Cerita 29 LORONG PUTIH LORONG RINTIH

52 4 0
                                    

Ranggad Buttingguh bersujud syukur bahwa ia dapat warisan filosofi hidup dan jurus-jurus silat lorong merah serta hawa sakti lunak ajaib gaib.

Sesungguhnya warisan itu merupakan warisan roh semesta sepanjang zaman untuk berkembangnya kebenaran dan kebaikan yang menyertai dinamika hidup umat manusia yang berjodoh menerima dan menghayatinya serta menerapkan dalam perilaku yang disesuaikan. Baik hal-hal yang sepele kecil sederhana atau dalam menigas mata rantai masalah berat rumit pelik yang mencincang pikiran dan perasaan, agar tepat selaras ditangani dengan bijak-bajik.

Waktu Ranggad Buttingguh berlutut dan membungkuk berkali-kali itu kebetulan dirinya sedang menghadap hujung dinding buntu lorong merah, tempat berakhirnya segala tulisan di dinding kiri dan berakhirnya jejak tangan serta kaki serta hujung penghabisan gerak silat terakhir yang berada di dinding kanan.

Ranggad Buttingguh disergap arus lunglai ketakberdayaan.

Ia letih jiwa-raga. Ia ingin tidur saja, "Ah, mengapa setelah aku berada di ruang aneh ini di dalam tubuhku terasa ada daya dahsyat yang sedang melebur membentuk dalam daya lunak kelembutan.

Sekaligus terasa ada arus hawa ganjil yang membuatku lunglai dan linglung, mudah lelah dan mengantuk.

"Biarlah aku tidur saja ..."

Biarlah hawa sakti dan potensi jiwa-raganya memperbaiki yang kurang beres atau terlalu banyak digunakan yang hampir dipaksakan tanpa mempedulikan keseimbangan batas-batas kemampuan dengan daya pikir dan keasyikan berlatih.

Ranggad Buttingguh terlentang begitu saja di lantai dingin.

Ternyata ia sudah satu hari satu malam tidur pulas.

Dalam mimpinya ... yang terkadang muncul dan menghilang lagi ... ia merasa hadir di tempat yang aneh, dengan sosok manusia yang tak dikenalnya sebelumnya. Bahkan sosok bayangan itu belum pernah dikhayalkan juga.

Dari dalam gumpalan awan putih tebal, datanglah seorang pemuda tampan berbusana putih sederhana, memberikan pedang putih, "Terimalah ini, Pedang Tunggal Semesta!"

Ranggad Buttingguh merasakan kewibawaan perilaku lembut manis yang santun ramah, tapi tidak bisa ditolak perintahnya.

Ia menerima pedang tersebut penuh takzim dan tanpa komentar apapun.

Lidahnya bagaikan ada yang mengunci untuk bungkam, seakan terdengar suara di dalam batinnya, "Tidak usah heran, tidak usah tanya, tidak usah menolak. Jatahmu ialah ... Terima saja!"

Lalu pemuda tampan sederhana itu menghilang, kembali ke dalam gumpalan tebal awan putih yang sunyi sejuk.

Setelah itu ...

Hadir wanita cantik anggun mempesona.

Ia berbusana tipis transparan. Pinggulnya saat berjalan mendekati Ranggad Buttingguh terlihat lenggak-lenggok, dan sesekali terlihat gundukan berumput rapi tipis tersamar di antara kedua pangkal paha yang membulat dan mulus berkilau.

Sungguh bagaikan bidadari impian yang sedang berjalan lemah-gemulai ke suatu kolam dan hendak mandi.

Inilah pesona segar binar wanita yang sungguh menggetarkan kejantanan alami pria merdeka jiwa.

Ah, buah dadanya yang montok sintal indah itupun nampak melunjak-lunjak tralala menggetar indah trilili, menakjubkan.

Pinggulnya? Sungguh bahenol serasi, meliuk lunjak goyang kiri-kanan ketika wanita itu berbalik badan untuk meninggalkan Ranggad Buttingguh yang ndlonglop pol pra ngompol, setelah si Anggun Pesona itu menyerahkan sebuah Seruling Putih dan sebuah Kitab Putih.

Dua benda itu diberikan kepada Ranggad Buttingguh tanpa suara.

Hanya wajahnya berbinar mesra. Matanya menatap bening. Senyumnya mengisyaratkan keakraban mesra membara. Namun wibawa keningratan.

KITAB SAKTI PUKULAN LUNAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang