan untuk menghentikan tindakan Ann dari beberapa orang yang menyaksikan justru semakin membuat emosinya semakin naik. Ia tidak pernah merasa terhianati lebih dari ini. Rasanya begitu sakit mengingat kedekatan mereka. Bulir air mata akhirnya jatuh di pipi merah wanita blonde tersebut, namun Ann rasanya tidak bisa menghentikan tangannya yang gatal untuk menampar beberapa kali. Lagi, Ann mengangkat tangannya kembali hendak melayangkan tamparannya namun terhenti di udara saat sebuah tangan menghentikan.