DELAPAN - Hujan & Malam.

1.1K 97 1
                                        

Sesampainya dirumah Kala, Nara segera memarkirkan mobilnya di depan pagar rumah gadis itu.

"Turun". Ujar Nara tanpa menoleh sedikitpun.

Lelaki itu langsung turun dari mobil, meninggalkan Kala yang masih menatapnya tak percaya. Nara tidak berlaku seperti biasa, membukakan pintu untuknya dan menggenggam tangannya untuk berjalan bersama. Tentu saja tidak, mereka kan sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja, apa sih yang Kala harapkan.

Kala bersusah payah turun dengan masih menenteng eskrim pemberian Nara masuk kerumah. Baru saja masuk, ia sudah disambut ibunya yang bergeleng-geleng kearahnya. Nara sudah lebih dulu masuk, mencium tangan Ibu Kala dan menyampaikan alasan kenapa anak gadisnya tidak pulang semalam.

"Mbok ya kalo nginep dirumah Gittya ngomong, dek. Ibu kan bingung anak ibu ilang semaleman". Omel ibu.

Kala berusaha bertukar pandang dengan Nara, namun lelaki itu masih menghindari pandangannya. Pada akhirnya ia hanya mengikuti skenario yang dibuat Nara tanpa berdiskusi terlebih dahulu.

"Hehe, iya bu maaf.. keasikan nonton drakor sampe lupa ngabarin". Jawab Kala sambil cengengesan.

"Terus itu kok pake baju Nara? Gak pinjem baju Gittya aja?". Tanya ibu lagi.

Raut panik tergambar di wajah Nara, sepertinya skenario rancangannya belum sejauh itu. Tapi tenang, otak Kala tidak kalah kreatif.

"Semalem tidur pake baju Gittya bu, tapi paginya minta Nara bawain bajunya. Lebih enak baju Nara longgar-longgar di adek. Baju Gittya minim semua, sesek". Jawab Kala cuek.

"Owalaah.. Yo wis, nanti cuci bajunya terus balikin ke Nara". Sahut ibu lagi.

"Gak apa-apa bu, biarin aja disimpen. Baju Nara di Kala banyak kalo dibalikin udah kayak pindahan". Celoteh Nara menimpali, membuat ibu tertawa.

"Yaudah bu, Nara cuma mau pamit anterin Kala pulang kerumah aja. Nara pulang yaa, bu". Pamit Nara sembari kembali mencium tangan Ibu Kala.

"Loh kok buru-buru, Nak?. Gak mau makan dulu?". Tanya Ibu.

"Enggak usah, nanti Nara makan dirumah aja. Gak enak kalo nggak ikutan makan sama orang rumah". Jelas Nara, lagi.

Kala diam mengamati, dalam hatinya padahal ia tahu, kalau saja situasi mereka sedang baik-baik saja, pasti Nara akan berlama-lama disini.

"Yo wis, makasih ya nak sudah diantar pulang Kala-nya. Maafin loh, anak ini ngerepotin terus". Ibu menepuk pelan bahu Nara sebagai tanda terimakasih.

"Gak apa-apa bu, gak repot kok. Nara pamit ya". Kembali Nara berpamit pada ibu.

"Kal, pulang ya". Suara Nara memanggil namanya mengagetkan Kala. Ia hanya mengangguk pelan.

Tidak ada usapan pada puncak kepalanya, atau kecupan singkat di dahinya. Hanya ucapan sembari berlalu lah yang ia dapatkan. Kala merasa hampa, seperti ada ruang kosong dalam dirinya.

Ia menyaksikan bagaimana punggung Nara menjauh, masuk ke dalam mobil dan akhirnya menghilang.

Entah, sampai kapan kebisuan ini akan menyelimuti mereka berdua.

———

Tepat dua hari setelah kejadian argumen di mobil, Kala masih saja memutar-mutar perkataan mereka masing-masing di kepalanya. Keduanya masih enggan berkomunikasi, masih sibuk dengan egonya masing-masing. Untunglah saat ini keduanya tengah libur semester, jadi tidak perlu memusingkan diri jika harus bertemu di kampus.

Kala berulang kali mengecek ponselnya, berharap menemukan pesan dari Nara, namun nihil. Lelaki itu bagai hilang ditelan bumi. Mereka pernah bertengkar hebat, tapi biasanya tidak pernah sampai saling diam seperti ini, dan jujur, ini menyiksa.

JIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang