/oust/
verb
1. drive out or expel (someone) from a position or place."Betty, aku ingin memberikan ini." ucap Art sambil menghampiri meja yang berada di lobby airbnb tersebut.
Betty yang tadinya sedang termangun pun terkejut melihat kehadiran Art dan Arlo. Mereka memberikan dirinya beberapa biscotti dalam plastik bening khusus kue kering tersebut.
"Kalian membuat biscotti di musim panas?" tanya Betty memastikan lalu tertawa senang.
"Art ingin mencobanya. Dan biscotti adalah satu-satunya resep yang ku kuasai." Kali ini Arlo yang menanggapi Betty sambil tersenyum. Art yang berada disana pun hanya bisa terkekeh.
"Ini wangi sekali, pasti rasanya enak. Akan ku coba. Terima kasih." puji Betty kepada mereka berdua sambil tersenyum.
"Oh ya, sebelum aku lupa—" kata Betty secara tiba-tiba sambil mencari-cari sesuatu di bawah mejanya.
"Ini untukmu, Art." lanjut Betty sambil mengeluarkan bunga matahari yang sudah mulai sedikit layu namun masih memiliki wangi yang semerbak. Dan juga sebuah paper bag berisi makanan-makanan manis kesukaan Art.
Art pun melongo dan matanya melebar melihat hal-hal yang ia sukai sekaligus di depannya itu. "Astaga! Ini—ini luar biasa. Terima kasih!"
"Ah, ini bukan dariku. Seorang laki-laki berkacamata memberikannya beberapa jam lalu." Perkataan Betty pun berhasil membuat air wajah Art berubah. Ia mengerutkan keningnya, bertanya-tanya siapa gerangan yang memberikan hal ini secara tiba-tiba.
Ia membuka paper bag dan melihat-lihat bucket bunga itu untuk memastikan adakah surat yang diselipkan disana.
"Tidak ada surat?" tanya Art yang dibalas dengan gelengan kepala dari Betty.
Arlo yang melihat hal itu pun juga cukup penasaran. Melihat kesenangan Art yang berubah menjadi... kekhawatiran.
Entah siapa yang memberikan barang-barang itu, namun Arlo memiliki perasaan yang kurang mengenakkan. Apalagi Art terlihat sangat khawatir dengan seorang yang memberikannya barang-barang itu.
Art pun semakin gelisah dan resah karena tidak menemukan satu pun surat atau pertanda dari seorang yang mengirimkannya barang-barang tersebut. Namun, akhirnya ia mengingat sesuatu yang Betty katakan.
"Tunggu. Laki-laki berkacamata?" tanya Art sekali lagi untuk memastikannya kepada Betty yang ternyata dibalas dengan anggukan mantap dari Betty.
Art pun dengan cepat mengeluarkan telefon genggamnya yang sedari tadi tidak ia buka karena terlalu sibuk dan fokus membuat biscotti bersama Arlo. Jari jemari Art dengan cepat berdansa diatas benda pipih berwarna hitam itu. Sampai akhirnya,
"Maaf, aku harus pergi sebentar." pamitnya kepada Arlo sekaligus Betty yang berada disana. Art baru saja melihat pesan dari Scar. Tiga pesan membingungkan. Butuh waktu sekian menit bagi Art untuk akhirnya mengerti tiga pesan dari Scar tersebut.
Art sebenarnya tidak tahu dimana ia harus mencari Scar. Namun kakinya terus melangkah maju dengan mantap, berlari kecil, berharap ia masih bisa menemukan Scar.
Walau hati kecilnya berkata bahwa ia tidak mungkin bisa bertemu dengan Scar. Pasti dirinya sudah jauh. Bodohnya, Art juga tidak tahu dimana tempat tinggal Scar disini.
Satu nama pun terlintas di benaknya. Satu-satunya orang yang ia kenal dan ia ketahui tempat tinggalnya.
🎨
Sudah ketiga kalinya Art menekan bell di depan apartemen dengan nomor unit 525 itu. Masih tak ada jawaban atau respon. Bahkan, tidak ada tanda-tanda bahwa akan ada orang yang akan membuka pintu tersebut. Mengapa Art masih berdiri disana?
Art sedang bergantung pada harapan. Harapan yang tidak ia harapkan. Ia berharap bahwa Poems tidak tahu dimana Scar berada. Ia berharap bahwa Poems tidak tahu apa-apa mengenai Scar.
Harapan-harapan tersebut terdengar sangat ironis.
Lima belas menit berlalu, masih belum ada tanda-tanda bahwa pintu akan terbuka. Ia sengaja menunggu karena berpikir bahwa mungkin Poems masih berada di luar dan akan segera kembali. Namun tidak. Pemikirannya salah besar.
Akhirnya, ia memutuskan untuk keluar dari apartemen tersebut. Hari sudah semakin sore, walau matahari masih setia bertengger diatas langit sana. Namun, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Ia harus kembali.
Art berjalan sembari menikmati jalanan Kota Toronto di sore hari itu. Jika dipikir-pikir, ia jarang pergi keluar. Ke pusat tengah kota; yang ramai, selalu hidup, dipenuhi oleh manusia-manusia yang berlalu-lalang.
Terakhir kali ia kesini adalah ketika Scar mengajaknya. Pertengkaran mereka yang terjadi saat itu—terus menerus bergema di pikiran Art.
Belum jauh Art berjalan, ia berhenti di depan sebuah kafe. Tidak terdapat banyak orang, sehingga ia bisa dengan mudah mengenali dua sosok yang sedang duduk di meja dekat jendela di dalam sana. Bisa dikatakan bahwa jarak antara Art dan mereka cukup dekat. Hanya dipisahkan oleh kaca transparant.
Namun, sangking asyiknya dengan obrolan mereka, kehadiran Art disana pun seperti angin lalu. Tidak terlihat. Sesekali mereka saling tersenyum satu sama lain.
Scar terlihat begitu murung, namun Poems bisa dengan lihai membuat lengkung bibir Scar kembali tersenyum.
Art sudah tidak memiliki keahlian itu lagi. Ia kehilangan sahabatnya. Dan cara mendukung serta menyemangati sahabatnya. Tidak ingin membuat mereka menyadari keberadaannya, dengan cepat Art pun berlalu pergi. Berjalan kembali menuju unitnya dengan penuh rasa sesal, sesak, dan kesal.
Haruskah ia berterima kasih kepada Poems? Atau seharusnya ia malu karena posisinya bisa tergantikan dengan cepat.
"Mau dirimu apa sih, Art?" Bisik Art kepada dirinya sendiri dengan perlahan sambil tertawa sarkas—menertawai dirinya sendiri.
🎨
Hallo semua. Kritik dan saran sangat kubutuhkan untuk membuat kalian, para pembaca, lebih nyaman dan bisa semakin menikmati karyaku. Jika menyukainya, bisa tekan simbol bintang di bawah ini ya. Dan jangan lupa untuk input cerita ini ke library kamu! Terima kasih banyak <33
—Sincerely, Lou.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Scars Become Art
RomanceAlarta Faith. Biasa orang-orang mengenalnya dengan panggilan 'Art'. Personanya tak seunik namanya. Cenderung biasa saja. Sepanjang hidupnya, Art selalu menjadi ekor Scar yang membuntuti kemana pun Scar pergi. Hal ini Art lakukan semata-mata karena i...