"He is the thought behind the feeling, the swelling in my chest; the starlight in the evening, the yearning when I undress."
—Lang LeavHari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tanpa Art sadari, ia sudah menghabiskan hampir empat bulan di negara penghasil sirup maple ini. Dirinya sudah memulai training volunteernya dari beberapa bulan yang lalu.
Hari-harinya cukup berat. Namun, ia senang karena melakukan kegiatan dan hal-hal yang memang ia gemari dan cintai. Ia bahagia. Sampai-sampai ia lupa dengan tujuan awal mengapa ia berada, memijakkan kakinya di Toronto saat ini.
Walau memang tujuan logisnya adalah untuk menjadi volunteer di UN Canada. Namun, Scar—bohong jika Art bilang bahwa ia tidak merindukan sahabatnya itu. Walau begitu, tidak banyak yang bisa ia lakukan. Jadi, ia hanya bisa fokus dengan apa yang bisa ia lakukan.
2 bulan lagi, nasibnya akan ditentukan; entah lolos sebagai youth volunteer tetap di UN Canada, atau ia harus mencari back up plan lain untuk masa depannya. Semoga dewi fortuna berpihak kepadanya.
"How's my girl?" sapa Ashley yang dirinya terpampang di layar laptop Art.
"Ibaratnya kayak lagi ada di fase sebelum 'mau meninggal'. But, I'm happy tho!" jawab Art menanggapi pertanyaan sahabatnya itu.
"Ngga mau nyoba UTBK lagi aja tahun depan?" goda Ashley sambil tertawa dan dibalas oleh decakan dari Art.
"Jangan ngadi-ngadi deh. Doain dong supaya mereka nerima gue jadi volunteer tetap disini. Lumayan banget soalnya. Living cost ditanggung karena bakal tinggal di dorm mereka. Makan juga disediain, kayak there will always be a buffet for every lunch and dinner gitu." Art pun menjelaskan beberapa benefit yang akan ia terima jika diterima sebagai youth volunteer tetap oleh UN Canada kepada Ashley dengan detail.
Ashely pun hanya mengangguk-angguk, memberi tanda bahwa dirinya paham dan mengerti maksud dari penjelasan sahabatnya itu.
"Kabar Scar gimana?" kesunyian selama beberapa detik itu pun dipecahkan oleh pertanyaan yang Art harap sahabatnya tersebut tidak pernah tanyakan lagi kepadanya. Namun, mustahil.
Art menarik dan membuang nafasnya sebelum menjawab pertanyaan dari Ashley. "Been losing contact with him for these past few months."
Ashley yang mendengar jawaban dari Art itu pun terbelagak kaget. Art sudah menduga hal itu. Selama 4 bulan terakhir, ia seperti memutuskan kontak ke setiap orang yang ia kenal. Tak terkecuali Ashley. Ini pertama kalinya mereka melakukan panggilan setelah 4 bulan lamanya mereka tak bertelfonan.
Bukan bersifat kekanak-kanakan. Art juga tidak menyangka training-nya akan sesibuk dan seberat ini. Ia bahkan sudah melewati banyak kesempatan untuk berkumpul bersama para penyewa airbnb lain. Mereka sering mengadakan makan malam bersama kalau kalian lupa.
"One of you ngga ada yang berusaha untuk saling reach out?" Ashley bertanya lagi. Dan dijawab dengan gelengan lesu dari kepala Art.
"Mungkin dia juga sibuk sama kuliahnya." jawab Art dengan hipotesisnya itu.
Mereka melanjutkan obrolan mereka selama 2 jam lamanya. Sampai akhirnya Art berpamitan karena dirinya lelah dan ingin segera beristirahat. Sebelum tidur, Art tadinya berencana keluar untuk membeli makanan cepat saji di daerah depan gangnya itu.
Namun, niatnya itu pun langsung ia kurungkan dengan cepat setelah melihat paper bag berwarna coklat di depan pintunya itu. Ketika ia melihat ke dalamnya, terdapat makanan beserta lauk pauk yang banyak dan tertata rapih di dalam tempat makan plastik itu.
Art menoleh ke kanan dan ke kiri. Mengira-ngira siapa gerangan yang menaruh ini di depan pintu unitnya. Apakah itu Arlo? Ah, tidak mungkin. Mereka sudah lama tidak bertemu. Bahkan ketika bertemu pun, Arlo terlihat seperti segan untuk bertegur sapa.
Ia pun membawa masuk paper bag itu dan menaruhnya diatas meja makannya yang berukuran segiempat itu. Dikeluarkannya satu persatu tempat makanan yang ada. Ia membukanya; terdapat broccoli yang di cah, daging ayam barbeque kesukaannya, telur dadar, dan nasi yang masih cukup hangat.
Art menjadi rindu akan rumahnya. Ia rindu masakan Ibunya.
Di bagian paling bawah paper bag itu terdapat sebuah sticky notes.
"V koma I?" Art tertegun dan bertanya-tanya setelah membaca tulisan di sticky notes itu. Setahunya, ia tidak memiliki kenalan sama sekali dengan inisia V dan I.
Tak mau menghabiskan waktunya untuk berpikir dan menelusuri terlalu lama, ia pun mulai menyicipi hidangan makanan yang aromanya sudah sangat menggugah perutnya itu.
Dengan cepat, ia melahap makanan-makanan itu. Rasanya sangat rumahan. Ia terasa seperti dirumah. Hangat. Nyaman. Art pun tak bisa menahan tangis harunya ketika memakan makanan-makanan tersebut.
Terima kasih, kepada siapa pun yang mengirimkan dirinya makanan ini.
🎨
Hallo semua. Kritik dan saran sangat kubutuhkan untuk membuat kalian, para pembaca, lebih nyaman dan bisa semakin menikmati karyaku. Jika menyukainya, bisa tekan simbol bintang di bawah ini ya. Dan jangan lupa untuk input cerita ini ke library kamu! Terima kasih banyak <33
—Sincerely, Lou.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Scars Become Art
RomansaAlarta Faith. Biasa orang-orang mengenalnya dengan panggilan 'Art'. Personanya tak seunik namanya. Cenderung biasa saja. Sepanjang hidupnya, Art selalu menjadi ekor Scar yang membuntuti kemana pun Scar pergi. Hal ini Art lakukan semata-mata karena i...