LIMA - Can we?

1.1K 108 2
                                    

Mata gadis itu memejam nyenyak. Nampaknya kantuk sudah melahapnya. Ia terlihat sangat tenang, nafasnya terdengar teratur. Berbeda dengan Nara yang saat ini tengah dilanda kebingungan, lantaran ia tidak mungkin membawa pulang Kala dengan kondisi seperti ini. Tidak ke rumahnya, tidak juga ke rumah gadis itu. Dua-duanya hanya akan membawanya ke malapetaka.

Biasanya keduanya melewati persiapan jika ingin melakukan acara mabuk-mabukan. Biasanya mereka memilih timing dimana orangtua mereka sedang tidak dirumah. Sebenarnya, bisa saja menitipkan Kala dirumah Gittya. Tapi, entah mengapa rasanya tidak tenang melepas Kala begitu saja. Terlebih, ulah Gittya lah yang menyebabkan gadis disebelahnya ini mabuk sampai tertidur seperti sekarang.

Tidak ada jalan lain, Nara perlu bantuan seseorang kali ini.

"Bro, dimana?". Ujarnya setelah menelpon Dizar.

Dizar sepertinya sudah tidur, suaranya terdengar berat.

"I need your help..". Cicit Nara.

Disebrang sana, Dizar menghela nafas. Ia tahu adiknya ini tengah dilanda keadaan yang mendesak.

"Kala mabok berat. Gue ga mungkin bawa balik kerumahnya, ga mungkin bawa kerumah juga. Gue pinjem apart lo dong, malem ini aja. Lo dirumah kan? Biar nanti dia tidur disitu". Pinta Nara.

Gumaman terdengar di telinga Nara, nampaknya Dizar berupaya menasehati. Tapi, ia tahu ujung-ujungnya kakaknya itu akan luluh juga.

"Ya iyalah gue nginep juga. Masa gue tinggalin dia disitu sendirian. Tar panik dia bangun-bangun di apartemen lo". Jawab Nara.

Dizar nampaknya kembali bergumam merespon ucapan adiknya lagi.

"Nggak lah ngaco, kalo mau ngapa-ngapain udah dari dulu. Ini serius dia udah tidur di mobil, gue lagi dijalan kerumah. Nanti lo turun ke bawah aja kasih access cardnya ke gue". Lanjut Nara.

Lima belas menit kemudian, Nara tiba ke rumahnya. Ia segera mengirimkan pesan ke Dizar untuk turun menemuinya.

Dizar muncul tak lama dari itu, menggunakan setelan kaos dan celana pendek. Nara segera turun dari mobil dan menemui kakaknya itu.

"Thanks ya, Bro. Kalo gue dicariin, bilang aja gue nginep dirumah temen". Ujar Nara.

"Iya udah dek gampang, jangan aneh-aneh lo ya berdua". Pesan Dizar singkat.

"Beres". Jawab Nara singkat.

Kemudian ia beranjak kembali ke mobil, dan melajukannya cepat.

———

"Kal.. Bangun". Panggil Nara pelan.

Mata gadis itu mengerjap, perlahan terbuka menatap lelaki disebelahnya yang kini tengah menatap pula kearahnya. Kepalanya berdenyut hebat, menyebabkan dahinya spontan berkerut.

"Bisa jalan gak? Jalan sedikit keatas ya". Ujar Nara lagi.

Lelaki itu kemudian hilang dari pandangannya. Seluruh tubuh Kala terasa seperti jelly, tidak mampu bergerak terlalu banyak. Tak lama, ia rasakan pintu disebelahnya terbuka, menampilkan Nara yang kemudian meraih tangannya dan membantunya untuk duduk.

"Nanti senderin aja kepalanya di gue kalo berat, ini kita di apartemen Dizar. Jadi perlu jalan sedikit buat ke kamarnya ya". Ujar lelaki itu.

Dengan sekuat tenaga, Kala berupaya mengangkat tubuhnya untuk turun dari mobil. Segera setelah kakinya memijak tanah, langkahnya limbung. Nara dengan sigap melingkarkan tangannya di pinggang Kala, menahan gadis itu agar tidak terjatuh.

Kepala gadis itu otomatis bersender pada dada Nara. Dengan bersusah payah, keduanya berjalan menuju ke lift. Segera setelah pintu lift terbuka, keduanya melangkah masuk.

"Tutup matanya, biar gak pusing". Nara berucap, ia merengkuh Kala dalam pelukannya. Pelukannya dipinggang gadis itu mengerat, seakan tidak mau melepasnya.

Dengan jarak sedekat ini, Kala bisa mencium aroma parfum lelaki yang mendekapnya ini. Maskulin. Ia candu akan aroma ini, tidak perduli berapa lama ia sudah menghirupnya.

Suara lift berdenting. Mereka sudah tiba ke lantai yang dituju. Dengan bersusah payah Kala menyeret langkahnya mengikuti Nara, meskipun lelaki itu tetap memapahnya sepanjang jalan.

Nara menempelkan access card hingga pintu terbuka, dan membawa Kala untuk masuk. Suasana didalam apartment itu gelap, wajar karena sudah berapa lama Dizar tidak datang kesini.

Ditengah kegelapan, Nara memapah gadis di pelukannya untuk masuk ke kamar dan mendudukannya di kasur. Nara kemudian bergegas untuk menyalakan lampu yang langsung disambut oleh rengekan gadis itu.

"Silau. Matiin aja". Rengek Kala.

Mengalah, Nara kembali mematikan lampu dan memutuskan untuk menyalakan lampu nightstand di atas nakas. Dengan teliti ia kemudian melepaskan sneakers yang Kala kenakan.

"Mau ganti baju nggak? Gue ada kaos". Ujar Nara menawarkan.

Gadis itu menggeleng, ia kemudian menjatuhkan dirinya ke kasur. Hoodie yang ia kenakan terangkat hingga menampilkan celana jeans pendeknya beserta dengan perutnya. Gadis ini adalah cobaan. Kala memang sahabatnya, tapi Nara adalah laki-laki normal di usia yang cukup dewasa.

"Nar, sini. Tidur sama gue". Rengek gadis itu lagi.

Mungkin, jika kondisinya tidak seperti ini, otak Nara tidak akan berpikiran kemana-mana. Ditambah suasana remang-remang dari penerangan seadanya dari kamar ini, rasanya sulit untuk bisa berpikir jernih.

"Gue tidur didepan aja ya. Lo tidur sini. Tar kalo pusing panggil gue aja". Ujar Nara.

Gadis itu bangkit dari tidurnya, di penerangan yang temaram ini, matanya terlihat berkaca-kaca. "Kok lo gak mau tidur bareng gue lagi? Kenapa, Nar?".

Rasanya sulit mengatakan alasan kenapa ia tidak mau tidur di ranjang yang sama dengan gadis itu. Entah mengapa tapi saat ini otaknya sedang tidak bisa berpikir dengan benar.

"Yaudah, gue tidur didepan juga bareng lo". Cicit Kala.

Menghadapi Kala yang sedang mabuk memang kadang membuatnya kewalahan. Gadis itu akan berubah menjadi makhluk yang manja, clingy dan tidak mau lepas tatkala pikirannya dikuasai alkohol.

Nara menghela nafas, kemudian duduk di ranjang, menatap gadis di hadapannya. "Udah tidur, gih. Masih pusing kan? Gue tungguin disini sampe lo tidur".

Tangan gadis itu meraih kearahnya. "Sini, tidur sini, Nara".

Sial, kepala Nara berdenyut menghadapi situasi ini. Ini kali pertama ia menghadapi Kala yang bersikap seclingy ini padanya. Biasanya gadis itu hanya akan menempel kepadanya sesaat dan mengendusnya, kemudian tidur sampai pagi. Tapi kali ini, sungguh. Kala benar-benar menguji kesabarannya sebagai laki-laki.

Pada akhirnya lelaki itu mengalah dan meraih tangan Kala. Ia kemudian bergerak untuk berbaring di sebelah gadis itu yang langsung bergelung manja di pelukannya.

Nara mengelus puncak kepala Kala pelan, berharap dapat mengantarkan gadis itu secepatnya ke alam mimpi. Tapi mata gadis itu masih bulat menatapnya.

"Tidur". Ucap Nara.

Gadis itu hanya menatapnya tanpa berbicara apapun. Tatapan Nara menyapu wajah Kala, mulai dari kedua mata bulatnya, hidung kecilnya, pipi tembam kemerahannya, hingga ke bibirnya.

Tatapan Nara seperti tidak bisa bergerak dari bibir itu. Bohong jika ia tidak pernah berpikir bagaimana rasanya bibir itu jika bertemu dengan miliknya. Tapi selama ini, ia hanya berharap perasaannya tertutupi, bahkan terkubur dan tidak pernah terlihat.

"Nar..". Panggil Kala.

"Hmm?".

"Can we..". Pinta Kala terputus.

Nara menatapnya dengan tatapan bertanya. "Can we what?".

"Can we kiss?". Cicit gadis itu.

———

JIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang