Nara pulang pagi sekali, menjelang subuh. Ia pulang dalam kondisi setengah sadar, aroma alkohol menyeruak dari badannya. Langkahnya gontai menuju ke kamar. Pikirannya kalut, tapi saat ini ia lebih tidak bisa berpikir.
Dibukanya pintu kamarnya, aneh. Kenapa aroma kamarnya jadi manis begini, wanginya familier. Tiap lelaki itu melangkah, kepalanya berdenyut. Dilepasnya sepatu yang ia kenakan, untuk selanjutnya menyingkap selimut di kasurnya. Matanya kaget menatap seorang perempuan yang ia yakini sebagai Kala meringkuk memejamkan matanya.
Apa yang gadis itu lakukan di sini?. Kenapa Kala seperti hadiah dari surga, tiba-tiba ada di kasurnya, tertidur dan tak menyadari kehadiran Nara. Kepala Nara kembali berdenyut. Ia tidak peduli, dibawanya tubuhnya masuk berbaring kedalam selimut.
Aroma manis familier itu terasa kian dekat, Nara positif yakin ini adalah mimpinya. Ia sedang memimpikan Kala ada di sampingnya, tidur bersamanya. Oleh karena itu, Nara melingkarkan tangannya ke tubuh gadis itu yang sedang membelakanginya. Dirapatkannya tubuh mereka hingga suhu tubuh gadis itu seakan mengalir pada kulitnya. Tangan Nara memeluk pinggang Kala, hidungnya sibuk menghirup aroma gadis itu dari dekat.
Hidung Nara bergerak ke ceruk leher gadis itu, masih mengirup dalam aroma manis yang ia temukan. Denyutan di kepalanya melemah, perlahan berganti dengan kehangatan dan rasa nyaman. Tanpa sadar nafasnya mulai teratur, ia jatuh makin dalam, dan akhirnya tertidur sambil memeluk Kala yang sejak tadi masih belum terjaga.
Kala mengerjap beberapa kali dan terbangun saat ia merasakan geli di tengkuknya, seperti ada angin yang bertiup disana. Butuh waktu beberapa detik untuk menyadari ada tangan yang melingkar di pinggangnya secara posesif. Dilihatnya tangan itu menggenggam tangannya secara otomatis dalam tidurnya.
Kala refleks menoleh dan menemukan Nara yang sedang tertidur, wajahnya begitu damai. Aroma alkohol menyeruak dari baju yang lelaki itu gunakan, membuat Kala menyerngit. Matanya mengedar ke jam yang berada di nakas. 4.00 AM. Sudah berapa lama mereka tertidur bersama? Entahlah.
Kala memutuskan untuk tidak ambil pusing. Biarlah nanti ia berpikir lagi, sekarang biarkan ia merasakan kenyamanan yang Nara berikan. Dibawanya punggung tangan Nara untuk dibubuhi kecupan. Dalam hatinya, Kala bersyukur Nara pulang kepadanya, bahkan memeluknya erat dalam tidurnya. Kembali dipejamkannya mata yang masih terasa berat itu. Gadis itu kembali tertidur.
———
Nara perlahan sadar dan membuka matanya, hidungnya terasa geli, seperti ada yang menyentuhnya sejak tadi. Matanya berfokus pada jari yang sedang bermain-main di batang hidungnya, menyusuri seperti membuat jejak. Gerakan itu lalu berhenti, saat dilihatnya sang empunya sudah bangun.
Nara melihat kearah sang pemilik tangan, menatap kearahnya dengan kikuk. Otaknya masih memproses pemandangan di depannya. Masih bermimpikah dia? Melihat seorang gadis berparas cantik ada di ranjangnya bersama dengannya di pagi buta begini?.
Wajah itu sepertinya familier, pikir Nara. Mata Nara mencoba lebih fokus menatap, membuat gadis yang ditatap merona pipinya. Gadis itu belum mengucapkan sepatah kata pun, hanya bibirnya terbuka seperti ingin berucap. Namun tidak ada suara yang terdengar.
"Kala?". Panggil Nara.
Gadis yang sekarang ia yakini sebagai Kala itu menggigit bibirnya.
"Beneran kamu nggak sih?". Kembali Nara bersuara, meminta validasi.
Kala mengangguk kecil, wajahnya terlihat takut-takut. Gadis itu sungguh menggemaskan.
"Berarti semalem bukan mimpi? Kamu beneran tidur disini?". Nara kembali bertanya.
Kala lagi-lagi hanya mengangguk.
"Kok bisa tidur disini?". Nara kembali mencecarnya.
Gadis itu menggigit bibirnya lagi. Seperti takut akan reaksi yang akan ia dapatkan selanjutnya. "Semalem, aku nungguin kamu pulang. Terus karena udah kemaleman, Mama kamu nyuruh aku nginep aja, tidur di kamar kamu, disini".
Kepala Nara berdenyut saat mendengarkan penjelasan Kala. Efek alkohol sepertinya baru menggerogotinya pagi ini.
"Kamu.. Semalem kemana, Nara?". Cicit Kala.
Nara menutup matanya dengan lengan kanannya, ia berucap dengan nada tinggi. "Bukan urusan kamu".
Jantung Kala seakan berhenti sebentar. Ini bukan Nara-Nya. Nara yang ia kenal tidak akan meninggikan nada bicaranya pada Kala.
"Nara, maaf.. Aku kesini sebenernya mau jelasin semuanya sama kamu. Soal kemaren". Ucap Kala mencoba menjelaskan.
Belum selesai gadis itu berbicara, Nara sudah memotongnya. "Gak perlu. Aku gak mau tau".
Tenggorokan Kala terasa tercekat. Lidahnya kelu, sekali lagi luka terasa menyambar jantungnya. Matanya terasa panas, takut airmata akan jatuh tanpa disadari.
Nara memutuskan untuk bangkit dari tidurnya, kepalanya masih berdenyut hebat. Digenggamnya kepala itu dengan kedua tangannya, rasanya seperti mau pecah. Kala yang menyadari kondisi itu segera ikut bangkit.
"Kamu kenapa? Kepalanya sakit?". Tanya Kala sembari mengelus punggung Nara pelan.
Nara tak menjawab, hanya menundukkan wajahnya dan menjambak rambut ikalnya. Sakit kepalanya sedang tidak bisa diajak kompromi sedikitpun.
"Aku ambilin obat sama air ya, sebentar". Ujar Kala sembari berjalan keluar kamar.
Tak lama ia kembali dengan segelas air dan painkiller di genggaman tangannya. Ia menepuk bahu Nara pelan dan menyodorkan keduanya. Nara yang sedang dalam kondisi kurang prima itu menuruti, menenggak obatnya dan meminum habis air di gelas yang Kala berikan.
"Kamu tidur lagi aja ya, istirahat. Nanti bangun tidur baru makan". Ucap Kala pelan.
Nara menatap Kala yang hendak berjalan keluar kamarnya, namun ia menahan pergelangan tangan gadis itu. "Mau kemana?".
"Turun. Mau cek dibawah udah ada makanan belum buat kamu, kalo belum biar aku masakin kamu sarapan". Jawab Kala.
"Gak usah. Disini aja, gak usah kemana-mana". Ucap Nara pelan sembari menghela nafas panjang.
Kala tidak tega melihat kondisi Nara. Ia kemudian duduk di sisi Nara, menatap lelaki itu. "Yaudah, aku tungguin kamu sampe tidur. Kamu istirahat ya".
Nara yang sudah merebahkan badannya itu mengangguk pelan. Kemudian perlahan menutup matanya kembali, lagi-lagi menyambut alam mimpi.
Melihat nafas Nara mulai teratur, Kala menghembuskan nafas lega. Setidaknya untuk sementara lelaki itu kehilangan rasa sakit di kepalanya. Saat dirasa Nara sudah terlelap, ia memutuskan untuk keluar dari kamar Nara.
———
Langkah Kala berhenti saat bertemu dengan Dizar. Lelaki itu nampaknya baru saja selesai mandi, handuk kecil masih bergantung di lehernya. Ia menatap Kala dengan tatapan menyelidik. Dizar sudah mengenal Kala sejak kecil, jadi rasanya sudah seperti bertemu dengan kakak sendiri saja.
Dizar mendekat dan berbisik. "Nara ada di dalem?".
Kala mengangguk mengiyakan. Tatapan Dizar semakin intens.
"Dia semalem tidur disitu juga?". Tanya Dizar dengan masih berbisik, takut terdengar orangtuanya.
"Iya, kayaknya semalem mabuk. Dia gak tau aku tidur disitu". Jawab Kala balik berbisik.
"Lo gak diapa-apain, kan?". Bisik Dizar lagi.
Pipi Kala otomatis memanas. Ia lalu menggeleng cepat. "Enggak".
Dizar mengangguk ragu. Tapi sedetik kemudian ia kembali berbisik. "Yaudah, gini. Nanti kalo Mama atau Papa nanya Nara tidur dimana semalem, bilang dia tidur di kamar gue ya. Jangan sampe keceplosan bilang tidur di kamarnya bareng sama lo. Bisa dipukul dia sama Papa".
Kala meringis mendengarnya. Ia kemudian mengangguk setuju. "Makasih, kak".
Dizar kemudian berlalu, ia berbisik untuk yang terakhir kalinya. "Sama-sama. Bilangin Nara dia utang nraktir gue makan buat backup yang ini".
Kala tersenyum mendengarnya. Kakak-beradik ini memang sering membuatnya iri. Hubungan keduanya sangat erat, rasanya tak perlu ditanya betapa sayangnya Dizar pada adik bungsunya itu. Semua orang disekitarnya pun bisa merasakan.
———
KAMU SEDANG MEMBACA
JIWA
RomanceAku sudah pernah bilang, kamu boleh pergi jika kamu lelah. Tidak apa. Jika bersamaku memang menyiksamu, lepaskan saja. Tidak apa. Tapi ingat, pergilah ke tempat yang bisa ku tuju. Ingatlah untuk menarikku kembali, bersamamu. Karena jiwa kita sepasa...