0.2 - Hope Not

57 7 7
                                    

Ashley menghela nafasnya. Ia malas jika harus mengulang pertanyaannya lagi. Namun, apa yang bisa ia lakukan selain menjawab rasa penasaran sahabat satu-satunya itu?

"Is Scar really that worth it for you to fight for?" ulang Ashley dengan pelafalan yang lebih jelas dan lebih lantang kali ini.

Jangan bertanya mengapa mereka bisa bertindak hingar-bingar di sebuah perpustakaan. Selain karena ini abad ke-21, siapa juga yang datang ke perpustakaan pukul 1 siang, terkecuali sekelompok anak sekolah yang memiliki tugas untuk mencari informasi disini.

Sebelum menjawab pertanyaan dari Ashley, Art mengambil nafas lalu membuangnya secara perlahan, seolah ia mengeluarkan seluruh beban-bebannya melalui helaan nafas tersebut.

"Apalagi yang harus gue perjuangin selain Scar?"

Ashley berdecih, "Dasar remaja bulol. Bucin tolol." ia mengumpat dengan suara sekecil mungkin. Tapi Art masih bisa mendengarnya dan marah karena tak terima dilabeli sebagai bucin tolol. Walau memang nyatanya ia adalah budak cinta Elkan Scar.

"Gimana tentang Poems?" Ashley kemudian mengangkat topik yang selama dua minggu ini Art hindari; Poems.

Yang Art tahu, Scar telah memiliki rasa terhadap Poems sejak dulu. Siapa yang tidak? Jika Art dilahirkan sebagai seorang laki-laki, ia pasti juga akan jatuh cinta kepada Poems.

Laki-laki mana yang tidak akan jatuh hati ketika melihat Poems?

Wajah? Check.

Personality? Check.

Grades? Check.

Pokoknya semua yang seluruh perempuan idamkan ada pada diri Poems. Dan hal ini lah yang menjadi concern terbesar dalam hidup Art saat ini. Ia menjadi khawatir akan apa yang akan terjadi di Kanada nanti.

Mungkin bayangannya untuk terus bersama dengan Scar harus segera ia pendam dan lupakan. Batinnya berselisih. Apakah ia harus berhenti dan menyerah pada Scar? Atau ia harus memperjuangkannya?

"Entahlah, Ley." jawab Art lemas dengan singkat atas pertanyaan sahabatnya yang membuatnya kembali berpikir ulang untuk tetap pergi ke Kanada atau tidak.

Namun, tidak. Art harus meneguhkan hatinya kembali. Bekerja menjadi seorang volunteer di United Nations juga merupakan salah satu cita-citanya sejak dahulu.

Ia tidak akan mungkin menyerahkan mimpinya demi seorang laki-laki yang bahkan tidak pernah meliriknya sekali pun, 'kan? Setidaknya begitu yang ia pikirkan.

Padahal, ironisnya, selama ini ia memang sudah menyerahkan mimpinya hanya untuk seorang laki-laki.

Ingin rasanya ia berteriak sekencang mungkin agar pemuda bernama Elkan Scar itu setidaknya sekali saja menoleh ke arahnya dan mengetahui bahwa dirinyalah yang selalu ada untuknya selama ini.

Ingin rasanya ia berteriak sekencang mungkin agar pemuda bernama Elkan Scar itu setidaknya sekali saja menoleh ke arahnya dan mengetahui bahwa dirinyalah yang selalu ada untuknya selama ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🎨

Koper berwarna abu-abu berukuran besar itu tergeletak dan terbuka lebar di lantai kamar Art. Lemari bajunya terbuka, baju-bajunya pun berserakan di atas tempat tidurnya itu.

Ia mengecakkan pinggangnya lalu menghela nafas karena melihat kegaduhan yang ia ciptakan di kamarnya itu. "Aku tidak menyangka mengepak baju akan se-melelahkan ini." gumamnya dalam hati.

Art pun memutuskan untuk berbenah diri terlebih dahulu sebelum melanjutkan kegiatannya dalam mengepak baju beserta keperluannya ke dalam koper.

Ia merebahkan tubuhnya ke tempat tidurnya yang empuk itu, lalu menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih polos itu.

Setelah setengah jam tidak melakukan apa pun sama sekali dan hanya merebahkan tubuhnya diatas kasur, akhirnya Art pun beranjak. Ia memutuskan untuk sekalian membereskan barang-barang di kamarnya. Karena sejujurnya ia cukup bingung dengan apa yang harus ia bawa ke sana.

Sembari membongkar barang-barang yang ada di lemari dan laci kamarnya, Art menemukan beberapa barang yang membangkitkan perasaan nostalgia. Rentetan senario itu mulai bermunculan di pikirannya.

Ketika dirinya, Scar, dan Ashley selalu bergadang sampai jam 3 pagi di perpustakaan keluarga Ashley demi menyelesaikan project akhir sekolah mereka. Mereka sempat mengambil sebuah foto yang berbentuk polaroid itu. Kebetulan Art yang menyimpannya. Ada juga foto Scar seorang diri yang tentu saja dipotret oleh Art sendiri.

Atau ketika Scar selalu memberikannya permen berperisa rasa buah yang beraneka ragam karena Art merupakan seorang sweet tooth tingkat akhir. Makanan manis membantu meningkatkan mood dan semangatnya. Apalagi kalau dari Scar. Haha.

Banyak sekali cerita yang mereka lalui bersama. Maka dari itulah, Art merasa ada bagian dari dirinya yang hilang ketika Scar harus pergi meninggalkannya ke Kanada.

Mungkin keputusannya untuk mengikuti kegiatan volunteer ini tidak sepenuhnya salah. Semoga tidak.

🎨

Hallo semua. Kritik dan saran sangat kubutuhkan untuk membuat kalian, para pembaca, lebih nyaman dan bisa semakin menikmati karyaku. Jika menyukainya, bisa tekan simbol bintang di bawah ini ya. Terima kasih banyak <33

—Sincerely, Lou.

When Scars Become ArtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang