0.1 - Worth It

83 8 9
                                    

"I've been fighting to be who I am all my life. What's the point of being who I am, if I can't have the person who was worth all the fighting for?" -Stephanie Lennox

"Is he really that worth it?"

"Is he really that worth it?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Makan dulu, Art." ucap wanita berumur 40 tahun itu sambil menyodorkan nampan berisi makanan yang terlihat melezatkan itu. Namun, tidak terlihat seperti itu bagi Alarta Faith.

"Iya, Ma. Sebentar lagi, aku masih nge-check application aku buat ke UN." jawabnya masih sambil terfokus pada layar laptop yang ada di depannya itu.

Alarta Faith. Atau biasa orang-orang mengenalnya dengan panggilan Art. Nama panggilan yang cukup unik. Setidaknya begitu pandangan orang-orang terhadap namanya.

Asal mula dari nama panggilan ini berasal dari Art kecil yang masih belajar berbicara dan mengeja namanya. Yang namanya bayi, pasti sedikit kesulitan dalam mengeja beberapa huruf yang cukup sulit untuk sulit disebutkan.

Art kecil selalu kesulitan dalam menyebutkan huruf 'L' dan selalu memanggil dirinya dengan "Art".

Ibunya pikir nama panggilan itu tidak begitu buruk juga. Sehingga sampai saat inilah ia dipanggil dengan panggilan tersebut.

"Gimana? Diterima nggak?" tanya Anna, Ibunda Art, yang diam-diam cukup khawatir mengenai masa depan anak semata wayangnya itu.

Art menggigit ibu jarinya, gugup. Ia menggoyang-goyangkan kakinya. Seluruh badanya seolah khawatir sekaligus gugup dengan apa yang akan ditampilkan pada layar laptopnya beberapa menit ke depan.

Art memejamkan matanya. Berusaha mengatur nafasnya perlahan-lahan.

"Ma," panggil Art dengan nada rendah yang membuat Ibunya itu cukup khawatir dan langsung menoleh ke arahnya. Ibunya sudah bersiap untuk menghampiri dan memeluknya guna menenangkan anak perempuannya itu.

Namun sebelum itu, Art kembali bersuara, "Art diterima."

"Art diterima, Ma! DITERIMA SAMA UNITED NATIONSSSS!" sorak sorai Art yang mungkin saja terdengar sampai ke tetangga-tetangga di sebelahnya.

Ibunya tak ingin merusak kesenangan anaknya itu. Maka ia membiarkan anaknya bersorak-sorai dulu saat ini.

Tak bisa dipungkiri, Anna pun turut bangga karena anaknya bisa melakukan dan menggapai apa yang ia inginkan. Ia tidak mau memaksa Art untuk berkuliah. "Yang penting kamu bahagia," begitu yang selalu ia katakan kepada anaknya.

Sesi peluk-memeluk pun terjadi. "Anak Mama keren banget. Mama bangga," ucapnya sambil memeluk anak perempuannya itu.

🎨

Sehabis menerima letter of acceptance dari UN Youth Volunteer Canada, Art langsung pergi menghampiri sahabatnya, Ashley.

Ia sudah menghabiskan 2 minggunya berada di perpustakaan milik keluarga Ashley―yang menjadi satu-satunya perpustakaan di kota mereka itu―untuk menulis essay kepada United Nations Kanada.

"So? Happy?" tanya gadis berambut lurus panjang itu sambil menyusun buku-buku dari troli yang di dorong dengan pelan oleh Art disampingnya.

"Iya lah! Akhirnya gua punya alasan yang tepat dan jelas untuk nyamperin Scar di Toronto." jawab Art sambil tersenyum sumringah lebar.

Ashley yang mendengar jawaban dari sahabatnya itu pun hanya bisa tersenyum. Padahal, sebenarnya ia cukup khawatir. Ia memiliki pertanyaan yang ingin ia lontarkan kepada sahabatnya itu.

Namun, karena melihat betapa gigih sahabatnya itu dalam membuat essay kemarin, ia mengurungkan niatnya untuk menanyakan hal yang mengganjal tersebut.

"Wait. What is it?" tanya Art secara tiba-tiba karena melihat air wajah Ashley berubah.

"What?" Ashley bertanya balik karena cukup bingung dan kaget.

"You're hiding something from me. You better let it out or―"

"Or what?" goda Ashley sambil tertawa melihat tingkah sahabatnya yang begitu random dan sangat tiba-tiba.

Art pun ikut tertawa. "Dude, seriously. Kenapa? Apa yang lu pikirin?" tanya Art sekali lagi dengan nada yang sedikit serius kali ini.

"No, I'm just― Ada beberapa hal yang sedikit membingungkan bagi gue." jelas Ashley bersikap setransparan mungkin kepada satu-satunya sahabatnya itu.

Akhirnya ia memutuskan untuk melontarkan pertanyaan yang telah ia tahan, "Is he really worth it, Art?"

"Maksudnya?" tanya Art yang masih bingung dan kesulitan memahami apa subjek dan konteks yang sedang Ashley angkat saat ini.

Ashley menghela nafasnya. Ia malas jika harus mengulang pertanyaannya lagi. Namun, apa yang bisa ia lakukan lagi?

"Is Scar really that worth it for you to fight for?"

🎨

Hallo semua. Kritik dan saran sangat kubutuhkan untuk membuat kalian, para pembaca, lebih nyaman dan bisa semakin menikmati karyaku. Jika menyukainya, bisa tekan simbol bintang di bawah ini ya. Terima kasih banyak <33

—Sincerely, Lou.

When Scars Become ArtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang