Keduanya kini terdiam. Sibuk memproses pikiran masing-masing. Bagi Nara, sudah tidak ada kata mundur. Ia tidak bisa lagi menarik kata-kata yang sudah terucap. Biarlah, jika memang habis ini Kala membencinya, ia tidak apa.
"Maksudnya mau lebih tuh gimana Nar?". Tanya Kala, menatap lurus tepat ke mata Nara.
"Harusnya lo udah ngerti, Kal, apa maksud gue". Jawab Nara singkat.
"Are you confessing to me?". Desak Kala, menatap tak percaya kearah lawan bicaranya.
Nara mengangguk mantap. "Yes".
"Wow..". Ucap Kala, tangannya berupaya melepas genggaman mereka.
Namun Nara menahannya. Malah, lelaki itu memindahkan genggaman mereka ke pangkuannya. mengelus punggung tangan Kala dengan jemari tangannya yang lain.
"Jangan dilepas, biarin kayak gini sebentar aja". Ucap lelaki itu.
"Nara, you just confessed to me. This is weird. Kenapa?". Kala kembali berbicara.
"Kenapa apanya?".
"Kenapa sekarang? Kenapa gue? Kita temenan udah puluhan tahun, Nar. Gak mungkin kan lo nyimpen perasaan sama gue dari lama?". Mata Kala menatap dalam kearah lawan bicaranya, berusaha mencari jawaban.
Nara hanya menatapnya balik, menjawab dengan tanpa berbicara.
"Seriously?". Kala kembali bertanya ketika ia mendapatkan gestur jawaban dari Nara.
"Gue sendiri gak tau sejak kapan, Kal. Yang jelas one day, perasaan itu tumbuh. Gue ngeliat lo udah beda. Udah cukup lama juga gue mendam, berharap perasaan ini hilang. Tapi, bukannya hilang, malah makin meluas. Setiap hari gue bangun dan berharap lo sadar. Tapi rasanya lo gak akan ngeh kalo gue gak sampein langsung". Jelas Nara.
Tatapan Kala seakan kosong. Ia seperti tak tahu apa yang harus diucapkan, kata-kata seperti terserap dari tenggorokannya.
"Gue tau, ini terlalu tiba-tiba. Tapi, gue takut, Kal. Takut nyesel kalo gue gak pernah nyampein ini langsung ke lo". Tambah Nara.
"Nara... I really don't know what to say. Really". Cicit Kala.
"It's okay. I know this is too much". Jawab Nara.
Nara menatap dalam kearah Kala yang kini seperti tengah hilang arah. Berusaha mengambil fokusnya kembali.
"Kal, tapi... Ada gak.. Sedikit aja.. Perasaan buat gue?". Nara bertanya dengan suara pelan, pelan sekali.
Airmata Kala sudah terbendung di pelupuk matanya, seperti memaksa ingin keluar. "Nara...".
"It's okay, please be honest with me. Nothing will change between us". Ucap Nara menenangkan.
"You wanna know the truth? Sadly... No. I mean, Nara, I do love you, I do love you so much. But as a friend, as someone who grew up together with me.. Not as.. Lovers". Jelas Kala, airmata mulai jatuh ke pipinya.
Suara retaknya hati Nara terdengar pilu begitu kencang. Rasanya seluruh tulang dalam tubuhnya meluruh, ia seakan tidak mampu lagi berpijak di bumi. Tapi dipaksakan seutas senyum di wajahnya, sembari jemarinya menelusuri wajah Kala, menghapus jejak airmata yang mulai mengering.
"Nara, I wish I could.. But, all these times. I only look at you as a friend, a brother, a savior, a soulmate. Whatever it is, but not as someone I fell in love with". Tambah Kala, semakin membuka lebar luka di hati Nara.
Nara kemudian membawa gadis itu dalam pelukannya. Tangisan Kala pecah tatkala dirinya berada dalam rengkuhan lelaki itu.
"Ssh.. It's okay, it's not your fault. Salah gue karena jatuh cinta sama lo. Bukan salah lo. Gak seharusnya gue mengharapkan lebih". Ucap Nara menenagkan.
Tangisan Kala semakin pecah. Bahunya bergerak hebat, airmata sepertinya tidak akan berhenti keluar dari pelupuk matanya. Nara mengelus punggung gadis itu pelan, memberi afeksi, berupaya menenangkannya. Tak lupa ia juga mengecup puncak kepala gadis itu.
Setelah dirasanya Kala mulai tenang, Nara melepas pelukannya perlahan. Matanya menangkap gadis di hadapannya terlihat berantakan. Matanya bengkak, airmata masih membasahi kedua ujungnya. Hidungnya merah karena menangis, raut wajahnya begitu pilu dan menyedihkan.
"Hey, udah. Maaf ya, jadi nangis". Bisik Nara.
Ia kemudian membawa wajah mereka mendekat, dan mempertemukan kedua kening mereka. Mata keduanya otomatis terpejam.
"Setelah ini, jangan ada yang berubah dari kamu. Anggep malam ini gak pernah ada. Tapi izinin aku berusaha, mencintai kamu lebih lagi dari sebelumnya. Soal kamu akhirnya bisa cinta sama aku atau nggak, biarlah nanti waktu yang jawab. Yang jelas, aku mau perjuangin kamu". Ucap Nara lagi, lembut. Begitu lembut.
Tanpa sadar lelaki itu juga merubah panggilan aku-kamu dalam seketika. Membuat satu ruang di hati Kala menghangat.
"Jangan jauhin aku, jangan musuhin aku. Aku gak bisa. Biarin aku tetap ada di deket kamu, biarin aku berjuang sendiri. Kasih aku kesempatan. Kamu gak perlu janjiin apa-apa. Gak perlu perjuangin apa-apa. Cukup jangan pergi dari aku". Lanjut Nara, suaranya bergetar.
Airmata kembali menghampiri kedua pipi Kala. Gadis itu hanya mengangguk mengiyakan. Sungguh, hatinya sakit tak karuan membayangkan betapa hancurnya perasaan Nara.
"Udah jangan nangis lagi. Nanti cantiknya luntur". Kembali Nara berucap, diakhiri dengan kecupan di kening Kala.
"Aku anter pulang ya.. Tapi janji, jangan dipikirin lagi yang tadi. Anggep malem ini gak pernah terjadi ya". Nara mengelus pipi merah Kala halus, seperti khawatir gadis itu akan rapuh dan hancur. Gadis itu hanya mengangguk.
Padahal, bicara hancur, hati Nara-lah yang sedang hancur berantakan saat ini. Mimpi buruknya selama ini akhirnya menjadi realita. Tapi, Nara tahu. Ia setidaknya masih bisa berjuang. Ia bahkan lega Kala tidak benci kepadanya, dan bahkan mengizinkannya berjuang lebih lagi. Yang penting, mulai detik ini ia tak perlu lagi menutup-nutupi ataupun menahan diri untuk menunjukkan rasa cintanya.
———
Nara memarkir mobil didepan pagar Kala, seperti biasa lelaki itu akan turun dan berpamitan dengan Ibu-nya Kala. Segera setelah mobil dimatikan, Nara beranjak untuk turun, bermaksud membukakan pintu di sisi Kala. Namun, tangan gadis itu mencekalnya.
Mata Nara menatap kearah pergelangan tangannya yang digenggam erat oleh Kala. Kemudian matanya perlahan bergerak melihat bagaimana gadis itu kini menatap sembari mengigit bibir mungilnya.
"Nanti dulu". Cicit Kala.
Nara menuruti dan mendengarkan.
"Lo.. Beneran gak apa-apa?". Cicit Kala lagi.
"Aku? Nggak apa-apa". Ralat Nara.
Rona merah timbul menghiasi pipi Kala. Ia kemudian menyembunyikan wajahnya dibalik kedua telapak tangannya.
"Malu". Gadis itu kembali bercicit.
"Malu kenapa?". Tanya Nara, gemas. Perlahan ia singkirkan tangan yang menutupi wajah itu.
"Kamu.. Berubah. Aku malu". Gadis itu menambahkan, wajahnya total merah.
Nara tersenyum mendengarnya. Dicubitnya gemas pipi kemerahan itu. "Kan aku lagi berjuang.. Semangatin dong".
Kala balik tersenyum, ia mengambil tangan Nara yang masih menempel di pipinya dan menggenggamnya. "Makasih ya udah mau ngerti. Semangat, Nara".
"Aku pingsan nih". Ledek Nara gemas total.
"Jangan".
"Ya makanya jangan manis-manis gitu dong. Nanti pingsan aku".
"Jatuh cinta bikin kamu jadi lebay ya?".
Kala kembali mengulum senyum. Entahlah bagaimana kedepannya, yang jelas biar bahagia ini menyelimuti hatinya. Meski perjalanan keduanya masih panjang untuk bersama, tapi biarlah. Toh, yang penting Kala sudah tau perasaan lelaki itu, urusan perjuangan mengajarkan cinta pada Kala biarlah menjadi bagian Nara nanti.
———
KAMU SEDANG MEMBACA
JIWA
RomanceAku sudah pernah bilang, kamu boleh pergi jika kamu lelah. Tidak apa. Jika bersamaku memang menyiksamu, lepaskan saja. Tidak apa. Tapi ingat, pergilah ke tempat yang bisa ku tuju. Ingatlah untuk menarikku kembali, bersamamu. Karena jiwa kita sepasa...