Bab 19 - Semua cowok bukannya sama aja? BANDINGIN TERUS

1K 246 10
                                    

LEBARAN .... LEBAR - AAANNN...
AWAS OPOR, RENDANG, GULAI AYAM, SEMUR, DAN KUE MENTEGANYA MEMBUAT KALIAN LEBAR-AN.

TETAP JAGA KESEHATAN YA GUYS. BIAR BISA KETEMU SAMA LEBARAN TAHUN DEPAN. AAMIIN.

MINAL AIDZIN WAL FAIDZIN. MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN


---------------------------------------------------------


Udah siap dapat pertanyaan, kapan nikah belum mas Guntur? kan LEBARAN?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Udah siap dapat pertanyaan, kapan nikah belum mas Guntur? kan LEBARAN?



----------------------------------


Aku ingin memilikimu secara sederhana, dengan saling memahami, bukan malah ribut lalu memilih pergi.

Yasmin tidak bisa menghentikan tawanya disaat Aini menceritakan segala hal yang terjadi seharian ini. Kebetulan tadi, setelah Aini sampai ke rumah, Yasmin yang kini sudah tahu ada dimana rumah Aini, langsung mendatangi sahabatnya itu, kemudian mereka berdua berkumpul di kamar Aini yang pengap itu.

"Terus-terus, gimana?" Yasmin masih terlihat sangat antusias. Dia menatap Aini dengan penuh rasa penasaran, sembari berupaya mengikat rambut panjangnya tinggi-tinggi agar rasa panas yang kini dia rasakan sedikit reda.

"Ya, enggak gimana-gimana."

"Dih, bohong banget," ucap Yasmin tidak percaya.

Setelah ia sampai di rumah Aini, dan berkumpul di dalam kamar gadis itu, Yasmin memang sudah membuang jauh kerudung segiempatnya. Bahkan kali ini Yasmin sudah tidak malu-malu lagi berbaring di atas ranjang Aini, ketika sahabatnya itu lebih memilih duduk di atas kursi kayu, untuk pasangan meja belajarnya.

"Emang lo berharap apa?"

Aini mendelik sebal, sedangkan Yasmin sendiri terkikik geli. "Yah, apa kek gitu. Dia tuh udah buka lowongan banget buat lo. Tapi lo itu sikapnya enggak jelas. Jadinya si Guntur maju atau mundur, serba salah gitu."

"Kok lo belain dia?" Aini melempar sebuah pensil kayu ke arah Yasmin, dengan tatapan tidak suka. "Lagi juga buka lowongan apa kali dia? Jadi pramusaji? Atau jadi ahli gizi? Lo kan tahu sendiri gue jurusan management dakwah, mana cocok kerja di tempatnya dia."

"Ya Allah, Aini. Sumpah ya, lo. Kok gini amat gue punya sahabat. Maksudnya bukan lowongan sebagai pegawai, tapi sebagai kekasih hati. Gimana sih lo?"

"Kekasih hati? Dih, ngigo."

"Kalau gue enggak ngigo, gimana? Nih, gue saranin buat lo ya, Ai. Lo itu kudu lebih-lebih tahan ucapan. Tahan emosi. Tahan segala-galanya deh. Karena gue ngerasa si Guntur ini bukan tipe cowok yang dominan. Dia tuh main cantik, Ai. Dia ngamati lo. Sampai angkot yang lo tumpangi diikutin terus. Selain itu, Guntur ini orangnya pinter, buktinya banyak cara yang dia kasih ke lo sebagai solusi. Kayak dia nganjurin lo buat datangi dosen pembimbing lo itu, terus dia juga kan yang tebengin wifi biar lo bisa kirim pesan ke dosen itu? Gile, kurang perhatian apa coba. Dia juga gue ngerasa enggak banyak bicara, karena lo itu udah bawel, jadinya Guntur lebih banyak milih diam, terus action. Ngerasa enggak sih lo?"

Aini masih tidak percaya dengan penjelasan yang Yasmin katakan. "Dia melakukan itu semua karena terpaksa. Karena tanggung jawab. Karena udah ciderain gue. Udah, cuma itu aja. Owh, ya. Ada banyak hal yang lo enggak tahu tentang Guntur. Dia mengamati gue kayak gitu karena ada maunya. Lagi juga siapa gue sih, Yas, sampai dia amati gitu. Lagian lo tahu sendiri, malam sebelumnya gue kirim pesan ke dia, buat minta dianterin ke kampus. Dan itu juga ada embel-embel karena gue korban tabraknya dia. Pasti dia ngelakuin semua itu hanya karena tanggung jawab, enggak lebih."

"Terus kalau soal yang lainnya ...." Sejenak Aini menjeda kalimatnya, dia melirik Yasmin lalu menggeleng.

"Kenapa sih?"

"Entah gue yang terlalu bodoh, atau gimana ya. Yang jelas masalah wifi, terus perkara dosen gue itu, yah dia pasti akan merespon seperti itu karena Guntur tahu kondisinya. Kalau lo yang ada bareng gue tadi, lo juga pasti akan merespon gitu. Lo yang tahu kuota gue abis, pasti juga pinjemin hape lo buat gue kirim pesan. Terus terkait dosen yang enggak datangin ke kampus, ya ampun, Yasmin, sebelum-sebelumnya lo juga mau anterin gue ke mana aja. Cuma masalah anterin ke rumah dosen, enggak membuktikan apapun, gue rasa ya. Kalau temen, kalau orang yang punya pikiran, ketika ada orang butuh pasti mau ngebantuin. Itu yang dia lakuin tadi ke gue. Enggak ada hal lebih."

Yasmin terdiam, dia seperti tidak terima dengan penjelasan Aini. "Kok lo ambil kesimpulan begitu banget. Emang lo enggak mau dekat sama dia, bahkan nikah. Bukannya dia termasuk orang kaya? Punya tempat makan yang jual toge loh."

"YASMIN!!"

"Hahaha, lagian. Nih ya, dengerin gue deh, Ai. Gue nih udah kasih lo Guntur, sesuai apa yang lo doain selama ini, eh, pas gue deketin lo sama Guntur, tanggapan lo gitu doang. Apa enggak kesel gue? Begitu juga Allah. Lihat lo begini, Allah geleng-geleng bingung kali lihat tingkah dan karakter lo. Udah dikasih apa yang diminta, malah pura-pura lupa. Dasar manusia enggak tahu diri."

"Tapi emang lo, Ai. Perempuan kayak lo, eh, maksudnya enggak hanya perempuan sih, laki-laki juga ada. Pokoknya manusia kayak lo ini, banyaaakk banget!! Manusia yang enggak tahu caranya berterima kasih, karena langsung lupa diri."

Memasang ekspresi kesal, Aini langsung berdiri dari kursinya, lalu bergerak mendekati Yasmin. "Keluar lo. Ngeselin banget lo di sini!!"

"Hahaha, canda elah. Baper amat."

Aini memilih duduk kembali, kali ini dia duduk di ranjang, berhadapan dengan Yasmin yang masih menatapnya.

"Kenapa lagi?" tanya Yasmin bingung.

"Enggak papa. Gue cuma mikir, benar juga sih apa yang lo bilang barusan. Cuma ... gue emang enggak suka tipe cowok kayak si Guntur itu. Lo tahu kan, Yas. Gue ini orangnya keras. Maksudnya keras, gue enggak pernah mau ngalah. Sama bang Yos aja gue gitu, apalagi sama pasangan yang kemungkinan besar akan hidup sama dia seumur hidup, gitu. Nah, kalau ketemu tipe macem Guntur, kayak melempem gitu gue. Kayak enggak semangat aja. Dia bakalan nurut, dan enggak ada perlawanan gitu. Bukannya adem enggak sih jadinya hubungan kita nanti?"

Memukul kening Aini cukup kencang, Yasmin mencibirnya. "Dasar ya lo perempuan beringas, dikasih cowok yang santun, yang kalem, yang pengertian, yang suka ngalah, malah enggak suka lo. Lo sukanya kayak cowok-cowok di pinggir jalan itu ye? Yang baunya setengah mampus. Yang tindikannya bejibun, macem dosa. Yang tato sama dakinya enggak bisa dibedain. Iya, lo mau kayak gitu? Serem banget."

"Amit-amit!!" Aini merangkul erat kedua kakinya, dengan tatapan mual mendengar penjelasan Yasmin.

"Yaudah, kalau lo tahu apa itu amit-amit, langsung gas aja enggak sih itu si Guntur?"

"Gas ... gus ... gas ... gus, aja. Gue lagi enggak naik motor, Yas."

"LAGIAN!!" Teriak di depan wajah Aini, gadis itu malah terkikik geli mendengar temannya gemas atas segala reaksi yang dia ucapkan mengenai sosok Guntur.

Padahal Yasmin sudah amat sangat yakin bila Guntur memberikan Aini sinyal kedekatan lebih dibanding korban dan tersangkanya.

"Terus kedepannya apa keputusan lo?"

Aini menggeleng pelan. "Enggak ada. Pikiran gue cuma mau lulus aja?"

"Abis lulus?"

"Kerja."

"Nikah enggak?"

"Mau."

"Sama siapa?"

"Enggak tahu."

"Ya, sama Guntur, lah!!"

"Emang dia mau?"

"Ah, elah. Begini terus sampai kue cucur warnanya macem kue tetek. CAPEK DEH!!"

AINI - Gadis Minang, Dipinang Sultan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang