Prolog - Ribuik Taruih

6K 606 176
                                    

Ciee ... akhirnya dipost juga serial ramadhannya

Semoga suka yaaa...

Btw, kayak biasa, kalo ada kesalahan dalam menulis kata berbahasa daerah, mohon dimaklumi


--------------------------------------


Aku terkadang lupa, hidup tanpa masalah itu tidak ada artinya.

Menatap layar laptop dengan kondisi mata berair, sudah hampir setiap hari dialami oleh seorang gadis bernama Nuraini, atau yang akrab dipanggil Aini. Sebagai mahasiswi tingkat akhir jurusan management dakwah di salah satu Universitas Negeri, daerah Jakarta, sudah menjadi rutinitas Aini dalam beberapa waktu terakhir. Banyaknya hal yang harus ia selesaikan, seolah waktu 24jam amat sangat tidak cukup baginya. Karena baginya bila ia lalai sedikit saja menyelesaikan masa kuliahnya, maka bayaran semester depan sudah menunggu di depan mata. Jujur saja dia tidak mau jika dipaksa untuk membayar lagi. Apalagi keberhasilannya masuk ke dalam universitas negeri ini bukan semata-mata bisa ia raih dengan kedipan mata.

Kondisi orangtuanya yang hanya seorang pedagang kelontong di rumah amat sangat tidak mencukupi jika dipaksa untuk membayar biaya kuliah Aini juga. Karena itulah dia sangat berusaha. Berusaha untuk membiayai kuliahnya sendiri, sekaligus menghilangkan stigma orang-orang kebanyakan, yang menganggap masyarakat keturunan Minang, Sumatera Barat, hanya pantas berdagang di pasar.

Bukan hal baru lagi bagi Aini ketika seorang anak yang terlahir dari keluarga Minang, akan diarahkan untuk menjadi pedagang. Padahal basic berdagang saja dia tidak ada. Mungkin memang namanya adalah Nuraini, atau memang nama yang sering dipakai oleh gadis minang, namun dia terlahir pulau Jawa alias Jakarta, dan lingkungan sekitarnya sudah sangat mengubah pola pikirnya. Alasan besar itulah yang membuat Aini berjuang, jika gadis keturunan minang bisa sukses tanpa image berdagang.

"Hufh ...." Embusan napas Aini menerbangkan poni pendek di bagian keningnya.

Dia kelelahan. Matanya sudah berair. Bahkan perutnya sudah cukup perih karena dua gelas kopi hitam telah habis dia konsumsi. Namun nyatanya semua itu tidak bisa menghilangkan rasa kantuknya saat ini.

"Argh, nyebelin. Ngantuk enggak hilang, tapi magh kena."

Bibirnya mulai merintih. Tangannya mencoba meraih botol minyak kayuputih yang berada dalam satu kontak penyimpanan di sudut meja kecil yang sehari-hari dia gunakan sedari dulu untuk tempatnya belajar.

Mengoleskannya pada bagian perut dan juga hidung, mendadak ada dorongan ingin muntah dari dalam perut Aini.

Buru-buru gadis itu berlari keluar kamar, melewati ruang keluarga di mana ada abangnya sedang menonton TV.

"Hoi ... mau ke mana kau?"

Tidak peduli. Aini terus melangkah menuju kamar mandi, lalu memuntahkan seluruh isi perutnya, dua gelas kopi serta sepiring nasi yang tadi dia konsumsi. Air matanya berlinang menahan perih. Dia hirup-hirup aroma minyak kayu putih, agar menghentikan rasa mual di perutnya. Akan tetapi, sayangnya, kakak laki-laki yang menjadi beban hidup keluarga, karena hanya bisa bermalas-malasan di rumah, tiba-tiba saja mendatangi Aini. Dia bertolak pinggang, menatap bingung kondisi Aini.

"Kenapa kau? Hamil kah?"

Aini meliriknya sebal. Disaat air matanya keluar karena menahan sakit di bagian perut, semua diakibatkan dari perjuangan hebat yang sedang ia lakukan, bisa-bisanya bang Yos, seorang kakak laki-laki bagi Aini mengatakan hal yang begitu menusuknya.

"Pikiranmu terlalu picik sampai bisa-bisanya menuduh adiknya sendiri melakukan hal negatif!" Sekalipun nada suaranya terdengar tinggi, namun logat kental masih terdengar di sana.

"Abang kan cuma tebak sajo. Kalau salah indak usah mamaki."

"Sia mamaki? Aini cuma mangecek, jika punya pikiran jangan picik. Jikapun aden hamil, indak lelaki murahan yang dipilih, paham kan bang!"

"Ah, susahlah. Bicara dengan kau."

"Iya, indak usah bicara apapun. Karajo saja kau. Jangan repotkan amak ang lagi!! Alah luluih SMA, tidak ada gunanyo!!!"

Aini mendelik sebal, sampai kakak laki-lakinya angkat tangan tanda dia menyerah.

"Apalagi kalian ini? Ribuik tarus. Panek amak dangarnyo!!"

Menjauhi Aini yang masih kesal atas tuduhan tidak beralasan itu, kakak laki-lakinya tidak ingin ikut campur ketika amak mereka sudah datang, dan laki-laki itu memilih kembali ke rutinitasnya tadi. Menonton TV sampai pagi.

"Kenapa kamu, Nak? Sakit?"

Satu pertanyaan perhatian dari ibunya membuat pertahanan Aini runtuh. Dia menangis sejadi-jadinya, sambil memeluk tubuh perempuan paruh baya yang sudah melahirkan dia sejak 22 tahun lalu.

"Perut Aini sakit, Mak."

"Sini amak mamalikkan pakai minyak."

Menuruti kata ibunya, Aini berjalan dipapah menuju kamarnya kembali. Sekalipun dia melewati ruang keluarga, di mana abangnya berada, namun Aini sedikitpun tidak ingin melihat laki-laki itu.

"Aini, dengar amak. Jangan ribuik taruih dengan abangmu. Karna bagaimana pun inyo wali kau. Kau tahu kan, abak kau telah pagia. Jangan kau macam-macam jo abang, nanti inyo sakit hati, inyo indak mau manikahkan kau dengan laki-laki."

Tidak bisa berkutik, Aini benar-benar menyerah. Sekalipun dia kesal dan sakit hati mendengar tuduhan bodoh dari abangnya itu, tetap saja, dia butuh laki-laki itu ketika menikah nanti.

"Aini paham, Mak."


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
AINI - Gadis Minang, Dipinang Sultan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang