Jemari tangannya berhenti menari diatas papan ketik itu sesaat setelah menyadari bahwa telfon genggamnya tengah bergetar. Ia melirik, memastikan siapa gerangan yang menelfon nomornya di tengah siang bolong begini.
Ah, ternyata dirinya. Seorang yang namanya selalu berputar di pikirannya. Seorang yang sosoknya menjadi inspirasi dalam setiap ketikan dalam kalimatnya. Laki-laki itu menekan tombol off di sebelah kanan telfonnya, mematikan panggilan tersebut. Ia menggelengkan kepalanya agar tetap bisa fokus seperti semula. Panggilan singkat itu benar-benar tak terduga. Sudah lama ia tidak melihat namanya. Bagaimana kabarnya?
🎨
Scar tengah berbaring di atas tempat tidurnya yang empuk itu sembari menatap kosong ke langit-langit kamarnya yang berwarna putih polos dan sama sekali tidak menarik.
"We're bestfriends. And it will remain so." Perkataan perempuan yang merupakan sahabat—seorang yang ia cintai—semalam terus menghantui pikirannya. Ia hampir tak bisa tidur karena suaranya terus-menerus terdengar dengan jelas tepat di telinganya.
Selama ini Scar tidak begitu memperhatikan Art. Apalagi semenjak kepulangan Art ke Indonesia. Walau tak bisa dipungkiri bahwa masa-masa SMA mereka memang merupakan masa emas bagi mereka berdua. Banyak kisah yang mereka bagi bersama. Beban yang mereka tanggung bersama. Dan tawa canda yang menghiasi hari-hari mereka berdua. Scar juga tidak pernah menyangka akan jatuh kepada Art. Atau rasa ini hanya sekedar rasa nyaman?
Tidak. Ia sudah bertekad dan yakin bahwa rasa ini bukan perasaan sementara. Namun, ini perasaan nyaman yang berbunga menjadi cinta. Klise sekali. Scar selalu menghindari hal-hal klise seperti ini. Apalagi mengingat bahwa banyak perempuan yang turut mengincar dirinya, entah dirinya atau harta ayahnya. Akan tetapi, Art selalu mendatangkan perasaan yang berbeda dan baru bagi dirinya.
Pikirannya yang entah terbang kemana pun seketika buyar akibat getaran yang berasal dari benda pipih yang ia letakan diatas meja kayu kecil tepat di sebelah tempat tidurnya. Ia meraih benda itu dan mengangkat panggilan yang tak ia sangka.
Setelah mendengar berita yang disampaikan dari seorang di seberang sana melalui panggilan singkat itu. Dengan cepat ia bangun dari posisinya dan bergegas mengambil kunci mobil yang terletak di dekat meja kerjanya. Ia sangat tergesa-gesa. Seperti baru saja mendengar berita yang sangat amat mengejutkan.
Walau memang beritanya cukup mengejutkan. Ia menemukan hal ini tampak tak biasa dan hanya akan terjadi dalam lima tahun sekali.
"Berapa banyak yang ia minum?" tanya Scar kepada salah seorang bartender disana sesampainya di tempat yang cukup familier baginya itu.
Bartender itu tak menjawab dan hanya memberi isyarat melalui alisnya yang mengarah kepada botol-botol hijau yang berderetan berdiri dengan keadaan sudah kosong di depan Art yang tengah tertidur diatas lengannya.
Scar langsung menghampiri Art dan berusaha membopongnya. Ia tak pernah melihat wajah gadis di depannya semerah itu. "Benar-benar merepotkan." gumam Scar sambil berusaha tubuh Art diatas pundaknya.
"Mwaf—ti-tidak," Art bergumam dengan tidak jelas akibat terlalu mabuk. Ia bahkan sudah tidak sanggup membuka matanya. Ia meracau tak jelas dengan suara yang sedikit perlahan namun tetap bisa Scar dengan jelas.
"Bukan— teman. Pengkhianat!" teriak Art yang membuat Scar cukup kaget. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan terus menggendong Art sampai mobilnya.
Begitu sampai di mobilnya, ia pun menghela nafas berat. Tak ia duga bahwa menggendong Art cukup menguras banyak tenaganya. Ini sudah hampir dini hari, ia masih bertanya-tanya mengapa Art memberanikan diri datang ke tempat seperti itu. Sepengetahuan Scar, sahabatnya itu tidak akan pernah mau menginjakkan kakinya di tempat seperti itu. Mungkin Scar memang tidak pernah benar-benar memahami gadis yang tengah tertidur pulas di kursi sebelahnya ini.
Ia melihat raut wajah perempuan itu.
"Beruntung kau datang ke club milikku. Siapa yang akan mengantarmu pulang jika kau pergi ke club lain. Apakah ini takdir?" ucap Scar yang malah meracau berbicara tak jelas sendiri juga tanpa mengharapkan jawaban dari Art yang sudah tertidur akibat mabuk berat.
Manajer dari bar miliknya itu kebetulan menelfonnya. Mereka sudah harus menutup barnya karena sudah hampir pukul setengah tiga pagi. Masih ada seorang perempuan, manajernya itu menyebutkan ciri-cirinya dan spontan Scar langsung teringat akan Art. Dan benar saja bahwa sahabatnya itu tengah terkapar tak berdaya akibat banyaknya minuman alkohol yang ia teguk semalaman ini.
"Jangan berbicara soal takdir denganku. Kita dipermainkan olehnya—" balas Art masih dengan suara yang sedikit sumbang. Hal ini cukup mengejutkan Scar. Ia tak menyangka Art masih bisa mendengar dan membalas dirinya. Tak mau berlama-lama disini, Scar pun menyalakan mesin mobil dan menginjak gas menuju kediamannya.
🎨
Hallo semua. Kritik dan saran sangat kubutuhkan untuk membuat kalian, para pembaca, lebih nyaman dan bisa semakin menikmati karyaku. Jika menyukainya, bisa tekan simbol bintang di bawah ini ya. Dan jangan lupa untuk input cerita ini ke library kamu! Terima kasih banyak <33
—Sincerely, Lou.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Scars Become Art
RomanceAlarta Faith. Biasa orang-orang mengenalnya dengan panggilan 'Art'. Personanya tak seunik namanya. Cenderung biasa saja. Sepanjang hidupnya, Art selalu menjadi ekor Scar yang membuntuti kemana pun Scar pergi. Hal ini Art lakukan semata-mata karena i...