Cerita 10 RUANG SEMBUNYI, RUANG MATI

150 9 0
                                    

Ranggad sedang memikirkan hal-hal yang terpencar yang nampak tidak ada hubungannya tapi sesungguhnya sangat lekat terhubung.

Mana ada kesengajaan menanam Tanaman Sokai tanpa tujuan tertentu? Itu Ribuan Serangga Beracun dan Ular Kobra tak mungkin pindah tempat dengan sendirinya tanpa ada yang sengaja memeliharanya dan ditaruh di lorong itu? Bahkan sudah diperhitungkan celah-celah liang untuk datang-perginya binatang-binatang itu untuk mencari makan sendiri? Tapi mengapa kalau mereka bisa pergi dan hidup bebas di alam terbuka, malah kembali ke lorong pengap itu? Aneh, aneh, sangat aneh.

Eh, di awal lorong ada pengap gelap dan busuk beracun tapi sesudahnya di sini lapang bersih kering agak nyaman. Nyaman? Ah semilir angin?

Ada angin ada celah? Di sini buntu semestinya bertemu tidak buntu? Bukankah kosong tapi isi dan isi tapi kosong? Kosongkah kebuntuan ini?

"Huh. Sudah susah payah letih lelah, ternyata hanya buntu-tuu! Payah! Hanya kosong! Huh. Huh. Hih!" Bethari merasakan kejengkelan amat sangat sekaligus gemas dengan bayangan perkiraan sendiri yang tidak sesuai kenyataan yang dihadapinya sekarang.

Secara iseng ia tendang batu-batu sebesar genggaman tangan yang ada beberapa butir di dekat kakinya. Tuk! Dug! Tak! Dug! Tiung, Blung! Batu-batu itu melesat membenturi dinding buntu. Pada tendangannya yang terakhir, batu itu melesat lebih tinggi ke atap dan memantul ke dinding buntu dan masuk ke celah retakan dinding yang bentuknya mirip mata orang.

Tiba-tiba lantai dan dinding goa terasa bergetar sebentar.

"Eh, ada apa ini?" kata Bethari dengan air muka cemas campur senyum kecut. Pelan-pelan ia bergeser lebih dekat ke arah Ranggad yang juga sedang heran dan masih memikirkan rumusan...kosong tapi isi...isi tapi kosong...buntu tapi tembus? Tembus tapi buntu?

Setelah seluruh dinding goa bergetar sebentar, disusul suara berderak nyaring dan pada bagian dinding lorong buntu yang berbentuk cembung nampak meretak. Kian lama berguguran kecembungannya dan mulai tampak lapisan kedua.

"Loh, muncul lubang selebar kepalan tangan orang?" suara Ranggad sambil mendekati dinding dan membersihkan serpihan debu batu di sekitar lubang.

"Aha, ada gambar pahatan? Gambar apa ini?" Suara Ranggad kian heran kian dirangsang otaknya.

"Oh, bukankah itu gambar cakar orang?" Timbrung suara Bethari ikutan heran dan mengamati gambar pahatan di samping kanan lubang itu, "Ah, Sepertinya...Mirip Cakar Rajangkala...Mengapa ada Lima Gambar Cakar? Cakar Terkepal Telungkup, Cakar Terbuka Telungkup, Cakar Terbuka Terlentang, lalu gambar Bulatan Besar, Cakar Terbuka Telungkup, dan Cakar Terkepal Telungkup? Ah apa maksudnya?"

"Cakar? Bethari...Ini Cakar Rajangkala milikmu yang kusimpan sementara saat kau sakit..." Kata Ranggad sambil menyodorkan Cakar Rajangkala, setelah mengambil dari balik bajunya.

Setelah menerima dan mengamati Cakar Rajangkala, Bethari bertanya kepada Ranggad, "Maksudmu apa, Ranggad?"

"Sebentar, kalau boleh...aku ingin tahu cara menggerakkan jemari cakar bajanya itu...boleh? Jawab Ranggad berupa pertanyaan.

"Ih kau ini, ditanya malah dijawab dengan tanya pula...nggg..yiiaa...baiklah, aku beritahu cara menggerakkan jemari cakar bajanya. Begini caranya..." Bethari mendekati Ranggad dan membisiki caranya memakai Cakar Rajangkala.

"Ya ya ya...mengerti. Tahu aku...ya ya. Eh kenapa mesti pakai bisik-bisik dekat kupingku? Jadi geli rasanya...Suaramu bagaikan mendesahi jiwaku..." Ranggad senyum dan melirik ke arah Bethari yang masih memasang muka serius.

"Ah kau Ranggad, diajak serius malah bercanda, diajak bercanda malah serius. Maksudku, meskipun di lorong buntu ini hanya ada kita berdua...eh siapa tahu dinding punya telinga?"

KITAB SAKTI PUKULAN LUNAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang