"Serius, ini makan malam yang paling menyenangkan setelah aku sampai di Toronto." ungkap Art sambil menepuk-nepuk perutnya yang kenyang itu setelah selesai melahap makan malam bersama barusan.
"Bagaimana dengan spaghettiku?" tanya Arlo yang seperti tidak setuju dengan ungkapan Art barusan.
"Well, itu enak, namun tidak menyenangkan. Karena hanya kita berdua yang menikmatinya." jawab Art yang mengambil jawaban aman agar tidak menyinggung kedua belah pihak.
"Jadi kau mengakui bahwa spaghettiku enak?" tanya Arlo yang mengambil kesempatan untuk meminta validasi dari Art lagi.
Art pun berdecih, "Dasar. Bisa-bisanya."
Mereka pun tertawa bersama. Perut yang kenyang memang mendatangkan kebahagiaan.
Mereka sedang duduk di atap bersama, memandangi langit Toronto di malam hari. Banyak sekali bintang gemerlapan yang terlihat di langit Toronto, sangat berbeda dari kota tempat tinggalnya.
"Kau sudah berapa lama tinggal disini?" Art pun mengawali topik. Sangat amat disayangkan jika mereka melewatkan sesi night deep talk dengan suasana atap yang sangat mendukung saat ini.
"Jawabannya tidak bisa diberikan secara cuma-cuma tentunya," jawab Arlo yang langsung dibalas dengan ketidakterimaan Art.
Sebuah ide pun muncul dalam diri Art, "Bagaimana kalau kau menceritakan ceritamu, lalu aku menceritakan punyaku?"
Arlo menggeleng, "Tidak tertarik." ucapnya sambil tertawa mengejek Art.
Art pun mendengus mendengar jawaban dan tawa Arlo.
"Memangnya apa yang menarik dariku, Art? Percayalah, kau akan menyesal jika mengetahui keseluruhan bukunya. Tidak menarik." jelas Arlo masih sambil menatap langit malam Toronto yang dipenuhi bintang yang indah itu.
Art pun menatap Arlo yang sedang memandangi langit malam yang indah itu. Fitur dan figur wajah Arlo ia telusuri secara detail. Ia tersenyum.
Entahlah. Hanya dengan menatap laki-laki itu saja sepertinya suasana hatinya bisa menjadi sangat tentram. Seolah ia tidak sedang berada di dunia ini. Ia aman dari dunia ini.
Bahkan tanpa berusaha sekali pun, dirimu saja sudah sangat menarik bagiku, Arlo.
🎨
Scar melempar jacket kulit yang sedari tadi menjaga kehangatan tubuhnya itu keatas tempat tidurnya secara asal. Ia duduk di sofa kecil yang berada di seberang tempat tidurnya lalu menghela nafas gusar.
Ia memijat pelipisnya perlahan dan melepaskan kacamatanya; berusaha berpikir jernih dan me-reka ulang kejadian yang baru saja terjadi.
Selama 6 tahun berteman dengan Art, mereka belum pernah sekali pun bertengkar seperti ini. Art pun juga tidak pernah membentaknya sampai hampir menangis seperti tadi.
Ia merasa kacau.
Apa yang harus ia lakukan? Minta maaf? Ah, itu terlalu biasa. Begitu pikirnya.
Scar pun menyenderkan kepalanya ke sofa empuk tersebut sebelum akhirnya nama seseorang terlintas dalam pikirannya.
Dengan cepat, ia langsung menekan nomor milik nama tersebut dan menelfonnya.
🎨
"Gua bisa ngerti perasaan Art. Tapi gua percaya, lu bisa lebih mengerti, Scar. Apalagi lu udah sahabatan sama dia jauh dari sebelum kita ketemu," ucap gadis bersurai hitam panjang itu sambil menatap mata berwarna coklat gelap milik laki-laki yang tengah duduk di depannya itu.
"Gini, gue engga ada maksud sama sekali menyinggung perasaan dia. Gue cuman mau bantu dia," jawab Scar menyergah pernyataan perempuan itu barusan.
"Lu sendiri yang bilang kalau Art itu sangat mandiri. Jelas banget kalau dia ngga mau ngerepotin lu yang notabenenya sahabatnya. Walau sebenarnya main problem kalian disini adalah salah paham aja sih, Scar." gadis itu berusaha memberi saran dengan sangat objektif. Saran se-netral mungkin.
"Tapi atensi gue engga salah, 'kan?" tanya Scar sambil menatap gadis itu.
"Iya kan, Poems?" ulangnya lagi ketika tak mendengar ada jawaban.
Poems hanya bisa menghela nafas lalu menyeruput es leci yang ia pesan itu.
"Belum tentu apa yang lu rasa benar, terasa benar juga buat dia, Scar."
"Jadi, sekarang, mending samperin Art. Terus minta maaf, bilang lu ngga maksud nyinggung perasaan dia begitu." ucap Poems final kepada Scar.
"Oh, ya. Jangan lupa bawain dia yang manis-manis juga. Dia suka makanan manis, 'kan?" katanya lagi menambahi ucapannya barusan sambil tersenyum.
Saran dari Poems barusan berhasil membuat Scar mengangguk dan juga tersenyum. Ia datang ke orang yang tepat. Orang yang sangat bisa ia andalkan dalam setiap keadaan.
"Appreciate it, Poems. Thanks." ucap Scar berterima kasih kepada perempuan itu sambil tersenyum.
Akhirnya ia bisa sedikit lega. Pertengkaran dengan Art pagi tadi benar-benar membuat dia hampir kehilangan akal sehatnya. Ini pertama kalinya ia bertengkar dengan Art, jadi ia merasa sangat asing dengan keadaan ini.
Beruntungnya ada Poems yang siap sedia membantu.
🎨
Hallo semua. Kritik dan saran sangat kubutuhkan untuk membuat kalian, para pembaca, lebih nyaman dan bisa semakin menikmati karyaku. Jika menyukainya, bisa tekan simbol bintang di bawah ini ya. Dan jangan lupa untuk input cerita ini ke library kamu! Terima kasih banyak <33
—Sincerely, Lou.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Scars Become Art
RomanceAlarta Faith. Biasa orang-orang mengenalnya dengan panggilan 'Art'. Personanya tak seunik namanya. Cenderung biasa saja. Sepanjang hidupnya, Art selalu menjadi ekor Scar yang membuntuti kemana pun Scar pergi. Hal ini Art lakukan semata-mata karena i...