33 - What if

14 3 0
                                    

"Grazie mille, Alma." ungkap Art yang berterima kasih kepada Alma dengan bahasa Italia.

Alma pun membalas ungkapan tersebut dengan senyum manisnya lalu berkata "Aku malah senang karena memiliki seorang yang aku kenal di negeri ini. Simpan rasa terima kasihmu nanti, Art. Aku masih punya banyak kejutan yang ingin kutunjukkan kepadamu."

"Kejutan?" Art mengerutkan kedua alisnya bertanya-tanya.

"Setelah bertahun-tahun tinggal di negara ini, aku mulai merasa bahwa kota ini selalu mendatangkan sebuah kejutan. Entah kejutan apa yang akan menghampiri dirimu." jelas Alma sambil menyisip sampanye miliknya lagi.

Kata 'kejutan' pun mulai bergema di kepala Art. Kata yang sangat dekat dengan seorang yang sungguh ia rindukan. Kata yang selalu mendatangkan kebahagiaan, juga kebingungan bagi dirinya.

Art hanya bisa mengangguk-angguk dan tersenyum setelah mendengarkan penjelasan dari Alma. Ia sempat mengira jika Alma mengetahui sesuatu mengenai alasan kedatangan dirinya ke Venesia ini.

"Mengapa Venesia? Kenapa bukan Milan atau Roma?" Alma mulai penasaran dan mencari topik obrolan dengan Art.

"Entahlah. Aku hanya merasa aku harus ke sini." timpal Art menjawab pertanyaan Alma dengan enteng dan senatural mungkin agar ia tidak memancing kecurigaan atau rasa penasaran Alma.

"Kau datang ke sini untuk bertemu seseorang 'kan?" tanya Alma yang membuat Art terkejut setengah mati. Ia kalang kabut sampai-sampai ia hampir menjatuhkan gelas berisi sampanye miliknya. Apakah mungkin Alma mengetahui sesuatu?

"Kau bilang itu di telepon sebelumnya," Alma pun menambahkan penjelasan dari pertanyaannya sebelumnya. Art pun merasa lega. Ia lupa jika ia pernah menyebutkan alasan kedatangan dirinya ke sini.

"Ah, iya. Tapi aku tidak yakin akan menemukannya. Lagipula itu tampak mustahil." bohong Art kepada Alma. Walau pikirannya sudah mulai menyerah karena ia sama sekali tidak memiliki petunjuk, akan tetapi hatinya masih sepenuhnya percaya bahwa ia bisa bertemu dengan laki-laki itu lagi.

"Kau mungkin tak percaya, tapi aku kenal banyak orang di sini. Sebut saja namanya, aku bisa membantumu." tawar Alma.

Art sempat mempertimbangkan tawaran itu dan hendak menyebutkan nama laki-laki tersebut. Namun ia pun menolak tawaran tersebut. Ia pikir, ia pasti bisa menemukan laki-laki itu. Walau setelah dipikir-pikir lagi, Art sama sekali tidak memiliki sebuah penunjuk jalan di mana laki-laki itu berada. Bahkan kemungkinan paling buruknya, ia sempat ragu jika laki-laki itu masih bernafas.

🎨

Art menekan tombol menyala pada telepon genggamnya dan mendapati jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari dan ia masih terjaga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Art menekan tombol menyala pada telepon genggamnya dan mendapati jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari dan ia masih terjaga. Setelah mendapati beberapa barang yang ditinggalkan oleh Arlo di unit air bnb-nya, itu kerap menghantui dirinya. Seolah isi kepalanya hanya dipenuhi oleh segala hal tentang Arlo.

Ia sudah tak sanggup lagi untuk menangis. Cenderung bingung dengan apa yang harus ia lakukan sehingga hanya bisa termenung diam, merenungkan segala hal yang ia sesali.

Kepalanya mulai memutar seluruh rentetan memori yang ia lalui bersama Arlo. Dimulai dari pertemuan mereka, ketika mereka masak biscotti bersama, bagaimana rasa spaghetti buatan Arlo, sampai percakapan panjang mereka di rooftop kala itu. Ketika Arlo memintanya untuk tetap tinggal. Ia merutuki dirinya terus menerus.

Apakah segalanya akan sama jika ia menuruti permintaan Arlo untuk tetap tinggal? Apakah mereka akan terpisah seperti saat ini jika ia menuruti permintaan Arlo malam ini? Apakah ia akan terjaga malam ini untuk memikirkan segala teka teki tak karuan yang Arlo tinggalkan jika ia masih bersama Arlo saat ini?

Seluruh spekulasi yang mulai ngawur dan tidak masuk akal pun mulai bermunculan. Sampai sebuah konversasi muncul di kepalanya.

"Ketika musim panas selanjutnya tiba, aku mungkin sudah berada di tempat lain."

"Memangnya apa destinasimu selanjutnya?" tanya Arlo yang cukup penasaran.

"Aku juga sedang mencarinya." jawab Art masih sambil menatap langit senja Toronto yang kian penyap, sirna, digantikan oleh sinar bulan dan langit yang gelap.

"Kalau kau? Bagaimana?" Sekarang giliran Art yang bertanya kepada Arlo.

"Orang-orang bilang Venice akan tenggelam beberapa tahun lagi. Mungkin aku akan menyempatkan waktuku untuk kesana." jawab Arlo yang dibalas oleh tawa Art.

Arlo yang kebingungan pun bertanya, "Kenapa memangnya? Aneh ya?"

Berusaha menghentikan tawanya, Art pun menjawab "Tentu saja. Bukan tujuannya yang aneh, tapi alasanmu. Benar-benar diluar dugaan dan diluar akal."

Arlo pun menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu sambil terkekeh.

"Venice. Kota Air yang romantis. Banyak pasangan yang berciuman diatas kanal-kanalnya sembari menikmati semilir angin, mendengarkan lagu-lagu khas Italia yang dikumandangkan. Kau yakin akan pergi sendirian kesana?" tanya Art.

Art pun tertegun. Suara bariton itu masih terdengar jelas di telinganya.

"Venice..." gumam Art.

Sepersekon detik kemudian, sebuah e-ticket telah terpampang dengan jelas di layar laptop milik Art. Tiket penerbangan menuju bandara Venice Marco Polo. Padahal, ia baru saja kembali dari Toronto. Ia seharusnya tidur dan bangun pukul 7 pagi untuk menghandiri sebuah pertemuan dengan koleganya, Mega dan Aline. Alih-alih menyusun materi untuk pertemuan mereka, Art malah memesan tiket ke luar negeri.

Ini merupakan pertama kalinya Art melakukan tindakan yang cukup gegabah dan merugikan karirnya. Tidak bisa dibilang bahwa ia tidak berpikiran panjang. Art sudah berpikir cukup panjang mengenai hal ini.

Beruntungnya, ia tetap bisa mengikuti pertemuan itu secara daring. Art juga beruntung karena ia memiliki kolega yang bisa diandalkan. Walau keputusannya kali ini sedikit egois, namun Art merasa ia berhak mendapatkan 'liburan' setelah perjalanannya ke Toronto sebagai representatif Genara untuk kegiatan UNICEF yang berkedok acara makan malam para miliader.

Kesempatan tidak akan datang dua kali. Ia tidak mau penyesalan tersebut terus menempel di belakang kepalanya seumur hidup. Ia harus bertemu dengan laki-laki tersebut.

🎨

Hallo semua. Kritik dan saran sangat kubutuhkan untuk membuat kalian, para pembaca, lebih nyaman dan bisa semakin menikmati karyaku. Jika menyukainya, bisa tekan simbol bintang di bawah ini ya. Dan jangan lupa untuk input cerita ini ke library kamu! Terima kasih banyak <33

—Fondly, Lou.

When Scars Become ArtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang