29 - Untold

13 4 0
                                    

Art melihat pasport miliknya yang berada di genggaman tangannya itu. Setelah hampir dua minggu ia terjebak di Kanada akibat adanya perpanjangan dan perubahan jadwal dari pihak acara, akhirnya ia bisa pulang. Walau demikian, ada sesuatu yang mengganggu dirinya dan seolah ada yang mengganjal di benaknya.

Di layar laptopnya sudah terdapat e-ticket yang tinggal ia cetak di kertas saja untuk penerbangannya kembali ke Indonesia. Ia tidak ingin berlama-lama di Kanada. Ia ingin pulang, tapi ia juga tidak merasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk pulang. Seolah ada destinasi lain yang memanggil-manggil namanya dan menunggu dirinya untuk menapakkan kaki diatas tanah negara tersebut.

Lamunannya buyar akibat getaran yang berasal dari benda pipih yang ia letakan di meja tepat di sebelah laptopnya. Art pun melirik kearah benda pipih tersebut dan mengernyitkan dahinya bingung. Tak biasanya seorang ini menelfon dirinya apalagi di tengah siang bolong begini.

"Hallo?" ucapnya mengucapkan salam pembuka dalam panggilan tersebut. Yang ada di seberang sana pun membalasnya dengan "Kita bisa ketemuan sekarang?"

Tak ada 'hallo' atau salam pembuka apa pun. Seolah ada suatu hal yang sangat amat mendesak sehingga membuat pria tersebut langsung menembak pertanyaan itu kepada Art.

🎨

"Lu dapet flight jam berapa?"

Pertanyaan itu sukses membuat Art mengernyitkan dahinya bingung. Beberapa menit sebelumnya di telepon, laki-laki yang kini berada di depannya sangat terus terang mengenai apa yang ia inginkan. Namun saat ini, ia terlihat seolah tengah berbasa- basi. Hal ini membuat Art berprasangka ada suatu hal di luar sana entah apa pun itu yang ia tak ketahui dan berusaha disembunyikan oleh oknum di depannya ini.

"Jam 9, malam ini. Kenapa?" Tak juga berusaha untuk terus terang, Art turut menanggapi basa-basi yang Scar mulai.

Ya. Yang menelpon dirinya itu adalah Scar. Laki-laki berkacamata yang kini tengah duduk di depannya, menyeruput espresso yang ia pesan, lalu sesekali berusaha menghindari kontak mata yang Art berikan kepada dirinya.

Selang beberapa menit, keheningan masih mengisi tiap sela dan jarak yang mereka berdua bangun. Diantara mereka juga sama sekali tak ada niat untuk menghancurkan keheningan tersebut.

Art yang masih terus menunggu balasan jawaban dari Scar. Dan Scar yang terus menerus berpikir bagaimana cara menyampaikan berita satu ini. Pikirannya berkecamuk. Ia bersikeras untuk menyampaikan berita ini secara langsung. Tapi di lain sisi, ia tahu bahwa waktu ini kurang tepat. Ia juga tak mau menjadi seorang yang menyampaikan berita ini.

"Mau ikut gue ke perpustakaan kampus nggak?" Screw it!

Scar tetap memilih untuk tidak memberitahu Art mengenai berita yang menjadi rahasia besar mengenai dirinya itu. Ia akui ia tak berani, tak sanggup melihat ekspresi apa yang akan Art berikan kepada dirinya. Biarkan berita ini sampai ke telinga Art melalui orang lain. Asal bukan dirinya.

Ia merasa, ia sudah terlalu banyak melukai perempuan di depannya itu. Seolah pernyataan cintanya beberapa tahun yang lalu merupakan sekedar kebohongan belaka. Karena nyatanya, ia terlalu banyak memberikannya luka dibandingkan rasa cinta kepada Art.

Art menaikkan satu alisnya bertanya-tanya. "Gue baru inget kalau ada beberapa buku yang harus gue pinjem." kata Scar berusaha mencari alasan logis untuk menjelaskan ucapannya barusan. Art yang teramat mencintai perpustakaan pun tak memiliki alasan untuk menolak tawaran tersebut. Lagipula, ia juga tidak memiliki kegiatan apapun sebelum penerbangannya nanti malam.

🎨

Hallo semua. Kritik dan saran sangat kubutuhkan untuk membuat kalian, para pembaca, lebih nyaman dan bisa semakin menikmati karyaku. Jika menyukainya, bisa tekan simbol bintang di bawah ini ya. Dan jangan lupa untuk input cerita ini ke library kamu! Terima kasih banyak <33

—Sincerely, Lou.

When Scars Become ArtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang