25 - Jamais Vu

11 4 0
                                    

Hampir dua puluh menit waktu berlalu, kedua kaki Art tak lepas dari tempat ia tengah berdiri saat ini. Waktu terus berjalan. Sedangkan sang insan bak tersihir mantra pembeku, tubuhnya diam tak bergeming.

Di depannya terdapat sebuah pintu kaca yang dilapisi kaca film sehingga keadaan di dalamnya terlihat samar. Walau samar, Art masih bisa melihatnya dengan jelas karena setiap barangnya masih terletak di tempat yang sama. Seolah memang tidak menua dan bertambah tahunnya.

Beberapa tahun yang lalu, pintu kaca ini dengan gampangnya ia buka dan tutup. Hampir setiap hari ia menggenggam genggaman pintu kaca itu. Namun, sekarang terasa sangat sulit baginya hanya untuk meraih genggaman pintu tersebut.

Tak mau membuang-buang waktu, ia pun berusaha menarik dirinya sendiri agar tidak membuang waktu lebih lama lagi. Ia mendorong pintu kaca itu dan masuk ke dalam air bnb yang kecil namun terasa sangat homey bagi Art. Ia pun melempar pandangannya pada sekelilingnya. Segalanya masih terasa sama.

"Selamat datang!" sapa seseorang dengan bahasa Inggris dari belakangnya. Secikit terkejut, Art pun dengan cepat menoleh ke sumber suara tersebut.

"Ah, iya." balas Art gugup sambil berusaha tersenyum ramah ke arah laki-laki yang kira-kira umurnya tak berbeda jauh dengan dirinya itu.

"Sudah membuat reservasi? Atas nama siapa kalau boleh tahu?" lanjut laki-laki tersebut yang Art duga seorang resepsionis di air bnb ini.

Art pun terdiam cukup lama. Ia bingung harus menjawab apa. Ia tidak mungkin secara terang-terangan menyatakan tujuan dirinya ke sini. Otaknya pun berputar berusaha mencari alasan paling rasional diantara banyaknya alasan yang berenang di kepalanya.

"Belum." jawabnya pada akhirnya. Setelah mengeluarkan satu kata tersebut, ia pun menyumpah serapahi dirinya karena merasa jawaban yang ia lontarkan itu sangat tidak baik dan jauh dari apa yang sudah ia pikirkan di dalam kepalanya sedari tadi. Jawaban itu juga membuatnya terdengar sedikit kasar.

Ia bisa melihat reaksi yang sedikit terkejut dari laki-laki bertubuh jangkung di depannya itu. Ia menaikan dan membenarkan posisi kacamatanya yang agak menurun lalu menarik nafas perlahan.

"I mean... Iya, belum reservasi. Aku penghuni lama." ucapnya setelah menghela nafasnya sambil berusaha tersenyum untuk mengurangi kecanggungan yang ia bangun sedari tadi.

Laki-laki itu pun sedikit terkejut namun di saat yang sama ia juga cukup antusias. Terlihat dari kedua alisnya yang terangkat ketika mendengar kata 'penghuni lama'.

"Kalau begitu kau pasti mengenal Ibuku." ucapnya seraya berjalan keluar dari meja resepsionis tempat ia berdiri sejak awal sambil tersenyum ramah kepada Art.

"Ibumu?" gumam Art jelas bingung. Ia pun mulai menerka-nerka siapa gerangan. Nama seseorang pun terlintas dari benaknya. "Betty?" lontarnya sedikit ragu dan dibalas dengan senyuman dari laki-laki itu.

Laki-laki tersebut pun mengangguk. "Biarkan aku memperkenalkan diriku. Aku Bernando. Orang-orang memanggilku Ben. Dan ya, benar, Betty adalah Ibuku. Pemilik air bnb ini."

"Sudah ku duga kau pasti mengenalnya. Dan kau adalah...?"

"Art." jawab Art memperkenalkan dirinya.

"Art? Hmm, sebuah nama yang tidak asing. Aku yakin Ibuku pernah menyebut namamu beberapa kali sehingga itu terdengar cukup familiar di telingaku." balas Ben dengan fakta yang membuat Art sedikit penasaran.

Apa yang Betty ceritakan kepada Ben mengenai dirinya? Ini hal yang cukup menarik mengingat Art sempat berhenti bergabung di jamuan makan malam setiap hari Jumat dengan penghuni lainnya. Itu artinya Betty seharusnya tidak mengetahui banyak hal mengenai dirinya.

"Seperti?" tanya Art kepada Ben yang dibalas dengan wajah yang kebingungan.

"Seperti apa, maksudnya. Seperti apa yang Ibumu ceritakan tentang diriku?" jelas Art kepada Ben.

"Entahlah. Itu sudah lama sekali," balas Ben diikuti dengan air wajahnya yang berubah menjadi muram. Menyadari perubahan itu Art pun bertanya, "Kenapa?"

"Ia meninggal dua tahun yang lalu. Serangan jatung. Dan aku selalu berada di luar kota sehingga tidak banyak menghabiskan waktu dengannya. Ia selalu bilang bahwa keinginan terakhirnya adalah membiarkan air bnb ini untuk tetap ada." ucap Ben menjelaskan mengenai Betty kepada Art.

"Aku turut berduka cita." kata Art berbela sungkawa yang dibalas dengan kibasan tangan dari Ben yang berarti 'tidak apa-apa'.

"Dia sangat memperhatikan setiap penghuninya dan menganggap mereka seperti keluarga. Mungkin ia merasa kesepian karena anaknya selalu berada di luar kota." lanjut Ben.

"Aku yakin setiap penghuni merasakan kehangatan yang Betty berikan kepada kami." ucap Art sambil tersenyum dan menepuk-nepuk pundak Ben secara perlahan.

Merasa bahwa mereka mulai membangun suasana yang melankolis, Ben pun menepisnya dengan memulai topik yang lain. "Omong-omong, dulu kau tinggal di kamar nomor berapa?"

"15. Kenapa memangnya?" jawab Art polos nan enteng.

Ben pun menggeleng. "Ada seorang penghuni lama yang pergi dengan meninggalkan seluruh barangnya."

"Ia pergi ketika Ibuku meninggal. Tepat 2 tahun yang lalu. Ia pergi tanpa pamit, seluruh penghuni lainnya tidak ada yang pernah tahu kemana perginya penghuni itu." Hal ini membuat Art penasaran sekaligus gelisah. Ia seperti sudah bisa menebak siapa penghuni yang pergi itu. Namun, ia tidak berharap nomor unit yang ada di benaknya itu sama dengan nomor unit yang akan Ben lontarkan.

Ia tidak siap menghadapi ini. Ia hanya bisa berharap bahwa itu bukan laki-laki tersebut. Laki-laki yang selalu memiliki tempat spesial di hati Art selama ia tinggal disini.

"Ia tinggal di unit berapa?" Akhirnya Art menanyakan pertanyaan itu.

Jangan delapan belas, jangan delapan belas.

"18." ucap Ben yang berhasil membuat jantung Art seraya berhenti berdetak. Ia tak bergeming. Ia benar-benar tidak mengharapkan nomor unit itu yang menjadi jawaban dari pertanyaannya. Ia tidak siap menghadapi apa yang akan terjadi ke depannya.

Di satu sisi, keingintahuannya meningkat. Ia penasaran apa yang membuat laki-laki itu pergi dengan meninggalkan seluruh barang-barangnya. Dan kemana dirinya pergi?

Setelah berusaha menyadarkan dirinya, ia melihat tangan Ben yang melambai-lambai dengan kencang tepat di depan matanya. Ben berusaha menyadarkannya. Ia bak dilempar ke semesta ke tujuh.

"Hey, apa yang terjadi? Kau seperti baru saja melihat hantu." canda Ben ketika Art sadar.

"Tidak. Itu bukan apa-apa." jawabnya sambil terkekeh karena sedikit merasa jengah.

"Ah, iya. Kalau tidak keberatan, apakah aku boleh..."

"Masuk ke unit 18?"

🎨

Hallo semua. Kritik dan saran sangat kubutuhkan untuk membuat kalian, para pembaca, lebih nyaman dan bisa semakin menikmati karyaku. Jika menyukainya, bisa tekan simbol bintang di bawah ini ya. Dan jangan lupa untuk input cerita ini ke library kamu! Terima kasih banyak <33

—Sincerely, Lou.

When Scars Become ArtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang