TIGA PULUH DELAPAN - Happiest Two Who Argues

1.1K 78 12
                                    

Pernahkah Kala membayangkan kalau hidupnya akan sebahagia ini? Rasanya belum. Hari-harinya dan Nara di Jerman rasanya sudah seperti pasangan pengantin baru. Mereka sudah terbiasa bersama sejak kecil, jadi ketika sekarang mereka harus bersama lagi, rasanya bukan perkara sulit.

Rasa cinta terus tumbuh di hatinya untuk Nara, tak seharipun tak bertumpuk perasaannya untuk lelaki itu. Kala yakin, mungkin jika sekarang cintanya untuk Nara ditimbang, akan jauh lebih berat dibanding cinta Nara untuknya. Malam-malam panas mereka terasa seperti mimpi, pagi hari mereka bagaikan cerita dengan akhir yang bahagia.

Hari ini contohnya, ketika Kala dan Nara memutuskan untuk membaca novel bersama, seperti kebiasaan mereka dulu. Bedanya, Kala dan Nara kecil lebih sering membaca buku cerita bergambar yang penuh interaksi. Kala bersandar didada Nara dengan lelaki itu membuka kakinya agar Kala dapat memposisikan diri diantaranya. Di kasur Nara yang mungkin tak seluas itu, keduanya berpelukan nyaman. Nara berulang kali mengecup pelipis Kala, sebuah afeksi yang sebenarnya sudah sering ia berikan sejak dulu.

"Jadi pemeran ceweknya baik atau jahat sih?". Tanya Kala.

Nara bergumam. "Hmm.. Kayaknya baik".

"Kok kayaknya?". Tanya Kala balik.

Nara lagi-lagi mengecup pelipis sang kekasih. "Kan kita belum habis bacanya, sayang".

Kala terkekeh sebelum membalik lembaran novel di tangan Nara, matanya meniti tiap kata yang tertera di kertas.

"Kamu ngantuk gak?". Tanya Nara.

Kala menggeleng ringan. "Enggak, kamu ngantuk?".

"Lumayan. Nyium wangi kamu sambil meluk gini, bikin aku ngantuk". Ucap Nara.

Kala menoleh ke belakang, tepat dimana Nara sedang tersenyum padanya. "Mau tidur aja?".

"Maunya cium". Jawab Nara manja.

Kala tertawa kali ini hingga matanya hilang. "Salah nanya ke kamu tuh".

Nara pada akhirnya mengecup pundak Kala. "Berapa hari lagi kamu disini?".

"Tiga".

Lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya di pinggang Kala. "Cepet banget".

"Iya, ya. Gak kerasa udah mau dua minggu aku disini". Ucap Kala.

"Gausah pulang deh". Ucap Nara lagi, makin bergelung manja di ceruk leher Kala.

Sang gadis mengelus rambut ikal Nara. "Maunya juga gitu, tapi kan gak bisa".

Ada jeda yang cukup lama sebelum Nara akhirnya kembali berbicara. "Nikah yuk, Kal".

Kali ini, tawa Kala meledak. "Kamu nih, udah berapa kali ngajak aku nikah?".

"Aku serius, tau. Emang gak mau nikah?". Gumam Nara.

"Mau kok".

Mata lelaki itu berbinar. "Beneran?".

"Iya, tapi nanti. Setelah kamu lulus kuliah, aku juga". Jawab Kala.

"Lama". Gumam Nara sebal.

Hanya berseling berapa lama, ponsel Nara bergetar di nakas, seseorang meneleponnya.

Nama Rana terpampang disana, melakukan panggilan telepon yang membuat mood Kala tiba-tiba saja memburuk. Nara memutuskan untuk mengangkat panggilan itu setelah mengecup pipi Kala singkat.

"Iya, Ran?". Sapa Nara.

"Nar, sori nelfon. Tadi gue chat lo tapi belom ada balesan. Sore ini bisa gabung acara kampus gak? Cuma nongkrong di bar gitu sih, lo minum gak sih?". Tanya Rana.

Kala dapat mendengar jelas percakapan itu, sungguh moodnya drop drastis mengetahui kenyataan bahwa kekasihnya sedang diajak keluar oleh wanita lain yang diberi label 'teman'.

Persetan. Dulu juga ia dan Nara berteman.

Nara menimang sejenak sebelum menatap penuh harap kearah Kala yang sedang menghindari tatapannya. "Hmm.. Gue ajak Kala boleh?".

Ada jeda cukup panjang sebelum Rana akhirnya menjawab. "Hmm.. Boleh aja sih harusnya".

"Okay, kalo gitu gue ikut. Text me the meeting point". Ucap Nara.

"Okay, Nar. See you".

———

Nara sudah mengganti bajunya dengan kemeja bermotif bunga-bunga, lelaki itu bersiap lebih cepat dari Kala yang masih setia menatapnya dari kasur.

"Ayo, ganti baju sayang. Tar terlambat kita, apa mau gitu aja?". Tanya Nara.

Kala menyilangkan tangannya didepan dadanya. "Siapa bilang aku mau ikut?".

Nara yang sedang mengancingi kemejanya jadi terhenti. "Loh, kamu mau disini aja?".

"Kalo iya, kenapa?". Tanya Kala ketus.

Nara menyadari perubahan hati Kala dan memutuskan untuk bergabung dengannya duduk diatas kasur. "Kamu kenapa? Kok marah?".

"Emang harus banget pergi kesana? Pengen banget kamu ikut acara itu?". Tanya Kala lagi dengan nada yang sama ketusnya.

"Itu acara kampusku Kal, wajar aku pengen ikut. Lagipula kan aku ajak kamu, gak ninggalin kamu sendirian disini". Jelas Nara, mencoba mengendalikan emosinya.

Kala terkekeh sinis. "Segitu pentingnya acara kampus kamu? Kalo aku bilang aku gamau ikut, kamu bakal tetep pergi?".

"Kamu maunya aku gimana, Kal? Aku bingung. Kamu kenapa tiba-tiba marah sama aku, sih?". Tanya Nara kebingungan.

"Kamu bodoh atau pura-pura bodoh sih, Nara?". Tanya Kala dengan nada tinggi.

Nara menelan pahit di lidahnya, ia sungguh tidak mengerti akan salahnya kali ini. Argumen ini tidak seharusnya terjadi, tapi Kala terus saja membentengi dirinya. Tidak mau sedikitpun meluluh.

"Kala, kalo kamu mau aku gak pergi. Yaudah, aku gak pergi. Tapi gak perlu ngomong gitu, gak perlu saling nyakitin". Ujar Nara lembut.

Emosi Kala masih menyulut bagai tak ada henti. "Kadang aku mikir, salah gak ya, nerima kamu jadi pacar kalo tau bakal gini ujungnya. Rasanya aku nyesel, mending kita temenan aja kayak dulu".

Jantung Nara bagai ditombak rasanya mendengar kata-kata itu meluncur dari mulut Kala. Sakit. Padahal tidak pernah sekalipun terlintas di pikiran Nara kalau Kala kerap berpikir demikian. Padahal, ia selalu berpikir bahwa Kala bahagia bersamanya sekarang.

"Kamu nyesel?". Ulang Nara.

Kala menantang tatapan Nara padanya. "Iya".

"Kamu nyesel pacaran sama aku? After all we've done?". Kembali Nara memvalidasi, takut telinganya salah mendengar.

"Iya, Nara. Aku nyesel". Jawab Kala lantang.

Tatapan Nara berubah, tatapan itu sendu, penuh dengan rasa sakit. "Do you ever love me, Kal?".

Kala menelan kata-kata itu, rasa sakit Nara rasanya tersampaikan dengan baik padanya.

"Do you ever think of me? Of what I'm feeling?". Tanya Nara lagi.

Kala memilih untuk mengunci mulutnya kali ini, airmatanya sudah menggenang, menunggu untuk turun.

"No? Never?". Suara Nara terdengar bergetar, sepertinya Kala sudah menancapkan pasak tajam di hatinya.

Nara mengangguk tak percaya, lagi-lagi menelan getirnya rasa sakit di dadanya. "Okay, I get it".

Dengan itu Nara bangkit dan memilih keluar dengan membanting pintu kamarnya, meninggalkan Kala yang tangisnya langsung pecah tatkala Nara pergi meninggalkannya.

Sakit. Rasanya sakit sekali.


———

akhirnya konflik lagi di Jiwa setelah sweet2an mulu 🥲 sedi akutu

JIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang