Decisions decisions
Should I stay or should I run?🎨
Lagi-lagi Art menemukan sebuah paper bag di depan pintu unitnya. Ia baru saja ingin beranjak untuk membeli sarapan di salah satu minimarket yang berada di sekitar depan gang. Art membawa masuk kantung tersebut dan membukanya.
Sebuah burrito yang dibungkus dengan rapih menggunakan alumunium foil dan kertas minyak. Entah ini burrito milik restoran atau bukan, namun burrito itu terlihat sangat menggiurkan.
Art membuka bungkusan burrito itu dan mencobanya. Gigitan pertama berhasil membuatnya menghela nafas, lalu memejamkan matanya.
"Ini enak banget!" ungkapnya perlahan masih dengan mulut yang penuh dengan burritonya itu.
Ia pun cukup terkejut dengan rasanya. Tidak terlalu banyak saus yang mencolok sehingga mempengaruhi rasa dari elemen-elemen sayur dan daging lainnya. Rasanya sempurna. Ia sampai tidak bisa berkata-kata.
Setelah selesai menghabiskan satu burrito itu, ia pun berniat untuk membuang seluruh bungkusannya ke dalam paper bag. Sebelum akhrinya ia menyadari bahwa ia menemukan satu sticky notes lagi. Terdapat sebuah tulisan lagi pada sticky notes tersebut.
Art terkekeh ketika membaca tulisan dari secarik kertas berwarna cokelat pucat itu. Siapa pun orang itu, pasti pernah ia keluhkan mengenai masalah dirinya yang selalu insecure mengenai bentuk tubuhnya. Pesan anonim ini menyebutkan namanya. Jadi, bisa Art simpulkan bahwa dalang dibalik ini pasti mengenal dirinya.
Hal yang cukup membuat Art berpikir adalah tanda atau huruf penanda identitas darimana kertas itu berasal. Kali ini hurufnya berbeda dari sebelumnya. E dan T. Art masih belum menemukan siapa oknum dibalik ini. Tak mau berpikir panjang dan mempermasalahkan hal ini lebih jauh, Art berterima kasih kepada siapa pun yang telah memberikannya ini.
Ia selalu datang di saat yang tepat.
Setelah perutnya merasa hangat sehabis melahap habis satu buah burrito yang ia dapatkan dari seorang anonim, kini kedua manik matanya menatap lurus ke arah laptop yang berada tepat di depannya itu. Ia memangku dagunya, terlihat sedang menimbang-nimbang keputusan yang tengah berenang di dalam kepalanya.
Layar laptopnya menunjukkan sebuah website. Website pendaftaran JCC International Scholarship. Ini merupakan program beasiswa milik perusahaan Papa Poems yang Scar beritahu kepadanya kemarin. Sejujurnya, ia cukup tertarik dengan ini. Namun, ia belum membicarakannya dengan Mama.
Art melemparkan pandangannya ke arah frame kotak berbahan kayu yang di dalamnya mendekap foto dirinya dengan sang Ibunda. Mereka sama-sama memberikan senyuman paling bahagia yang terpotret dalam foto itu. Ia pun menghela nafasnya. Rencana awalnya bukan begini. Recana awalnya, Art akan menjadi salah satu dari volunteer UN Canada yang setiap bulannya mendapatkan komisi. Walau tak besar, namun jika dirupiahkan, sanggup menyokong kebutuhan pokok dirinya dan Mama selama tiga bulan ke depan.
Akan tetapi, sepertinya Sang Pencipta punya rencana yang jauh berbeda dari rencana yang sudah ia andaikan sejak lama. Atau mungkin, ini yang terbaik?
Jemarinya mengetuk tombol berwarna hijau yang berarti memulai panggilan. "Hallo?" ucapnya mengawali panggilan tersebut. Sebuah sapaan dari seberang sana membalas sapaan dirinya. Suara yang sangat ia rindukan. Dari suaranya saja, Art bisa menyimpulkan bahwa insani tersebut sedang teraenyum.
"Mama apa kabar?" tanyanya lagi.
"Mama mah selalu baik. Anak Mama apa kabar?" balas seorang dari seberang sana menanyakan kabar anak semata wayangya itu.
Art pun tertawa kecil mendengar jawaban dari Mamanya yang selalu berusaha memberikan suasana positif dan cerah kepada dirinya. "Baik juga, Ma." jawabnya.
"Oh iya, Ma. Art mau ngomong." nada suaranya pun berubah menjadi lebih serius dari sebelumnya. Sebelum melanjutkan ucapannya, Art menggigit bibirnya. Ia ragu. Haruskah ia katakan? Entah mengapa jantungnya berdebar menjadi dua kali lebih cepat.
Sebelumnya melanjutkan, ia mengambil nafas yang dalam terlebih dahulu. "Ma, kan kemarin Art belum diterima jadi volunteer di UN Canada," Walau sudah berusaha ikhlas, namun ketika mengingat bahwa ia tidak diterima, rasa pedih masih sedikit terbesit di dadanya.
"Art kepikiran mau lanjut kuliah disini aja, Ma." lontarnya dengan cepat, tak mau menunda-nunda lagi.
"Tapi tenang aja, Ma. Poems, temen Art, Papanya punya perusahaan yang menyediakan beasiswa untuk murid internasional kayak Art. Jadi uang kuliahnya dibayarkan 100%, kecuali uang untuk kebutuhan sehari-hari." lanjutnya cepat sebelum Mamanya membahas mengenai persoalan biaya yang menjadi kekhawatiran terbesar mereka selama ini.
Tidak ada balasan selama beberapa detik, Art pun memastikan bahwa panggilannya masih tersambung. "Ma? Masih disana?"
Terdengar suara helaan nafas yang cukup berat dari seberang sana. Sebagian dari dirinya sudah menebak apa yang akan dilontarkan oleh Mamanya setelah ini. Namun, sebagian dari dirinya masih mengharapkan sedikit keajaiban agar Mamanya bisa menyetujui hal ini.
"Mama bukannya mau menghalangi mimpi kamu, Art. Beasiswa itu pasti persaingannya juga ketat. Mama tahu anak Mama pasti sanggup. Tapi kayaknya Mama udah ngga bisa jamin uang untuk kebutuhan kamu disana ke depannya." Art tahu. Art tahu kalimat-kalimat inilah yang akan ia dengar pada panggilan pagi hari ini. Ia tidak bisa bergantung pada beasiswa sepenuhnya karena beasiswa yang disediakan oleh perusahaan Papa Poems itu hanya akan membayar seluruh uang kuliahnya. Tidak termasuk uang jajan untuk kebutuhan pokok dirinya.
Ia mengalihkan pandangannya ke atas, berusaha menahan bendungan air mata yang sudah siap terjun kapan saja ke pipi dengan rona merah itu.
"Pulang ya, Nak?" ucap Mamanya final.
Art memejamkan kedua matanya. "Iya, Ma. Art pulang."
🎨
Hallo semua. Kritik dan saran sangat kubutuhkan untuk membuat kalian, para pembaca, lebih nyaman dan bisa semakin menikmati karyaku. Jika menyukainya, bisa tekan simbol bintang di bawah ini ya. Dan jangan lupa untuk input cerita ini ke library kamu! Terima kasih banyak <33
—Sincerely, Lou.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Scars Become Art
RomanceAlarta Faith. Biasa orang-orang mengenalnya dengan panggilan 'Art'. Personanya tak seunik namanya. Cenderung biasa saja. Sepanjang hidupnya, Art selalu menjadi ekor Scar yang membuntuti kemana pun Scar pergi. Hal ini Art lakukan semata-mata karena i...