21 - The Banquet

16 5 2
                                    

Art mendekatkan kartunya ke atas kotak hitam bak layar yang berada tepat diatas gagang pintu kamar hotelnya itu. Setelah bunyi 'beep' terdengar dan gagang pintu itu menampilkan sebuah titik hijau kecil yang menandakan bahwa pintu sudah terbuka, dengan cepat Art menarik koper hitam besarnya itu untuk ikut masuk ke dalam kamar.

Kamar hotel yang terbilang cukup besar. Ini pertama kalinya ia menginap di sebuah hotel berbintang empat. Dengan ranjang berukuran queen size tersebut, dan sebuah meja serta kursi dengan ornamens berwarna emas yang sungguh menarik perhatian. Sangat elegan pula nyaman.

Ia langsung merebahkan tubuhnya diatas kasur yang ternyata dua kali lipat jauh lebih empuk dari tempat tidurnya di rumah. Sudah lama ia tidak melakukan perjalanan jauh selama dua puluh jam lebih. Tubuhnya seolah ingin remuk. Ia memijat-mijat pelipisnya yang terasa pening.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" pikirnya. Ia masih memiliki waktu kurang lebih 8 jam sebelum acara dimulai. Ya, ada beberapa rangkaian acara yang harus ia hadiri disini.

Dimulai dari acara yang pertama. Acara jamuan makan malam yang diselanggarakan oleh salah satu donatur UNICEF. Art tidak menyangka acara semacam ini nyata adanya. Untuk apa mereka melakukan ini? Apa korelasinya dengan UNICEF? Orang-orang kaya memang selalu mempunyai cara untuk membakar uang mereka.

Setelah beberapa jam tertidur akibat penat terbang, Art pun sudah siap dengan riasannya yang simpel dan tidak terlalu mencolok juga dress satin berwarna hijau emerald. Ia menyisir helaian rambutnya seraya memposisikan mereka dengan benar. Ia menatap pantulan wajahnya dengan dalam melalui cermin yang ada di depannya itu. Ia menyentuh ujung rambutnya yang berada tepat diatas bahunya. Surai hitam pekat yang ia gunting sebelum terbang kesini. Menandakan bahwa tidak ada kata kembali terhadap masa lalu.

Art pun menghirup nafasnya dengan dalam dan membuangnya seolah ikut mengeluarkan segala kegugupan dan keraguannya dengan helaan nafasnya itu.

Ia siap.

Tidak. Ia tidak siap. Ia tidak mempersiapkan diri untuk acara makan malam berkedok pencarian jodoh bagi salah seorang pewaris donatur UNICEF disini. Apakah memang ini yang selalu dilakukan oleh orang-orang kaya? Jika dikalkulasikan, total beban dan biaya yang dikeluarkan untuk acara ini sanggup melampaui jumlah donasi yang telah mereka berikan kepada UNICEF.

Pikirannya yang entah berada di angan mana itu pun dibuyarkan oleh salah seorang pelayan yang menanyakan menu apa yang ingin Art pesan. "Half flame grilled chicken with mashed potato," ucapnya seraya menutup buku menu yang ia lihat secara sekilas. Ia tidak begitu mengerti dengan menu-menu yang ada di dalam buku tersebut. Jadi, Art hanya memilih makanan yang menurutnya 'aman' untuk dirinya malam ini.

Setelah selesai memesan makanannya, ia melemparkan pandangannya ke seluruh ruangan. Sebuah aula hotel yang ia yakini berbintang lima atau keatasnya lagi, sangat besar dan luas. Dengan meja-meja bulat yang dilapisi kain putih tulang seolah mereka sedang menghadiri sebuah pernikahan seorang anak konglomerat. Logo UNICEF terpampang di setiap detail kecil peralatan yang ada disana. Art merasa canggung karena ia tidak pernah menghadiri acara formal seperti ini sebelumnya.

Pandangannya menangkap sebuah momen. Ia rasa wanita yang memancarkan keanggunan dengan dress berwarna merah muda salem itu merupakan salah satu anak dari konglomerat yang namanya terdaftar sebagai salah satu donatur UNICEF. Wanita itu tengah bercakap dengan tiga orang lainnya. Art menangkap bahwa wanita paruh baya yang berada di sebelahnya itu merupakan Ibu sang wanita, dan dua orang laki-laki di depannya merupakan seorang dari keluarga donatur lainnya. Inilah yang Art maksud dari makan malam berkedok perjodohan.

Beruntung tempat duduknya diposisikan jauh dari mereka. Ia duduk bersama representatif program yang berhasil bergabung dengan UNICEF dari negara lainnya. Jadi, bisa ia simpulkan bahwa ia tidak akan terjerat dengan 'urusan' orang-orang kaya itu. Semoga. Art hanya bisa berdoa dan bersikap biasa saja agar tidak terlalu menarik perhatian orang lain.

When Scars Become ArtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang