Bab 37 - Kapan Sidang?

884 210 26
                                    

Tiga bab lagi selesai...

Alhamdulillah..

Btw, akan ada EP nya, ya. Tapi cuma ada di karyakarsa nantinya. monggo baca ke sana.

Dan setelah cerita ini selesai, sebagian mau aku tarik. Jadi jangan protes yang terlambat bacaa


-----------------------------------------------------


Selalu berhadap doa-doa yang sudah dipanjatkan dapat dengan mudah dikabulkan olehNya. Tapi pada kenyataannya apa yang kuperbuat adalah kebalikannya.

Melamun seorang diri di parkiran kampus, embusan napas Aini terdengar sangat kencang bahkan dapat mengalahkan kicauan burung di pagi ini. Pandangannya kosong, seolah hanya tubuhnya yang berada di kampus.

Sambil menopang kepala dengan sebelah tangan, Aini benar-benar lelah dengan drama menunggu dosen pembimbing skripsinya. Ia pikir sebelumnya, menunggu paling lelah adalah menunggu jodoh yang kini hilalnya mulai terlihat. Namun ternyata Aini salah atas pikirannya itu. Menunggu yang paling melelahkan adalah menunggu dosen pembimbingnya yang memang terkesan sengaja menghindari mahasiswa bimbingannya.

Dulu, sebelum pengumuman dosen pembimbing keluar, Aini tidak pernah absen melihat pak Benben alias dosen pembimbingnya bergentayangan di kampus ini. Bahkan dalam sehari wajah laki-laki paruh baya dengan kumis tipis sejenis ikan itu sering kali berpapasan dengan Aini. Sampai ada mahasiswa yang menjulukinya, bila Aini adalah anak kesayangan dari pak Benben.

Tapi mana buktinya?

Disaat Aini benar-benar menjadi mahasiswi bimbingan dari pak Benben, sosok dosen menyebalkan itu tidak kunjung terlihat dimata Aini. Membuatnya harus bergentayangan ke sana ke sini demi menemukan dosen pembimbingnya itu.

"Oi ... bengong aja!!"

Yasmin menegurnya setelah memarkirkan motor di dekat Aini duduk saat ini. Sambil terus memasang senyum ceria, Yasmin mencuri lirikan ke arah jari manis Aini yang kini sudah terselip sebuah cincin. Cincin sederhana dengan permata di bagian atasnya membuat Yasmin ingin menggoda sahabatnya itu.

"Widih, cincin baru tuh."

Lamunan Aini mendadak lenyap. Matanya ikut melirik ke arah jarinya kemudian tersenyum malu.

"Ya. Cincin lamaran kemarin."

"Jadi pakai cincin? Gue pikir Guntur orangnya enggak akan pakai adat gini-ginian."

"Ginian gimana maksudnya?"

"Ya pakai cincin gitu. Kan tukaran cincin itu budaya bukan agama. Sekarang gue tanya, apa dalilnya pakai cincin tunangan?"

Dengan kening yang berkerut Aini menatap Yasmin kesal. "Enggak ada."

"Terus kalau enggak ada, ngapain pakai cincin, Aini? Mau ngikutin orang barat lo?"

"Emang orang barat gimana sih?"

"Kayak lo gini, tukaran cincin. Padahal menikah saja belum."

"Astaghfirullah al'adzim. Yasmin lo ada masalah apa deh sama gue? Kenapa jadi ributin hal kayak gini sih pagi-pagi."

"Bukannya ngeributin. Gue cuma kasih tahu, tukaran cincin tunangan itu bukan agama. Tapi budaya. Ngeri aja lo kebablasan. Lagian jujur gue enggak nyangka Guntur akan ambil keputusan kayak gini. Padahal kemarin udah cakep tuh doi, bawa proposal ke rumah lo. Nemuin ibu lo sama abang lo. Dan setelahnya dia bawa keluarga besarnya buat ketemu sama keluarga lo. Eh ujung-ujungnya malah begini."

Masih sulit memahami apa yang Yasmin katakan, Aini melirik ke arah jari manisnya kembali. Cincin tersebut dia pakai karena diberikan oleh orangtuanya Guntur. Bahkan ibunya Guntur sendiri yang memakaikannya ke tangan Aini. Lalu dimana bagian acaran tukar cincinnya? Karena sampai acara berakhir pun, ibunya tidak memberikan cincin apapun ke Guntur sebagai balasan.

AINI - Gadis Minang, Dipinang Sultan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang