Cerita 3 SEKARANG... MINGGATLAH!

210 12 1
                                    

Sekarang... Minggatlah!"

Bersamaan dengan bunyi guntur di luar sana, secepat kilat Majikan Istana Gunung Batu, meloloskan Pedang Ungu dan meluncur terbang ke arah si Bocah Terhukum dan membuat goresan ungu huruf "M" di Lengan Kiri si Bocah, dengan Hujung Pedang Ungu yang teramat tajam.

Dan dari goresannya itu meleleh darah segar. Merah campur Ungu. Tanda atau Noda yang tak terhapuskan lagi.

Si Bocah Terusir kian meradang sekarat jiwanya, setengah mabuk kesedihan, ia sungguh tak habis pikir, apa arti goresan huruf "M" itu? "M" itu Maling? Mati? Murka? Minggat? Ataukah "M" itu Muncarkeleng?

Tiba-tiba pikirannya dibuyarkan oleh terpaan Hawa Sakti Lesus Cakradahana, yang terbit menderu ngeri dari kibasan tangan Majikan Istana Gunung Batu.

Terpaannya sangat tajam cepat dan ganas, datang bagai gulungan ombak mengamuk dahsyat.

Seketika ia melejit tinggi ke udara dan saat mengambang di udara, si Bocah Usiran memukulkan hawa saktinya ke lantai, sehingga ia semakin jauh mencelat keluar Ruang Utama Istana Gunung Batu. Melenting tinggi. Salto tiga kali di udara dan bagai Garuda Gagah Merentangkan Sayapnya Ia meluncur turun hinggap di tanah, tanpa suara.

Sampai di tanah, kakinya menutul ringan dan ia mencelat tinggi ke arah pepohonan perindang taman, bagai terbang melompat dari pohon ke pohon beberapa kali menjauhi Istana Gunung Batu.

Dan menghilang, lenyap di gelap malam antara pepohonan kelam.

Si Bocah Usiran telah menerapkan Ilmu Meringankan Tubuh Dan Lari Kilat dengan Jurus Garuda Sakti Menembus Awan. Ilmu Warisan Wangsa Batharinda dari Istana Lembah Bidadari.

Sekarang di hadapannya menghadang Barisan Benteng Pepohonan.

Sudah saatnya ia menyeka peluh dan air mata.

Tak peduli luka raga. Tak peduli luka jiwa. Tak peduli siksa ngiang Suara Murka Majikan Istana.

Si Bocah Usiran seketika menggeram bagai Harimau Ganas, dengan kaki menggentak ke tanah ia secepat kilat menyerbu Barisan Benteng Pepohonan.

Sepasang Tangannya mendesingkan Hawa Gaib Angin Pukulan Lunak, Didikan Ibundanya.

Terkadang di arahkan ke bagian tanah tertentu dekat pohon tertentu, terkadang dipukulkan ke arah dahan yang satu lalu pindah ke dahan lainnnya lagi.

Terkadang ke atas kepalanya, ke udara bebas, sehingga tubuhnya yang ringan bagai putik sari bunga itu melayang lesat terbang naik turun bagai gelombang laut, liak-liuk tiada hentinya dengan sangat cepatnya.

Kakinya pun secepat kilat mengambang di udara dan hinggap dari pohon ke pohon, dari pohon ke tanah, dari tanah ke dahan, dari dahan ke pucuk pohon, dari pucuk pohon merosot ke tanah, lalu melenggang jalan santai. Memasuki Lorong Delapan Puluh Pohon Raksasa di kiri-kanannya. Lorong Pohon Raksasa yang nampak seram tapi aman, tak ada Barisan Jebakan dan Sesatan Maut.

Ia telah selesai menerapkan Langkah Hantu Rimba Kematian.

Kemudian ia berdendang penuh semangat, "Siapa Datang - Siapa Pergi? Siapa Untung - Siapa Rugi, Siapa Tahu?!"

Tiba-tiba ia mendengar Suara Seruling melengking tinggi tidak beraturan, bagai tidak berirama, tidak berlagu tentang suasana tertentu. Hanya melengking tinggi naik turun. Tak enak didengarkan. Tapi bagai memiliki daya sedot misterius yang mengundang datang. Bagai kekuatan tersembunyi yang tak bisa ditolak lewat suara seruling. Si Bocah memperkirakan bahwa Suara Seruling Aneh yang terdengar di kejauhan itu, agaknya berada di balik Barisan Benteng Tonggak Batu Gajah di deretan terakhir atau terluar.

Suaranya semakin lengking tinggi menggila dan memuakkan, menyakitkan telinga, memusingkan kepala, memualkan perut, sekaligus seperti mengejek dan menantang Si Bocah Usiran untuk segera mendatanginya. Suara Seruling yang mengiblis sumbangnya itu semakin nyaring karena memantul pada Dinding Tebing Bukit Tinggi dan Dinding-Dinding Ribuan Tonggak Batu segede Gajah Berdiri yang berserakan bagai tidak teratur.

KITAB SAKTI PUKULAN LUNAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang