Pilu.
Sepeninggalan Nara, Kala hanya bisa menangis. Tidak lagi tahu apa yang menggenang di otaknya selain bimbang dan luka. Pantaskah ia menangisi rasa sakit ini? Jika Nara saja tidak pernah mengerti akan apa maksud hatinya.
Mereka bagai terombang-ambing, penuh ambigu antara makna cinta dan percaya. Berulang kali Kala mencoba mempercayakan hatinya, namun berulang kali juga Nara seakan abai. Omongan Kala tadi jujur. Ia memang menyesal telah memilih bersama sebagai kekasih, karena rasanya semua baik-baik saja saat mereka masih menjadi sahabat. Tidak ada obsesi, tidak ada rasa memiliki, tidak ada cemburu yang membabi buta.
Setidaknya itu yang Kala tahu.
Airmata Kala deras membasahi bantal yang ia tiduri, harum Nara bahkan masih menempel disana. Puluhan tahun bersama sebagai sahabat, seharusnya membuat mereka saling mengerti tanpa harus berbicara. Tapi ketika cinta hadir diantara mereka, rasanya semua berubah. Nalar dan logika mulai berganti menjadi perasaan.
Kala tidak tahu sejak kapan ia dihantui rasa takut. Takut kalau suatu hari nanti Nara akan berpaling darinya dan memilih bersama dengan oranglain. Perasaan apa ini Kala juga tidak tahu, yang jelas nampaknya bagai obsesi. Rasa cinta mendominasi hatinya, membuatnya tidak rela melihat Nara membagi perhatiannya kepada oranglain yang bukan dirinya.
Frame foto yang menampakkan wajahnya dan Nara masih setia berada diatas nakas kasur Nara. Mereka bahkan berjanji untuk menggantinya dengan foto terbaru setelah mereka resmi berpacaran. Potret itu sekarang berganti dengan figur Nara yang sedang mengecup pelipis Kala, diambil dengan meminta tolong orang sekitar saat mereka tengah berjalan-jalan ke dermaga.
Tangis Kala makin pecah memandangi potret itu, batinnya tertoreh. Mereka terlihat bahagia disana, mereka bagai pasangan yang paling sempurna di muka bumi. Ia cinta Nara. Melebihi apapun yang mungkin pernah ia cintai di hidupnya.
Ia mencintai Nara, lebih dari yang pernah ia rencanakan sebelumnya.
———
Pintu apartement Nara terbuka saat hari sudah menjelang pagi. Lelaki itu masuk dan menatap punggung Kala yang tengah meringkuk membelakanginya. Otaknya tengah tumpul setelah menenggak alkohol, jadi lelaki itu memilih untuk duduk di sofa. Pergerakan Nara yang serampangan membuat Kala terbangun dari tidurnya, gadis itu langsung duduk dan menatap kearah lelaki yang kini tengah memfokuskan pandangannya.
Perhatian Kala langsung teralih ke wajah Nara yang memerah dan buku-buku jarinya yang memar. "Udah selesai party-party nya? Masih inget pulang kamu?".
Nara memilih berdiam diri, denyut dan rasa sakit di kepalanya menguasai. Lelaki itu menelan rasa sedihnya yang menyeruak seketika.
Kala kembali menuntut. "Maumu apa sih, Nara?".
Nara memfokuskan pandangannya kali ini, suaranya serak bergumam. "Kamu yang maunya apa, Kal?".
Kala tergelak, nada bicara Nara betul-betul mempertebal pilu di hatinya. "Kenapa jadi aku?".
"Kamu maunya apa? Putus? Toh kamu gak pernah cinta sama aku...". Ucap Nara lirih.
Belum genap Kala membalas ucapan itu, Nara sudah melanjutkan omongannya.
"Selama ini emang cuma aku kan yang berjuang? Di hubungan kita, cuma aku yang bodoh. Aku terlalu terlena sama fantasiku, sampe lupa kalo kamu dari awal udah menegaskan kalo sejak kecil perasaanmu ke aku cuma sebatas teman". Serang Nara.
Tidak. Nara sudah salah paham terlalu jauh, Kala harus menyetopnya, tapi lelaki itu meracau lebih lagi.
"Ku pikir pada akhirnya kamu bisa punya perasaan yang sama. Ku pikir aku gak harus berjuang lagi. Selama ini aku punya ketakutan Kal, takut kalau semuanya cuma palsu. Ternyata ketakutanku selama ini beralasan, ternyata kamu memang gak menginginkan hubungan ini". Airmata mulai turun di pipi Nara. Kala bersumpah, seumur ia hidup, ia belum pernah melihat Nara menangis sampai nafasnya sesak.
"Nara, stop. Kamu mabuk". Cegah Kala.
"Ku pikir mabuk bisa bikin aku lupa sama kamu, ternyata enggak, Kal". Ucap Nara lagi, sebelum menghantamkan kepalannya ke meja, membuat memar di buku jarinya semakin membiru.
"Nara! Stop!". Kala langsung terlonjak dari tempat tidurnya dan berhambur untuk menghentikan aksi Nara menyakiti diri sendiri.
Sebulir air mata kembali jatuh di pipi Nara, yang langsung ia hapus. "Kenapa? Kenapa kamu khawatir? Kamu gak perlu pura-pura, Kal".
"Apa-apaan sih, Nara? Gak gini caranya nyelesain masalah". Maki Kala balik, ia bersimpuh dihadapan Nara, jemarinya erat memegangi jemari Nara agar tidak lagi memukul.
Nara tertawa pedih. "Lucu liat kamu berlaku seakan-akan masih peduli sama aku".
"Aku emang peduli sama kamu! Stop ngeracau yang aneh-aneh. Aku sedih liat kamu gini, Nara". Ucap Kala lemah, airmatanya mulai ikut berjatuhan.
Nara menjatuhkan kepalanya di pundak Kala, membiarkan tangisnya pecah disana. "Sakit, Kal.. Kenapa kamu gak bisa cinta sama aku.. Kenapa cuma aku..".
Kala memeluk tubuh itu, begitu rapuh di dekapannya. Ia bahkan mengelus punggung Nara pelan, berupaya menenangkannya. "Aku cinta sama kamu, Nara. Aku cinta kamu lebih dari apapun. Stop bilang gitu".
"Terus kenapa kamu nyesel pacaran sama aku kalo kamu beneran cinta? Kenapa sekarang? Disaat aku udah yakin dan punya mimpi buat bersama kamu sampai mati". Racau Nara lagi, tubuhnya bahkan bergetar.
"Stop, Nara. Kamu mabuk. Aku gak ngerti gimana harus jelasinnya ke kamu kalo kondisi kamu begini". Balas Kala dengan nada bergetar.
Nara kemudian melepas pelukan itu dan menatap penuh amarah. Tanpa berkata, ia memagut bibir Kala, ciuman mereka kali ini terasa dalam dan sakit. Sungguh berbeda dari ciuman mereka yang biasanya.
Tanpa saling berkata, Nara membawa Kala untuk kembali ke kasur, membiarkan tubuh mereka yang bertukar peran dengan ucapan. Kala yakin ia akan menyesali hal ini besok, tapi biarlah setidaknya malam ini mereka saling terhubung. Biarlah perasaan mereka tersalurkan dengan cara lain selain kata dan amarah.
———
Kala terbangun karena tubuhnya merasakan dingin, yang ternyata disebabkan karena selimutnya tersingkap sebagian dari tubuh polosnya. Pandangan Kala langsung mengedar ke seluruh jengkal dorm Nara, lelaki itu tidak ada disana.
Kala otomatis mengecek kearah jarum jam, sudah jam 9 pagi. Pasti Nara sudah pergi kuliah, tanpa membangunkannya terlebih dahulu untuk berpamitan seperti biasanya. Dada Kala tiba-tiba saja sesak mengingat kebiasaan Nara yang seakan terlupakan itu.
Ia memilih bangkit dan memunguti baju-baju mereka, sisa dari bercinta semalam. Entah apa kegiatan semalam masih bisa disebut bercinta atau hanya sekedar hubungan seks biasa. Tapi yang jelas, Kala bisa merasakan betapa marahnya Nara padanya semalam. Tubuh Kala bahkan dipenuhi bekas kemerahan hasil sesapan lelaki itu bagai pelampiasan.
Kala memang sudah berpikir akan seperti ini rasanya ketika ia bangun tidur. Hampa. Sesak. Sakit.
Tapi ia tidak tahu kalau rasa sakit di hatinya akan sedahsyat ini, ia tidak pernah mengenal pilu yang lebih dari ini. Tidak sampai ia mencintai Nara.
———
💔💔💔💔💔💔💔💔💔
KAMU SEDANG MEMBACA
JIWA
RomanceAku sudah pernah bilang, kamu boleh pergi jika kamu lelah. Tidak apa. Jika bersamaku memang menyiksamu, lepaskan saja. Tidak apa. Tapi ingat, pergilah ke tempat yang bisa ku tuju. Ingatlah untuk menarikku kembali, bersamamu. Karena jiwa kita sepasa...