"Yes,
remarkably intimate."🎨
Art menghela nafasnya untuk yang kesekian kalinya di malam hari ini. Malam yang begitu melelahkan, mendesak dada sehingga berkali-kali membuat dirinya merasa tidak nyaman. Ia tidak mengerti. Belakangan ini ia kerap merasakan hal tersebut.
Mungkin aku hanya kelelahan, begitu pikirnya.
Karena beberapa hari ini ia mengisi kegiatannya dengan hadir di setiap rancangan acara yang diadakan oleh UNICEF Kanada.
Yang membuat dirinya semakin tidak nyaman adalah banyak dari acara-acara ini diadakan hanya untuk mengapresiasi beberapa sponsor. Apakah memang ini yang patut dilakukan? Beruntungnya, Art sanggup melewati minggu-minggu penuh tekanan hingga dirinya sudah bosan dan tidak peduli dengan segala frasa yang keluar dari mulut para pesohor sebagai 'sponsor' acara ini juga penyumbang dana untuk kegiatan UNICEF.
"Alarta Faith?" Tangannya membeku. Keringan dingin terasa mengucur diseluruh tubuhnya. Bahkan ia tak sanggup menolehkan kepalanya ke sumber suara yang baru saja memanggil nama lengkapnya. Ia familiar sekali dengan nada suara tersebut; lembut, anggun, namun terselip sebuah kegembiraan yang tersalurkan dari suara milik perempuan tersebut.
"Art, 'kan?" ucapnya lagi sekarang telah berada tepat di depan Art yang masih membeku tak percaya apa yang akan ia lalui sebentar lagi.
Perempuan dengan rambut kecokelatan yang sedikit berombak sehingga memberi kesan volume di rambutnya itu. Tatanan rambutnya sangat cocok dengan wajahnya yang mungkin sengaja dirias dengan riasan natural.
"Astaga, it is really you!" ungkapnya tak menyangka sekali lagi namun masih belum juga mendapatkan tanggapan dari Art. Perempuan itu pun menarik kursi di sebelah Art yang tak ditempati dan mendudukinya. Ia menoleh kearah Art, tetap tersenyum dan sangat bersemangat. Art tak sanggup menyamai antusiasme yang perempuan itu pancarkan. Art tidak akan pernah dan sanggup menyamai level atau segala hal yang sama dengan perempuan itu.
Itulah yang membuat Art terus terdiam tak bergeming. Bukan sombong. Namun ia tak tahu apa yang harus ia sampaikan ketika berhadapan dengan perempuan yang kini tengah duduk di sampingnya.
"Aku sebenarnya udah tahu kalau kamu berada di list tamu setiap acara ini. Tapi kayaknya nggak pernah ada kesempatan untuk bisa ketemu atau sekedar ngobrol sama kamu." lanjutnya menjelaskan panjang lebar.
Ya, bagus. Aku harap kesempatan itu nggak pernah ada.
Art terus menerus memutar otaknya. Bahkan untuk membalas ucapan perempuan ini saja sangat sulit rasanya. Hingga akhirnya ia hanya bisa terkekeh dan tersenyum tipis sambil berujar "Iya, nggak nyangka juga bisa ketemu sama kamu disini,
Poems."
Rasanya Art ingin cepat-cepat angkat kaki dari tempat ini. Acara yang tengah berlangsung sedari tadi benar-benar tak ada hubungannya dengan segala pencapaian yang telah ia lakukan bersama dengan timnya yang berada di Indonesia. Seakan-akan apa yang mereka lakukan tidak cukup untuk bisa diapresiasi dengan baik di acara sebesar ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Scars Become Art
RomanceAlarta Faith. Biasa orang-orang mengenalnya dengan panggilan 'Art'. Personanya tak seunik namanya. Cenderung biasa saja. Sepanjang hidupnya, Art selalu menjadi ekor Scar yang membuntuti kemana pun Scar pergi. Hal ini Art lakukan semata-mata karena i...