Alarta Faith. Biasa orang-orang mengenalnya dengan panggilan 'Art'.
Personanya tak seunik namanya. Cenderung biasa saja. Sepanjang hidupnya, Art selalu menjadi ekor Scar yang membuntuti kemana pun Scar pergi. Hal ini Art lakukan semata-mata karena i...
Benda pipih yang tergeletak diatas meja kecil di depan sofa berwarna abu-abu itu pun terus menerus bergetar. Entah sudah ke berapa kalinya ponsel tersebut bergetar, namun kali ini, sepertinya berhasil membangunkan Art yang tertidur pulas.
Dengan penuh perjuangan, tangannya meraih ke arah meja kecil itu. Ia berusaha meraih ponsel yang mengganggu tidur nyenyaknya.
Sebelum menggeser tanda untuk mengangkat panggilan tersebut, ia melihat jam sudah menunjukan pukul setengah tujuh malam. Sontak, ia pun mengganti posisinya menjadi posisi duduk.
Belum sempat menjawab panggilan tersebut, ponselnya telah berhenti bergetar. Menandakan bahwa jangka waktu untuk menerima panggilan telah berakhir.
"Temanmu sudah menelfonmu sebanyak sepuluh kali," suara bariton itu berhasil membuat Art kaget setengah mati sampai-sampai terperanjat dari sofa. Ia bahkan hampir jatuh kalau ia tidak dengan cepat menstabilkan keseimbangannya.
"Arlo?" Art pun hanya ingin memastikan bahwa ia tidak melihat orang yang salah.
Arlo, lelaki yang baru saja merusak pintu unitnya sekarang sudah berada di dapurnya. Berjalan kesana kemari seolah unit Art adalah milik Arlo sendiri. Tidak ada sopan santun sama sekali, pikir Art.
Dan yang lebih lagi, darimana ia tahu bahwa Art bisa berbahsa Indonesia? Itu adalah pertama kalinya Arlo memulai konversasi dengannya menggunakan bahasa Indonesia.
Apakah Arlo juga orang Indonesia? Kalau dilihat dari wajahnya sih, ia memang bisa dikatakan cukup mirip dengan orang Indonesia kebanyakan. "Kau bisa bahasa Indonesia?"
Yang diajak bicara pun hanya membelakangi Art, sibuk dengan entah apa yang sedang ia buat di dapur itu.
Tak patah arang, Art bertanya lagi kepadanya, "Tahu darimana aku bisa berbahasa Indonesia?"
Walau aneh baginya untuk berbicara menggunakan kata ganti aku-kamu, namun dirinya harus terpaksa mengikuti gaya bicara Arlo. Sebatas karena ia tidak enak dan menurutnya gue-lu cenderung cukup kasar untuk tetangga asing yang baru ia kenal. Atau bahkan, belum ia kenal.
Masih hening, tak ada jawaban. Hanya dentingan peralatan masak yang sedang Arlo gunakan yang mengisi ruangan saat itu. Sedikit kesal, Art pun berniat menghampiri dan mendekati Arlo.
Sebelum Art berhasil menghampiri Arlo, makanan yang ia buat sudah siap disajikan. "Makan dulu, nanti baru dijelasin."
Dua piring berisi spaghetti bolognese itu tertata rapih di meja makan berukuran 75x75. Art tidak bisa membohongi dirinya bahwa ia sangat amat lapar karena melewati makan siangnya akibat kelelahan. Ditambah lagi, penampilan dari spaghetti yang Arlo hidangkan itu terlihat sangat menggiurkan. Membuat Art tak sabar untuk menyicipinya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Suapan pertama berhasil membuat Art tercekat karena rasanya yang benar-benar khas; seolah ia sedang menikmati spaghetti asli buatan di Italia. Dari empuknya spaghetti yang direbus dengan suhu dan waktu yang tepat. Ditambah saus bolognese yang gurih, benar-benar homemade.