Cerita 27 SERANGGA BENING

47 3 0
                                    

Bagaikan dipatuk ular berbisa, Ranggad Buttingguh kejut jiwa, ia seketika sadar dari bolak relung-relung renung ajaibya. Ia bagaikan bangun dari mimpi yang menakjubkan.

Ia sadar dari mabuk ketakjuban aneh untuk asyik menggubah jurus-jurus baru yang bisa diterapkan untuk pembaharuan pukulan lunaknya yang telah ia latih dari Kitab Sakti Pukulan Lunak selama ini.

Ranggad Buttingguh sungguh terkejut dan menyesal bahwa ia teledor dan bersalah karena tadi cukup lama berhenti, lupa urusan pokok untuk menyelamatkan Bethari, tapi malah asyik tenggelam dalam kemabukan ilmu kedigdayaan baru.

"Apakah aku terlalu mementingkan diriku sendiri? Terlalu mengutamakan kedigdayaanku sendiri dari pada keselamatan Bethari?"

"Namun, bukankah aku mengolah aneka kedigdayaan ini untuk menjaga keamanan jagad persilatan dari rongrongan orang-orang jahat? Kedigdayaan untuk persatuan dan kesatuan, keselamatan dan kedamaian banyak pihak, termasuk untuk hidupku sendiri dan Bethari?"

"Ya? Tapi? Memang, mesti ada yang didahulukan untuk ditangani karena sangat mendesak waktunya dan menyangkut keselamatan nyawa seseorang - dalam hal ini kebetulan kekasihku sendiri, Bethari - ah, inikah alasanku menghindari tuntutan hati nuraniku, bahwa aku kurang cepat kurang tepat kurang kuat? Banyak lamban, teledor, menyimpang, tidak memilki perhatian teguh menangani masalah pokok?"

"Ah, entahlah." pikiran dan hati nurani Ranggad seakan saling berbicara di dalam batinnya sendiri.

Sudah terlambat! Sungguh sudah terlambat!

Ranggad sudah tidak melihat lagi jejak titik bayangan keberadaan terbangnya Burung Biru Garuda Purba.

Bangkitnya penyesalan diri tentang munculnya kesadaran itu tidak sesuai kenyataan.

Masalah utama tidak cepat dan tidak tepat ditangani.

Sungguh sudah terlambat!

Siksa sesal itu rasanya bagaikan orang tersiksa sesak nafas lantaran ada bijih kedondong yang menyangkut di kerongkongannya. Sekaligus mirip ribuan jarum tajam tikam rajang hulu hatinya.

Ranggad Buttingguh hanya bisa gemas campur marah terhadap kebodohannya sendiri.

Air mata sesal dan kesedihan telah meleleh keluar tanpa suara hisak tangisan.

Racun batin dilepaskan lewat sarana air mata. Penyesalan diletupkan melalui air mata pengakuan bahwa diri telah melakukan kesalahan.

Ia sungguh tlah kehilangan jejak keberadaan Bethari yang sangat disayanginya itu.

Batinnya berkata: "Entah burung raksasa purba itu masih lurus terbang ke laut utara, ke Nusa Garuda, atau berbelok arah entah ke mana dan oleh sebab apa. Entahlah."

Hawa saktinya bergolak. Darahnya menggelegak. Nafasnya memburu. Jl

Segera Ranggad meraung dahsyat, "Haaiiiii ..!" sehingga segala hewan yang tadinya berkumpul khusuk di bawah kakinya jadi terkejut dan seketika bubar lari ketakutan ke segala arah, meninggalkan kawasan sangar, kawasan gelombang hawa kemurkaan dan keganasan.

Ranggad tidak menggubrisnya segala kawanan hewan yang lari meninggalkan dirinya dan segala hewan itu secara serabutan tunggang-langgang ngacir secepat mungkin sejauh mungkin lantaran kaget dan panik. Takut akan getaran dahsyat gelombang suara pekikan menggila manusia gila-gilaan.

Sejenak kemudian, ia berkata kepada dirinya sendiri, "Ah, jiwaku masih kasar. Gampang sedih gemas dan resah murka. Amuk marah. Keras duka, keras ganas!"

"Mulai saat ini aku akan berjuang untuk jadi 'Manusia Terang yang Ramah. Lembut Hati yang Tangguh!' dan berupaya kian hari kian berkiprah sehati-sejiwa dengan Sang Mahamesra melalui segala yang ada di bumi ini, melalui segala kejadian yang aku alami!"

KITAB SAKTI PUKULAN LUNAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang