24 - Breakfast with The Scars

19 5 2
                                    

Sinar mentari menyelinap masuk melalui sela-sela jendela, membuat gadis yang masih terkapar diatas tempat tidur itu berusaha membuka matanya yang seperti ditempel dengan lem biru semalaman. Matanya sangat sulit untuk dibuka, sangat berat. Ia pun mengusap matanya dengan punggung tangannya secara perlahan, berharap hal itu bisa sedikit membantu matanya untuk terbuka.

Perlahan kelopak matanya terangkat. Ia pun menyipitkan matanya karena sinar matahari yang masuk sangat menusuk pandangannya.

"Jam berapa ini?" gumamnya perlahan dengan suara yang sangat amat berat.

Ia pun baru menyadari sesuatu. Ia melempar pandangannya ke sekelilingnya. Ini bukan kamarnya. Ia masih memakai dress hijau yang ia pakai kemarin. Kepalanya sangat berat. Ia pun menggeram kesakitan sambil memijit pelipisnya perlahan. Badannya juga terasa amat kaku.

Apa yang terjadi dalam semalam? Terakhir kali, ia hanya ingat kalau dirinya pergi ke sebuah bar di tengah kota. Ia bak kehilangan akalnya. Ia menyumpahi dirinya yang bodoh dan menyesali perbuatannya semalam dalam sekejap.

"Sarapan udah siap," Suara yang datang entah dari mana itu pun berhasil membuatnya sedikit terloncat dari tempat tidur itu. Ia menoleh ke arah sumber suara yang ternyata berada di pintu kamar itu.

"Ethan?" tanyanya ragu.

"100 juta rupiah." balas laki-laki itu sambil tersenyum lebar.

Art semakin bingung. Mengapa manusia pertama yang ia lihat di pagi hari ini adalah Ethan Scar? Yng pasti apa yang akan terjadi beberapa menit ke depan tidak akan baik-baik saja. Ini kacau. Art benar-benar kacau sekarang.

"Turun aja kalau udah siap. We're waiting." ucap Ethan begitu saja dan langsung menutup pintu kamar lalu berlalu pergi.

Art masih berusaha memproses segalanya. Ia bisa tidur di tempat tidur ini juga masih menjadi sebuah pertanyaan besar. Tempat tidur siapa ini? Kamar siapa ini?

Sampai akhirnya ia melihat sebuah frame foto yang menarik perhatiannya. Frame itu terletak diatas nakas kayu yang berada tepat di sebelah tempat tidur tersebut. Terdapat dirinya yang berumur enam belas tahun dan seorang laki-laki berkacamata di sebelahnya. Ia terlihat sedang merangkul laki-laki yang sangat kikuk itu. Terjawab sudah ini kamar milik siapa. Perasaannya benar.

Duduk di meja makan dengan penampilan yang lusuh dengan tiga orang yang baru saja mengadakan jamuan makan malam terbesar di UNICEF Kanada semalam sama sekali bukan skenario yang Art harapkan ketika ia datang kembali kesini.

Ini gila. Ia bahkan sama sekali tidak sanggup menatap ke arah Elijah Scar yang berada tepat di seberangnya. Suasana sarapan pagi hari ini cukup tenang. Namun tidak bagi Art. Jantungnya tak bisa berhenti berdegup selama sarapan berlangsung. Ia sampai khawatir jika ketiga Scar itu bisa mendengar degup jantungnya yang begitu kencang.

Tidak ada satu pun diantara mereka yang berniat membuka percakapan. Mungkin memang begini biasanya sarapan mereka berlangsung. Selang beberapa menit, akhirnya sang kepala keluarga pun membuka bibirnya. "Siapkan baju ganti dan peralatan yang Art butuhkan. Apartemen yang kau minta juga sudah Papa siapkan."

Mendengar namanya disebut, seluruh tubuh Art pun menenggang. Astaga. Mereka tidak perlu repot-repot mengurusi tamu tak diundang seperti dirinya ini. Melihat mereka begitu memperhatikan dirinya, Art menjadi semakin tidak enak.

"Ah, nggak perlu repot—" ucapan Art pun terpotong.

Elijah dengan cepat menimpali "Jangan lupa ikut meeting jam 2 siang nanti."

Laki-laki paruh baya yang masih terlihat bugar itu sama sekali tidak meliriknya dan membiarkan dirinya bersuara. Ia tahu sejak dulu ayah Scar tidak begitu suka dengan dirinya. Entah apa yang telah Art lakukan. Namun, Elijah hanya menunjukkan senyumnya kepada Poems.

Ethan pun memberi isyarat yang berarti 'tidak apa-apa' melalui gelengan kepalanya. Art yang mengerti dan menangkap isyarat tersebut pun hanya bisa mengangguk dan tersenyum ikhlas. Ia melirik kearah Scar. Tidak ada respon sama sekali. Seolah dirinya sedang berada di dunia yang berbeda dengan laki-laki itu. Scar tentu masih berhutang penjelasan kepada Art atas apa yang terjadi semalam dan mengapa dirinya bisa duduk untuk sarapan bersama mereka saat ini.

"Sampai situ aja? Yakin kalau gue nggak melakukan hal memalukan semalam?" tanya Art yang merasa kurang yakin ketika mendengar penjelasan cerita dari Scar.

Scar pun menggeleng, lalu berkata "Kecuali ngigau,"

"HAH? Ngigau? Ngigau-in apa gue?" tanya Art menggebu-gebu karena penasaran sekaligus malu dengan apa yang barusan Scar katakan. Walau Scar belum memberikan validasi akan kebenaran ucapannya, namun Art sedikit merasa bahwa sepertinya ia juga sempat meracau semalam.

"Manggil-manggil nama gua." balas Scar enteng yang dibalas oleh decakan Art.

"Ngawur." ketus Art. Ia pun memakai blazer putihnya dan menyisir rambutnya dengan jemari tangannya. Ia memutuskan untuk pulang ke hotel dan menolak seluruh bantuan yang diberikan kepadanya. Ya, benar. Art tidak mau berhutang budi dengan Scar.

"Gua tahu lu nggak bakal suka ide ini. Tapi gua ada apartemen yang udah nggak ke pakai. Daripada mubazir, mending buat lu aja." ucap Scar langsung kepada point ucapannya sebelum Art mengangkat kaki dari rumahnya.

"No, thank you." balas Art singkat dan langsung mengambil tas miliknya lalu berlalu pergi dari pandangan Scar. Scar yang sudah bisa menebak jawaban itu pun hanya bisa menghela nafas pasrah.

🎨

Dalam perjalanan pulang menuju hotelnya, telfon genggam Art berdenting menandakan bahwa ada pesan yang masuk. Ia pun membuka ponselnya itu dan mendapati pesan dari Scar mengenai rencananya hari ini.

"Dia benar-benar aneh," pikir Art dalam benaknya karena mereka baru saja bertemu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dia benar-benar aneh," pikir Art dalam benaknya karena mereka baru saja bertemu. Apakah ia ingin bertemu dengannya lagi? Kejadian semalam belumlah cukup bagi dirinya, kah?

Pikiran Art berkecamuk. Kepalanya masih sedikit terasa pening akibat kebodohan yang ia lakukan semalam. Ia pun memutuskan untuk mengabaikan pesan itu. Art juga belum tahu apa yang akan ia lakukan hari ini.

Sebelum akhirnya ia melewati sebuah restoran khas makanan Italia. Hal tersebut membuat dirinya teringat akan seseorang. Dalam seketika, Art pun sudah mengetahui rencana apa untuk harinya. Ia akan menemui seorang teman lama. Yang selalu ia rindukan.

🎨

Hallo semua. Kritik dan saran sangat kubutuhkan untuk membuat kalian, para pembaca, lebih nyaman dan bisa semakin menikmati karyaku. Jika menyukainya, bisa tekan simbol bintang di bawah ini ya. Dan jangan lupa untuk input cerita ini ke library kamu! Terima kasih banyak <33

—Sincerely, Lou.

When Scars Become ArtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang