SEMBILAN BELAS - Movie Date.

626 52 1
                                    

Kala sejak tadi memperhatikan Dion yang berjalan di sampingnya. Hari ini, lelaki itu berdandan jauh lebih kasual. Kaus hitam berlengan pendek dipadukan celana jeans biru dan sepasang sepatu hitam merk Docmart. Tak lupa ia juga memakai jam di tangan kirinya, memberi aksen kasual tapi tetap rapi.

Mereka berjalan menuju ke lounge premiere dan duduk di salah satu sofa. Kala memperhatikan sekitarnya, suasana bioskop hari ini cukup ramai. Dion bangkit dari duduknya menuju ke meja ticketing dan mencetak tiket mereka. Lelaki itu tak lama kemudian kembali dan memberikan dua tiket ke Kala.

"Kamu suka popcorn manis atau asin?". Lelaki itu bertanya.

Kala berpikir sejenak. "Aku suka yang manis tapi yang caramel, sih.. Kalo ada".

"Oke. Minumnya mau apa?". Kembali Dion bertanya. Berdiri di hadapannya dan menanti jawaban gadis itu dengan sabar.

"Apa aja deh. Peach tea boleh". Jawab Kala.

Lelaki itu mengangguk dan berlalu menuju ke antrian snack & beverage yang kebetulan sekali kosong. Ia sepertinya memesan beberapa makanan untuk menemani agenda menonton mereka.

Tak lama kemudian, lelaki itu kembali tanpa membawa apapun di tangannya. "Yuk".

"Loh? Gak jadi pesen makanan?". Tanya Kala bingung.

"Jadi. Udah kok. Nanti dianter kedalem, kita masuk aja dulu, yuk. Nunggu didalem". Jawab Dion.

Kala hanya ber-'oh' ria dan bangkit, mengikuti langkah Dion dari belakang dan terlihat kaget saat lelaki itu menarik tangannya dan membawanya untuk berjalan berdampingan.

"Jalan di sebelah saya dong, jangan di belakang. Nanti kalo kamu ilang saya gak tau". Ucap lelaki itu.

Kala mau tidak mau tersenyum, pasrah saat tangannya digenggam tangan Dion yang jauh lebih besar darinya.

Mereka duduk di seat D, tempat yang cukup nyaman dari segi pengelihatan karena jaraknya cukup jauh dari layar dan berada ditengah. Keduanya duduk bersebelahan, merebahkan tubuh di kursi yang cukup nyaman dan mencari posisi terbaik untuk menonton.

Beberapa petugas bioskop datang membawakan makanan yang tadi Dion pesan, yang langsung didistribusikan dengan baik oleh lelaki itu pada Kala. Dua box besar popcorn, dua box cemilan kentang dan sosis dan dua gelas minuman memenuhi meja di sebelah mereka.

Kala terkekeh melihat jumlah makanan yang dipesan Dion. "Kita kayak mau piknik".

"Takut kamu kelaperan pas lagi nonton. Better more than less, kan?". Bisik lelaki itu.

Kala kembali tertawa menanggapinya.

Film pun dimulai, keduanya mulai terlarut dalam sinematografi yang apik. Dion berulang kali membisikkan pendapatnya ke telinga Kala, yang dihadiahi anggukan atau pertanyaan dari gadis itu.

Kala memutuskan untuk mengambil popcornnya dan menjejalkannya ke mulut. Beberapa kali ia sibuk mengambil makanannya ditengah mencerna film tersebut. Sampai tangannya bertemu pada hangat lain yaitu Dion.

Dion sama terkejutnya, di dalam cahaya yang temaram dirasakannya pandangan lelaki itu menatap kearahnya. Seakan tidak merasakan canggung, Dion menggenggam tangan Kala, ibu jarinya mengelus pelan dan membawanya ke pangkuannya.

Kala sontak bingung, hangat yang meliputi jemarinya sekarang seakan menenangkannya. Tapi, ia bimbang. Benarkah ia membiarkan perlakuan Dion ini padanya? Ingin gadis itu menarik tangannya kembali, namun urung. Ia biarkan jemarinya digenggam sedikit lebih lama.

Hampir sepanjang film, Dion tidak memperbolehkan tangan Kala berpisah darinya. Hingga sesaat sebelum film berakhir, lelaki itu akhirnya melepas genggamannya. 
Kala menarik pelan tangannya, berharap rona merah di wajahnya tidak terlihat di kegelapan ini.

Saat lampu sudah kembali menyala, Dion kembali menatapnya. Senyum lelaki itu menghiasi wajah tampannya. "Habis ini mau makan atau mau jalan-jalan dulu?".

Gadis itu berpikir. "Aku belum terlalu laper sih, kayaknya gara-gara udah ngemil ini".

"Yaudah, kita jalan-jalan dulu ya. Kamu gak buru-buru kan?". Putus Dion.

"Engga kok. Kebetulan ada yang mau aku cari juga, nanti boleh mampir beli sesuatu dulu?". Tanya Kala.

"Boleh. Mau jalan sekarang?". Tanya Dion lagi sembari bangkit.

Mereka kembali berjalan berdampingan keluar dari area bioskop. Kala sejak tadi sibuk mengkalkulasi tingginya yang hanya sebatas pundak Dion, lelaki itu memiliki tubuh tinggi tegap yang atletis, membuatnya nampak kecil saat berjalan berdampingan.

Mereka berjalan menuju ke toko buku. Gadis itu langsung berjalan ke satu sudut, seakan sudah hafal. Matanya mengabsen barisan cat dan kuas, seperti mencari sesuatu.

"Kamu suka ngelukis?". Tanya Dion, membuat Kala refleks menoleh kearahnya.

Batin Dion memaki saat dilihatnya Kala menoleh, gadis itu terlalu cantik untuk jadi nyata. Rambut kecokelatannya jatuh sempurna di pundaknya, bibirnya tersenyum manis sekali, gadis itu pasti tidak sadar dirinya tengah membius lawan bicaranya.

"Oh, bukan. Ini bukan buat aku kok". Jawab gadis itu singkat.

"Kamu cari apa memang?". Tanya Dion lagi.

"Hmm, aku lagi cari oil color yang paling lengkap sama kanvas yang ukurannya gak terlalu besar". Jawab Kala sembari memilah-milih kotak cat.

"Saya bantu ya. Walaupun saya gak ngerti sih sama beginian. Tapi siapatau membantu". Ujar Dion.

Kala terkekeh. Mereka akhirnya larut dalam misi pencarian alat lukis yang gadis itu cari. Pada akhirnya, pilihan Kala jatuh pada sekotak cat oil based yang ia rasa paling lengkap dan sebuah kanvas putih yang ukurannya pas, tidak terlalu besar maupun kecil.

Setelah terlebih dahulu menaruh peralatan itu di mobil, keduanya memutuskan untuk mengisi perut. Hari ini mereka makan di salah satu restoran Indonesia yang cukup terkenal. Setelah sibuk memilih dari buku menu, akhirnya mereka makan.

"Hmm.. Rasanya masih sama kayak dulu. Dulu aku sering banget kesini sama keluargaku". Ucap Kala setelah menyendokkan makanan ke mulutnya.

"Oh ya? Saya jarang sih.. Tapi saya tau resto ini emang enak". Jawab lelaki itu.

Keduanya kembali larut dalam diam, menikmati hidangan masing-masing.

"Saya masih penasaran, kamu beli peralatan lukis tadi buat siapa?". Tanya Dion menyela kesunyian mereka.

Kala mengalihkan pandangannya. "Oh, itu. Buat temenku, dia hobi ngelukis dari kecil. Stok cat-nya tuh hampir habis karena semenjak libur kuliah ini dia lagi sering ngelukis, jadi ku beliin aja sekalian sama kanvas nya". Jelas Kala, masih sembari menyantap makanannya.

"Oh, temen kuliah kamu?". Tanya Dion lagi.

"Iya, sebenernya temen dari kecil juga, sih. Cuma kebetulan aja kuliahnya bareng juga". Jelas Kala.

Dion hanya mengangguk mengiyakan. "Kalo kamu sendiri, hobinya apa?".

Gadis itu berpikir sejenak. "Apa ya? Hobiku tidur kayaknya".

Dion tergelak mendengarnya. "Itu sih kayaknya hobi semua orang, ya?".

"Serius tapi aku juga gak tau hobiku apa. Oh, aku tau. Aku sebenernya hobi nulis. Dulu waktu kecil suka ikut lomba cerpen, beberapa kali menang. Tapi gak pernah ku seriusin". Ujar Kala.

"Wow. Kenapa? Padahal mungkin itu bakat terpendam kamu".

"Entahlah, gak ada inspirasi aja. Gak tau mau mulai dari mana".

Dion menyelesaikan makannya. "Nanti kalau inspirasi itu datang, buru-buru tampung. Gak ada yang tau kalo nantinya itu jadi keseharian kamu, loh". Saran Dion.

Kala hanya mengangguk ragu. Ia sendiri rasanya tidak yakin hobi menulisnya itu akan menjadi sesuatu yang ia tekuni. Karena rasanya, hal itu hanya menjadi kenangan masa kecilnya. Menulis cerpen berbab-bab, dan maju ke depan kelas saat menerima penghargaan untuk cerpen ciptaannya.

———

JIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang