Our roots were tangled beneath the soil but our petals never grew.
🎨
Tok... Tok.. Tok...
Tak sampai beberapa detik kemudian, pintu pun terbuka. Seorang laki-laki dengan rambut berantakan dan sweater longgar tidurnya pun menyambut Art dengan senyum. Matanya masih setengah tertutup. Bisa Art simpulkan bahwa ia baru saja bangun dari tidurnya.
"Kau tidak lupa kalau hari ini kita ada janji, bukan?" ucapnya sedikit kesal yang dibalas dengan kekehan dari lelaki itu.
Arlo pun mempersilahkan Art untuk masuk dan memintanya untuk menunggu dirinya sebentar. Sembari menunggu, Art menggunakan kesempatan tersebut untuk menyapu pandangannya pada unit Arlo.
Tembok berwarna abu-abu pucat, membuat suasanya terlihat suram, dan monoton. Barang-barangnya juga tidak banyak. Hanya ada sofa yang ditempelkan pada tembok dengan meja kecil di depannya, dan bahkan tidak ada TV.
Selain itu, ada juga bagian dapur yang merupakan satu-satunya bagian paling hidup di ruangan itu. Keadaannya rapih, terlihat terurus sekali, dan terang. Banyak lampu yang menerangi bagian itu.
Di seberang dapur, terdapat kamar tidur beserta kamar mandi. Ada juga meja kayu berukuran sedang beserta dengan kursi kayu di dekat balkon. Balkonnya pun terlihat kosong. Tak ada hiasan pot tanaman. Lukisan-lukisan pun tidak terpajang di unitnya. Benar-benar minimalis.
Entah itu bisa disebut minimalis atau memang beginilah kamar laki-laki.
"Maaf membuatmu menunggu," ucap Arlo dengan tampang yang jauh lebih segar dan kaos berwarna hitamnya itu.
Art menggeleng, "Tidak lama."
"Kau sudah bawa apa yang kusuruh di list?" tanya Arlo sambil berjalan menuju dapur, diikuti oleh Art.
"Sudah." jawab Art singkat.
Arlo pun memakai apronnya yang berwarna coklat tua itu, lalu menyadari akan sesuatu. Ia hanya memiliki satu apron.
Dengan cepat, ia melepaskan apronnya dan memakaikannya kepada Art. Art yang tak menduga aksi tersebut pun tersontak kaget. Ia hanya bisa diam, mematung, pipinya terasa panas. Tubuhnya sangat kaku, benar-benar terasa beku.
Arlo mengakhiri aksinya dengan mengikat pita tali apron yang sekarang sudah terpasang rapih di tubuh Art itu.
"Maaf aku hanya memiliki satu apron. Kau saja yang pakai, pakaianmu berwarna putih." jelas Arlo atas apa yang ia lakukan barusan.
Art pun hanya bisa mengangguk canggung, masih belum bisa bersuara. Bahkan lidahnya saja kelu.
"Baiklah, mana bahan-bahannya?" tanya Arlo.
"Ah, iya. Ini," ucap Art masih sedikit gugup.
Art masih sempat tidak percaya atas apa yang Arlo lakukan dan apa yang ia rasakan barusan. Sudah lama ia tidak merasakan hal ini. Ini seperti—hal yang baru, namun familiar baginya.
Art mengeluarkan bahan-bahan yang sudah ia siapkan, dan Arlo mulai menyiapkan alat-alatnya dari lemari dapurnya. Mereka akan membuat biskuit biscotti, salah satu kue kering khas Italia. Arlo bilang ia akan mengajari Art untuk membuatnya. Dan Art dengan senang hati menerima tawaran tersebut.
Mereka mulai memasukan bahan perbahan dengan hati-hati dan sesuai takarannya. Art yang jarang sekali dan tidak terbiasa membuat kue seperti ini pun banyak menyebabkan kesalahan. Namun, Arlo hanya tertawa ketika melihat Art melakukan kesalahan.
"HAHAHAHA, bukan begitu caranya, Art. Begini, kau pegang dengan santai saja, lalu putar secara perlahan searah jarum jam." ucap Arlo menjelaskan sambil memperagakannya kepada Art yang kebingungan.
Hampir setengah hari Art menghabiskan waktunya di tempat Arlo. Biskuit yang mereka buat juga berhasil. Walau Art sempat gagal berkali-kali, namun Arlo dengan ahli memperbaiki dan membantunya.
"Ini enak banget. Ayo buat lagi kapan-kapan!" ajak Art ketika pertama kali mencoba biskuit buatannya itu.
Arlo mengangguk, "Kau cukup berbakat, Art."
Art pun dengan cepat tertawa dan menepis hal itu. "Jangan bercanda, Arlo. Aku hampir membakar dan meledakkan unitmu tadi."
Mereka pun saling tertawa dan menikmati biskuit buatan mereka dengan coklat panas yang sengaja mereka hidangkan sebagai pelengkap. Biskuit biscotti memang enak jika dicelupkan ke coklat hangat. Kira-kira begitulah yang Arlo katakan.
"Kau kuliah?" tanya Art mengawali topik obrolan mereka sembari menikmati biskuit dan coklat hangat yang mereka buat.
Arlo pun mengangguk.
"Dimana? Kalau aku boleh tahu," tanya Art lagi yang sedikit berharap jika Arlo akan menjawab pertanyaannya kali ini.
"University of Toronto. Classic, bukan?" jawab Arlo sambil tersenyum sarkas, lalu menertawai dirinya pelan.
"Klasik apanya maksudmu? Itu salah satu universitas terbaik di dunia, ada di posisi ke 35. Dan merupakan universitas nomor satu di Kanada. Apanya yang klasik, Arlo?" jelas Art panjang lebar yang sebenarnya ia yakini bahwa Arlo juga mengetahui hal basic seperti ini. Namun tetap saja, ia tidak terima dengan perkataan Arlo barusan.
"Justru itu, Art. Semakin dikenal, semakin mainstream. Kurang menantang," jawab Arlo.
Art pun menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Memangnya yang menantang bagimu itu seperti apa?" tanya Art.
Arlo mengendikkan bahunya, "Entahlah. Aku juga masih mencari hal itu."
Kadangkala, Art bingung dengan isi kepala Arlo. Namun, hal itulah yang membuat Arlo berbeda. Laki-laki yang selalu penuh kejutan. Tak bisa ditebak alur pikirannya. Justru hal ini lah yang membuat dirinya sangat menarik. Tidakkah ia menyadari hal itu?
"Kau mau mencari jawabannya bersamaku, Art?"
🎨
🎨Hallo semua. Kritik dan saran sangat kubutuhkan untuk membuat kalian, para pembaca, lebih nyaman dan bisa semakin menikmati karyaku. Jika menyukainya, bisa tekan simbol bintang di bawah ini ya. Dan jangan lupa untuk input cerita ini ke library kamu! Terima kasih banyak <33
—Sincerely, Lou.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Scars Become Art
RomanceAlarta Faith. Biasa orang-orang mengenalnya dengan panggilan 'Art'. Personanya tak seunik namanya. Cenderung biasa saja. Sepanjang hidupnya, Art selalu menjadi ekor Scar yang membuntuti kemana pun Scar pergi. Hal ini Art lakukan semata-mata karena i...